Ciuman Pertama Aruna

IV-66. Prioritas



IV-66. Prioritas

0"Hen,"     

 "Hemm,"     

"apakah kamu pernah mengalami mimpi yang, em.. seolah-olah nyata," hendra menghentikan gerakannya. Dia terdiam sejenak.     

"apakah istriku mimpi buruk?"     

"bagaimana kamu tahu?" Aruna bangkit dan menoleh.     

"aku hanya menduganya," hendra kembali meraih shower dan membasuh rambut istrinya sampai bersih, "duduklah lebih nyaman," pria ini yang sudah kenyang melewati berbagai mimpi buruk, mimpi-mimpi kelam yang terasa nyata.      

Dia tahu betul mimpi semacam itu adalah tanda-tanda seseorang tengah berada pada fase kegundahan, rasa resah yang mendalam, kesedihan, atau jenis emosi yang tidak disadar dan berujung terciptanya bunga tidur yang mampu menghantui malam.      

Di sisi lain perempuan tersebut kini duduk dengan punggung lebih tegak. Mahendra menggulung lengan yang sebagian telah basah -lebih keatas lagi, membalur sabun pada punggung dan dia memberi istrinya pijatan lembut di leher dan bahu.      

"kamu tak perlu melakukan ini, asisten bisa memberi bantuan jika aku mau," lelaki itu menyisihkan rambut di punggung Aruna. Sejalan kemudian pijatan Mahendra terhenti.     

"aku tak suka mendengar protesmu, ini bukan yang pertama kali aku membantumu mandi," hendra menyusuri lengan dan mulai bahu hingga telapak tangan.      

"tapi," dan mata itu menatapnya. Menatap Aruna, sampai perempuan itu terdiam.     

"aku hanya bisa memberimu ini, tak bisa memberimu kesempatan hidup bebas termasuk keinginanmu yang lain. Jangan melarangku," perempuan yang mendapat tatapan tajam, memilih mengalihkan pandangannya. Hendra tak banyak tersenyum, otot di wajahnya lebih sering menegang.     

Lelaki bermata biru larut dalam pemikirannya sendiri sepanjang caranya memijat. Menciptakan keheningan yang panjang sebelum dia mengutarakan kesedihannya: "jangan mimpi buruk lagi," Hendra meraih dagu istrinya dan mengecup lembut bibir mungil, mengulum bibir bawah, membuat sesapan di sana. "kau membuatku takut," lalu memeluk kepala basah, Hendra mendekapnya erat-erat. Pria ini melakukannya seakan istrinya bakal menghilang kalau dia tak membiarkan perempuan tersebut sebuah dekapan.      

"aku baik-baik saja, jangan khawatir," Aruna memundurkan dirinya. Dia mendapati Mahendra telah basah karena rambutnya dan sepertinya pria itu tak peduli dengan keadaannya. Pria di hadapan aruna membasuh wajahnya dengan jari-jarinya dan menyusuri rambutnya.     

Yang tidak diketahui Aruna adalah pria ini mulai memikirkan apa yang akan terjadi nanti ketika perempuan di hadapannya melahirkan. Mungkinkah dia sanggup berada di dekatnya ketika isterinya meraung kesakitan. Dia kehilangan daya membayangkannya.      

"bagaimana kepalamu, masih pusing?"     

"sudah berkurang,"     

"sungguh?" Hendra memastikan. Serta merta perempuan bermata coklat itu mengangguk. Tak butuh waktu lama sampai pria itu memutuskan mengambil tindakan berikutnya, mahendra meraih pergelang kaki aruna, membawa kaki kanannya keluar dari air yang menenggelamkan tubuh mungil Aruna.     

"aku sudah bilang aku tak suka.. jangan lakukan," aruna menarik kakinya. Mata Hendra kembali mengintimidasi dan aruna membalasnya.      

Laki-laki terhormat tak elok membasuh kaki perempuan, tradisi yang dijalani berabad-abad pada masyarakat negeri ini. Dimana perempuan lah yang umumnya membasuh kaki suaminya. Walaupun tradisi tersebut sudah ditinggalkan.      

"hendra.." alis Aruna menyatu, "aku tak mau," pemilik mata coklat menegaskan. Ketegangan itu sempat mencuat.     

Untungnya di ujung sana Aruna mendengar ketukan.     

"tuan," dari luar pintu seseorang memanggil mahendra. Aruna menghembuskan nafas kelegalannya. Dia merasa ini kesempatan memenangkan kehendaknya, tentu tanpa susah payah. Dia tahu hendra ingin memberinya kenyamanan tapi dia tak merasa nyaman dengan beberapa hal yang berlebih.     

"buka pintunya," Aruna merasa senang ada yang mengalihkan keinginan pria keras kepala di hadapannya.     

"biar saja," mengabaikan panggilan dia kembali menuang sabun.     

"Ratna tak akan mengganggu kalau bukan sesuatu yang penting, keluarlah," kalah membuat alasan Hendra bangkit dan meninggalkan istrinya.     

"Sa-saya dia minta tetua Wiryo memanggil anda, beliau berharap anda menemuinya sekarang," ratna mengabarkan permintaan tetua dengan hati-hati. Terlebih menyadari gelagat Hendra, pria tersebut menunjukan ekspresi keberatan.     

"Kenapa dia mencariku?"     

"saya kurang tahu tuan," pria ini membuka pintu lebih lebar. "bantu istriku,"     

"tentu," dan ratna sempat masuk kedalam, mengganti-kan lelaki yang kini melangkah pergi, "tunggu," tiba-tiba ratna berbalik menghentikan tuannya.     

"apa lagi ratna?" dia memberi tatapan terganggu.     

"anda, aku rasa anda perlu mengganti baju anda, terlebih dahulu," ratna lekas keluar dari tempat tersebut dan datang kembali untuk menyerahkan atasan yang bisa dikenakan Mahendra.     

"apa aku terlihat kacau?" hendra bertanya ketika dia melepas kancing bajunya. Menghadap cermin mengamati dirinya ketika Ratna berniat meninggalkannya.     

"anda selalu berantakan saat nona mengalami kejadian kurang baik," ratna bicara hati-hati, menundukan pandangannya.     

"aku yang memberinya kehidupan," ada nafas yang terambil, "rumit dan sulit," dia mendesah ketika mengutarakan kalimat tersebut.      

Melepas baju basahnya dan meraih atasan yang telah di siapkan ratna.     

"jangan berkecil hati, nona tak selalu kesulitan, dia mencintai anda, mencintai keluarga ini. Kini aku bisa mengatakan bahwa nona begitu cepat beradaptasi," terlihat mahendra sempat menoleh menatap Ratna.     

"kamu sengaja mengatakan itu supaya aku senang?," dia yang di hadapan cermin merapikan rambutnya. Rambut kecoklatan menuju gelap.     

"mana mungkin saya berani berbohong, pada anda" melihat hendra menatap cermin lamat-lamat –seolah tengah berfikir. Ratna menundukan memilih mundur menuju ruangan kedua, membantu Aruna.     

..     

"aku suka dengan kecepatanmu. membebaskan surya dan orang-orang kita," wiryo menatap Andos meminta pria itu meninggalkan mereka berdua. Detik ini dua pria djoyodiningrat berada di ruangan yang sama. Ruang kerja tetua.     

Tepat ketika Andos keluar, kursi roda itu bergerak kian dekat. "aku tahu kamu sedang kacau sekarang, sayangnya saat ini bukan waktu yang tepat untuk berdiam diri di kamar bersama istrimu. Percayalah gayatri dan sukma akan menjaganya. Aku juga mengalami hal yang sama -dulu," tangan keriput itu menyodorkan tab 14 inch. layarnya menyajikan portal online kenamaan pada bidang bisnis.     

'DM construction melepas proyek secara sepihak. Mendorong jatuhnya saham dalam waktu kurang dari 24 jam' 'kekecewaan para pekerja atas penarikan tak lazim. lokasi pembangunan proyek DM construction ditimpa gelombang demonstrasi' 'aparat melakukan siaga di lokasi pembangunan DM construction ... ...     

Hendra meletakkan tab kakeknya.     

"secepat itu mereka bereaksi," seolah enggan berucap Wiryo menekan sedikit kalimatnya, "beberapa orang mengeluh," Dia memberi jeda ucapannya, "tak ada yang bisa menghubungimu,"     

Hendra sadar betul apa yang dia lewatkan, ia mengabaikan semua panggilan dari beberapa jam lalu.     

"aku pernah berada di posisimu, dan pemimpin," mata itu menatap ragu, "harus paham prioritas, mengutamakan tugasnya di atas segalanya-"     

"bahkan keluarga," hendra menyela, "saya tak akan melakukan itu,"     

"keadaan sedang genting," kalimat Wiryo mengeras.      

"Dan mengabaikan perempuan yang detik ini membutuhkanku?. Kuharap anda tidak lupa. istriku sedang memperjuangkan lahirnya pewaris kita. penerus keluarga ini. saya akan menyelesaikan segalanya. anda tak perlu khawatir." Wajah Wiryo masih mengeras, Hendra belum mampu menurunkan tensi kakeknya,      

"Saya salah. saya tahu," Hendra menyadari mengabaikan panggilan harusnya tidak ia lakukan, "Akan saya tangani secepatnya," dan pria ini berdiri.     

"para jubir telah turun tangan, berupaya meredam, dan tidak berefek. Parahnya, Direktur DM construction mengundurkan diri sore tadi," mata keduanya terlihat saling mengembara.     

"aku akan memikirkannya malam ini, dan anda-" dia yang bicara menatap kakeknya, "-istirahatlah,"     

"kamu tak ingin menanyakan padaku? apa yang dulu kulakukan untuk menangani hal-hal semacam ini?" wiryo menggerakkan kepalanya meminta cucunya duduk sejenak.     

"jangan minta saya mengatur rapat terbatas dan meninggalkan Aruna, aku tak akan membuat pilihan itu. Dia membutuhkanku malam ini, saya tak ingin mengulangi penyesalan anda," hari sebelumnya ketika keduanya untuk pertama kalinya saling terbuka hendra menanyakan sesuatu yang disesali lelaki paruh baya di hadapannya. Tak lain ialah kurangnya waktu yang diberikan Wiryo untuk keluarganya sendiri.      

"istirahatlah, opa, jangan khawatir, saya akan cari jalan keluarnya," Mahendra berdiri. Membungkukkan tubuhnya. Membuka pintu dan mendapati Andos. Sesaat terlihat lelaki tersebut berhenti melangkah.      

"Bagaimana andai saya meminta anda melepas keputusan-keputusan yang anda buat?" Hendra membalik tubuhnya menatap kakeknya. Wajah lelaki paruh baya mengerut tanda tak paham.      

"Menganulir beberapa kebijakan?" Tambah Mahendra.      

"Kau pemilik jabatan tertinggi, aku bisa apa. Aku sudah melepasnya," jawab Wiryo.      

"Baiklah, mulai sekarang saya akan …      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.