Ciuman Pertama Aruna

IV-72. Sahabat Sejati?



IV-72. Sahabat Sejati?

0"Apa kau takut padaku?" pertanyaan yang pertama kali Mahendra lontarkan pada tunangan putra Rio.     

Gadis yang duduk di ujung paling pojok pada kursi mobilnya, kini memberanikan diri melirik lelaki bermata biru, "Ge, Gesang bilang anda berbeda. Tapi, dia selalu percaya Anda baik,".     

"Aku bukan pria yang menjalankan sesuatu tanpa alasan. Jadi, tak perlu takut padaku. Ikuti aturannya, dan kau akan selamat," sepanjang perputaran mobil pada porosnya, Mahendra terdiam dan lebih banyak memperhatikan jam di tangannya. Anehnya, kini gadis yang tersandera dalam satu kendaraan bersama pewaris Djoyodiningrat, nampak berdebar. Dia menemukan letupan kebahagiaan di dadanya. Dan, letupan-letupan itu kian lama kian memberinya keyakinan 'mungkin saja dia bisa bertemu dengan kekasihnya, Gesang'      

Harap-harap cemas, Syakilla coba berujar, "Apakah Gesang-"     

"Aku tak pernah bertemu dengannya, dan jangan mengharap bantuan dariku," dia yang kini membuat panggilan untuk seseorang melalui handphonenya, menutup percakapan dengan gadis di sampingnya.     

"Aku tahu, anda menyayangi Gesang. Aku juga tahu, anda memperkerjakannya," gadis keras kepala ini bergumun lirih. Dan, Mahendra sekedar meliriknya.     

"Aku tak mengerti denganmu," dia kembali menyegel percakapan itu. Dan, ketika Syakilla ingin memberinya penjelasan, lelaki bermata biru mengangkat tangannya, meminta gadis tersebut diam.     

Seseorang di ujung sana tengah menyapanya dan betapa terkejutnya Syakilla, ketika mendapati ekspresi pria mengerikan di sampingnya berubah drastis. Suaranya yang konsisten terdengar kaku dan mencekam, kini menjadi sangat amat hangat.     

[Aku melihat instagram istriku, sangat cantik] Aruna baru memperbaharuinya, mengganti foto profile dengan foto maternity terbarunya. Mahendra tak menyangka, istrinya membuka akun sosial media yang telah lama ia tutup, dan kini menyetingnya dengan mode publik.     

[Kau suka?] suara Aruna tampak antusias.     

[Tak usah ditanya?] dia tersenyum ramah, bahkan saat perempuan di ujung sana tak melihatnya. [Sudah siap menghadapi dunia?] kalimatnya lebih terdengar sebagai dukungan.     

[Sudah siap menjadi pendamping seutuhnya dan ibu untuk penerus keluarga suamiku yang ribet] dan Mahendra tertawa riang hingga lesung pipinya terlihat.     

Syakilla yang detik ini berada dalam satu mobil dengan Mahendra -tengah duduk di sampingnya- tertegun mendapati perubahan sikap pria tersebut.     

***     

Rumah sakit Salemba.     

"Kau tahu, aku belum bisa duduk terlalu lama. Aku masih kesulitan," pria ini menoleh, mengamati benda apa yang menyibukkan Kihrani, "Apa yang kau lakukan?! Kau sengaja membawa bunga itu!!"     

"Pyar," dia tersentak dan menjatuhkan vas yang berisi bunga.     

"Diam! Diam, disitu!" masih suara Vian yang mendominasi, sebab Kihrani detik ini syok dan membeku ketika mendapati kakinya hampir saja menjadi korban.     

"Kenapa kau meneriaki ku!!" gadis yang sepatunya detik ini penuh serpihan kaca, bergerak mendekati Vian dan hampir memukulnya. Untung saja, Pradita menangkap pergelangan tangannya.     

"Kakimu tak apa?" Vian mengabaikan tangan yang hampir mendarat di bahunya dan mengintip kaki Kihrani. Andai dia tak mengenakan sepatu tebal, bisa dipastikan kaca tajam itu lebih dari berbahaya untuk kaki gadis berambut hitam panjang tersebut.     

"Jantungku hampir copot karenamu!" pekik Kihrani. Frustrasi bercampur lega, sebab dia baik-baik saja.     

"Asal kau tahu, kau yang mengejutkanku," pria ini membalas pekikan dengan kalimat yang lebih keras.     

"Bagaimana bisa??" Kihrani membuka lebar matanya, mata itu melotot seolah hampir jatuh dari wadahnya.     

"Kau!" suaranya menyentak, dan detik berikutnya dia memegang dadanya. Nyeri.     

"Sudah. Berbaringlah! Ayo, Berbaring," Pradita melepas pergelangan tangan Kihrani. Kini, pria berkacamata tersebut membantu Vian meletakkan punggungnya pada pembaringan.     

"Kau benar-benar keterlaluan!" Vian berujar sembari meringkuk, memunggungi keberadaan Kihrani.      

"Apa maksudnya?" gadis berambut hitam panjang menghembuskan nafas. Lelah dan bingung. Lalu, bergerak mendekati pecahan kaca dan mulai membersihkan.     

"Mengapa kau membeli Seruni putih untukku? Aku sedang sakit, fisikku jelas tak baik-baik saja. Dan, sekarang kau menyakiti hatiku. Dasar perempuan bengis!" lawan bicara Vian tengah sibuk memasukkan pecahan kaca ke dalam tong sampah, ketika kalimat ini terlontar.     

Alis Kihrani hampir menyatu ketika dia menggenggam kumpulan seruni putih di tangannya. "Kurang kerjaan sekali aku membuang uang demi bunga seperti ini?"     

"Bukan kau yang membeli bunga itu untukku?" Tiba-tiba, Vian membalik tubuhnya dan bangkit dari tidurnya.     

"Aku mengerti sekarang, kenapa kalian bertengkar." Pradita menghela nafas, mengibas udara dengan lengannya sambil berjalan pergi, "Lanjutkan pertengkaran kalian. nanti malam Kita jumpa lagi Vian, istirahatlah yang cukup,".     

"Kau mengerti apa?" Kihrani bangkit, menghentikan langkah Pradita, "Ada yang salahkah? Kalau nona Aruna yang menyuruhku membeli bunga seruni putih?".     

"Apa? Nona yang menyuruhmu?" mendengar nama Aruna disebut. Kini, giliran Pradita yang penasaran. "Nona, istri tuan Mahendra?" memastikan bahwa pendengarannya tak salah.     

"Siapa lagi," setelahnya, dua pria saling bertautan mata. Kihrani yang kian bingung memilih merapikan sisa pecahan kaca dan mulai mengumpulkan tangkai-tangkai bunga yang terjatuh di lantai.     

"Apa nona mengatakan hal lain?" tanya Pradita penasaran, meraih segenggam tangkai bunga yang dikumpulkan gadis tersebut. Pemuda berkacamata itu duduk di tepian ranjang Vian. Mengangkat sekelompok tangkai bunga, kemudian mengamati dengan teliti satu sama lain seolah bunga-bunga itu membawa pesan tersembunyi.     

"Apa kau dan aku punya pikiran sama?" Vian melirik pada Pradita.     

"Melambangkan rasa simpati yang tinggi. Menunjukkan bahwa dia selalu ada untuk mendukung sahabatnya," suara Pradita menjelaskan lambang dari bunga yang ada dalam genggaman tangannya.     

"Ada dalam suka maupun duka. Sahabat sejati selamanya?" Vian menambahkan. Dan dua pria itu membulatkan matanya lebar-lebar.      

Disisi lain, Kihrani tampak berpikir "Jadi, kau tadi marah karena.. kau mengira aku ingin kita bersahabat? Artinya, kau lebih suka kita bermusuhan. Hih!'' matanya melirik tajam pada pemuda di atas pembaringan.     

"Bukan begitu konsepnya!" Vian murka tiba-tiba.     

"Kalau kalian saling suka, jangan sok jual mahal. Itu memuakkan di mataku. Diamlah! Aku sedang berpikir," Pradita menggerutu. Tanpa sadar dua lawan bicaranya menjadi canggung seketika, sebab ucapannya yang lantang.     

"Bikin pusing saja," lirih Kihrani. Bangkit, dan berniat meminta bantuan tenaga kebersihan.      

"Kau itu yang- ah sudahlah!" Vian kini memilih membaringkan tubuhnya. Beberapa menit dia telah melalaikan sakitnya, sebab kesalahpahaman yang konyol. Dan kini dadanya kembali menghantarkan rasa nyeri.     

"Mengapa nona memintamu menjadi sahabat sejatinya?" bunga seruni telah di tanggalkan Pradita, dan pemuda itu berpindah memojokkan Vian, "Jelas ini bukan ungkapan simpati. Ini permintaan khusus,"     

"Mana aku tahu? Tanya saja dia!" Vian mulai merasa gelisah dengan rasa nyerinya.     

"Pasti ada sesuatu, biar aku cari tahu," Pradita menuruni ranjang dan berniat pergi     

"Hai! Kalau kau pergi, jangan lupa panggil Bomb untukku," pesan Vian.     

"Bomb?" dia mengulang nama yang diajukan oleh Vian.     

"Gadis tadi."      

"Oh' gadis tadi?. Oke," Pradita membawa tanda tanya di kepalanya, ketika dia keluar dari ruangan Vian.      

Ketika Pradita telah keluar, Vian berupaya meraih seruni putih. Saat ia berhasil menggapai beberapa tangkai, pria dengan mata sendu tersebut memanfaatkan handphonenya untuk memotret bunga yang melambangkan pesan implisit pengirimnya.      

[Nona, apa maksud anda?]      

***     

Ruang rapat utama Tarantula grup.     

"Mengapa kak Gibran mengumpulkan kami semua?" kalimat ini sekedar basa-basi. Bianca baru saja mendapatkan bentakan melalui panggilan suara, sebelum pria tersebut meminta seluruh putra-putri Tarantula untuk berkumpul melangsungkan rapat dadakan tersebut.      

"Apa kau tak mendengar kata-kataku tadi?" pria itu bangkit dan mata hitamnya berkilat-kilat, seolah akan menerkam lawan bicaranya yang ketakutan. "Apa aku perlu mengulanginya?!" bukan lagi ekspresi geram. Kalimat Gibran jelas penuh penekanan dan cenderung kasar dengan volume tak terkontrol.     

"Gibran, apa yang terjadi padamu? Kita bisa bicara-"      

"Jangan ikut campur Tiara," untuk Pertama kalinya, pria dengan pembawaan tenang itu muntab. Dia tak pernah sekalipun terlihat penuh emosi seperti hari ini. "Aku selalu menghormati paman Adam dan keluarganya, kau tahu kenapa? Karena hanya dia dan keluarganya di dewan Tarantula ini yang masih menggunakan logika dan hati! Nyatanya, aku salah. Salah besar!" mendengar kalimat Gibran, Bianca terduduk. Menangkap mulutnya dengan telapak tangan, ia tak menyangka pria tersebut membawa-bawa nama keluarganya.     

"Aku tahu, aku salah. Aku pikir, kakak akan senang. Ya, aku yang punya ide awal, tapi aku tak pernah meminta mantan karyawan DM construction menghasut pekerja di lapangan. Aku tak senekat itu kak," pembelaan Bianca dengan mata berkaca-kaca.     

"Aku yang mengeksekusi ide itu, bukankah semuanya berjalan lancar?," Heru baru datang, masuk dengan santai dan mengakui tindakannya, seolah mengakui dosa kecil yang tak seberapa.     

"Hentikan sekarang juga!" bentak Gibran.     

"Ada apa ini?" Rey masuk dan terkejut bukan main mendengar pria yang biasanya meredam kemarahan dan pertikaian, detik ini menjadi sumber utama kegaduhan.      

"Apa yang terjadi?" Oliver menyusul Rey dan Nakula, memberi kedua pendatang baru tersebut tatapan bingung.     

"Saham kita sedang di atas angin, apa yang salah?" Heru konsisten membela diri.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.