Ciuman Pertama Aruna

IV-67. Teman Diskusi



IV-67. Teman Diskusi

0"Baiklah, mulai sekarang saya akan mengendalikan segalanya. Sesuai kehendak saya. Saya sudah menyampaikan ini, berarti anda tidak memiliki kewenangan mencampuri keputusan-keputusan saya," Mahendra mengundurkan diri. Ketika dia sampai pada kamarnya, manik kata birunya melihat istrinya yang sedang dibantu Ratna menyisir rambut.     

Mengetahui suaminya datang, Aruna meminta Ratna segera keluar kamar. Menyelesaikan kegiatan menata rambutnya dengan membiarkan rambut tersebut di gerai. Gaun putih sepanjang lutut —jatuh lembut menyusuri tubuhnya, menonjolkan kehamilannya. Mahendra menatapnya dengan lamat sampai perempuan hamil itu datang padanya dan menyambut harapannya, memberi pelukan pada pria yang kini duduk di tepian ranjang.     

"Kau sangat cantik," dia bergumam, memberi kecupan di atas perut istrinya, "Istriku tak ingin makan lagi?" usul Mahendra, dan perempuan dalam dekapannya menggeleng.     

"Aku hanya ingin istirahat," dan dengan demikian, lelaki bermata biru menunggu istrinya sampai benar-benar terlelap.     

"Tak ada mimpi buruk yang mampu merusak harimu, aku akan ada di sini, menjagamu sampai pagi," perempuan itu mengangguk di lengan suaminya.     

…     

Ketika malam menjadi pagi, Aruna mendapati Mahendra tidur tapi bukan di ranjang, melainkan di meja kerja yang berada di kamar mereka. Perempuan tersebut bangkit dengan ekspresi resah. Mendekati suaminya yang tertidur di depan laptop yang masih menyala.     

Membaca apa yang tersaji di laptop suaminya. Aruna berjalan meraih selimut dan menyelimuti tubuh Mahendra, sebelum diam-diam keluar dari ruangan.     

"Mommy," mengetuk pintu kamar mertuanya, Aruna membuat perempuan ayu itu terperanjat bukan main. "Mommy, maafkan saya membangunkan anda terlalu pagi," dia berujar dengan ekspresi tak jenak manakala Gayatri membuka pintu.     

Menggeleng pelan, sebelum berujar "Ada yang bisa kubantu Aruna?" membuka pintu lebih lebar, dia mempersilahkan menantunya masuk ke dalam kamar.     

"Saya ingin tahu, apakah anda mengenal make up artist, atau fotografer profesional?" suaranya terdengar antusias ketika menghaturkan kalimat tersebut.     

Mommy Gayatri tampak berfikir, "Kau ingin mengabadikan momen kehamilan mu?," Aruna mengangguk, "Aku bisa membantumu," tapi ada hal lain yang diinginkan oleh perempuan hamil tersebut.     

"Apakah saya lancang, jika saya menginginkan mereka datang hari ini," dan dengan hati-hati, dia berujar kepada ibu mertuanya.     

"Tidak, tidak ada yang bisa menghalangi keinginan menantuku yang berharga," ada senyum hangat dari perempuan ayu tersebut.     

Melangkah ringan dengan senyum mengembang ketika ide yang dia miliki hampir berjalan lancar dengan bantuan mommy Gayatri, kembali ke kamar dan membuat Mahendra terbangun oleh gerakannya menutup pintu.     

"Dari mana?" manik mata biru mengerjap-ngerjap.     

"Oh' aku mencari udara, di luar sangat segar, apa kau keberatan kalau aku menginginkan jalan-jalan?" Mahendra menatap jam dinding ketika mendengar pertanyaan Aruna. Dia bangkit mendekati jendela dan menyibak tirai. Embun yang segar.     

Mengalihkan pandangan pada perempuan yang berjalan menuju ranjang, "Pukul lima, apa ini tidak terlalu pagi?,"     

"Petani selalu bangun pada jam ini. Pergi ke ladang dan mereka mendapatkan kesehatan yang tidak didapatkan penghuni perkotaan," dia selalu bisa membuat percakapan hangat melalui kalimat-kalimat ajakan yang membuat Mahendra tertantang.     

Mengangguk ringan dan berujar, "Mari kita coba,".     

..      

Sensasi pertama yang dirasakan Aruna adalah dingin yang merasuk, namun udaranya segar. Perempuan ini menghirup oksigen yang ditawarkan alam pagi sebanyak mungkin. "Hen, em' kau ada jadwal?" Mahendra mengerutkan keningnya, "Berangkat lah, aku em'tak apa. Tak kan ada masalah, banyak orang yang menyayangiku disini,"     

Langkah Mahendra spontan terhenti, dan di ikuti oleh Aruna, "Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu. Sayangnya," ada keraguan di dalam kalimatnya, "Ada beberapa hal yang harus diperbaharui, sistem, Ah' aku bicara apa," ruat wajahnya menampakkan kerumit yang hanya dipahaminya sendiri, "Ada yang salah dengan bisnis Djoyo Makmur Group," Dia mendekap bahu istrinya dengan tangan kirinya. Melangkah perlahan-lahan bersamaan.     

Kaki mereka menapaki rumput basah dan berembun ketika Aruna berujar, "Apa itu?"     

"Pengaruh gaya kepemimpinan dan sistem pengendalian perusahaan," Aruna menghentikan langkah kakinya lagi, menoleh pada suaminya, Mahendra menceritakan sesuatu yang kontras dengan apa yang terlihat di sekitarnya. Mungkin sesuatu itu adalah isi kepalanya.      

"Kau akan menemukan segalanya konservatif, dan akulah yang babak belur karena monarki aneh ini," dan pria itu tersenyum lalu tawa kecil menguar dari bibir istrinya.     

"Kadang lebih mirip tirani," balas Aruna.     

"Separah itu?," Mahendra melebarkan matanya dan ada gelengan kepala mengelak.     

"Mungkin?, aku hanya menduganya," mengangkat bahu sekilas.     

"Mengapa kau memberi definisi tirani? Kurasa terlalu berlebih," dahinya mengerut.      

"Kau belum mengusut sejauh mana Timi, em' maksudku Tian, terlibat dengan, Diningrat?" dia mengeja kata 'Diningrat' secara lambat, takut salah. "Tapi sudah memutuskan, meringkusnya, benar?"     

"Ketegangan memuncak akhir-akhir ini, orang-orang ku sedang bergerak mengungkap kasus Tian. Dia akan datang Sore ini untuk menemuimu," dia berujar dengan menatap wajah Aruna.     

"Menemuiku?" Aruna tak paham ungkapan Mahendra.     

"Iya. Tidak ada yang berarti selama Geraldien berada di sekitarmu, selama menyusup di Surat Ajaib. Aku rasa kau yang berhak memberi Tian hukuman," Aruna masih tertegun mendengar keputusan Mahendra. "Jangan menatap seorang tiran dengan tatapan hangat," dan keduanya tertawa.     

"Apa yang salah dengan gaya kepemimpinan?" tanya Aruna, melanjutkan jalan dan di susul langkah Mahendra menyusuri taman rumah induk.     

"Kau tak akan percaya, jika aku mengatakan ini. Dan jangan tertawa!." kalimatnya sedikit tajam ketika memperingatkan istrinya.     

"Jangan membuatku menunggu," tangannya bergerak menarik baju sisi belakang, piyama yang membalut tubuh suaminya. Lelaki yang berjalan lebih cepat dari pada istrinya.     

Bukannya menjawab, Mahendra malah melepas jubah hangat di tubuhnya dan menelangkupkannya pada Aruna.     

"Kakekku masih dihantui pengkhianatan itu, sehingga dia menjalankan segalanya secara otoriter," artinya segala keputusan ditempatkan pada satu orang dan inilah yang membuat waktu untuk keluarga hilang banyak.     

Semalaman Mahendra memikirkan apa yang salah dengan kerajaan bisnis keluarganya selama ini. Mengapa dia tak menikmati hidup walaupun segalanya berlimpah.     

"Aku rasa, opa lebih suka dikatakan memimpin dengan pola mengasuh. Aku tahu, beliau menciptakan banyak anak di bawah pengaruhnya," jawab Aruna, menurut sudut pandangnya.     

Spontan Mahendra menelengkan kepala, "Dari mana kau tahu?" dahinya mengerut samar.     

"Vian," Aruna memberi pemahaman suaminya tanpa bertanya lagi. Vian satu contoh yang tak terelakan, "Menurutku beliau sangat berdedikasi," tambahnya, ketika tak ada sanggahan dari Mahendra     

"Jangan lupa menambahkan kata: ambisi," dan keduanya tersenyum. "berambisi menciptakan penerus yang siap menyandang nama belakang Djoyodiningrat," Mahendra sempat menunjukan ekspresi keresahan bercampur amarah. Pria ini mengingat kembali kalimat-kalimat yang dilontarkan Rio.     

"Hendra, lihat!," Aruna berupaya mengalihkan kemelut hati suaminya. Meraih bunga yang tampaknya baru mekar dan menyisipkannya di sela telinga. "Apa aku cantik?," pria itu mengangguk dan perlahan menghangat kembali.     

"Kau selalu cantik," dia menikmati. Menyapu seluruh tubuh istrinya, dengan mata birunya yang kian teduh, "Aruna, berdirilah di situ"     

"Begini?," Aruna menatap sekeliling sejenak, dia melihat beberapa bunga mekar di sekitarnya dan perempuan tersebut mencoba mencari tempat yang lebih banyak bunga untuk menjadikan latar belakangnya tempatnya berdiri.     

"Iya, seperti itu," dia tersenyum, matanya menyipit, "Aku rasa aku mendapatkan ide segar,"     

"Ide?" Aruna memiringkan kepalanya, tak paham. Dan lelaki di hadapannya melebarkan senyumnya.     

"Apa yang dipikirkan perempuan semuda dirimu tentang kepemimpinan?" Aruna menggeleng. "Sosok seperti apa yang layak mengatur pergerakan sekelompok orang?" tanya Mahendra lagi, masih mengamati istrinya.     

"Sejujurnya, aku tak mengerti sepenuhnya apa yang kau katakan. Tapi, selama ini, aku akan senang ketika orang yang ada di atasku memposisikan diriku sahabatnya," menatap tepat pada manik mata biru cemerlang di hadapannya.     

"Sahabat?" dan Aruna mengangguk.     

"Iya, sahabat. Aku suka saat kau memberiku kebebasan berpendapat seolah, aku temanmu diskusimu. Aku senang bukan main ketika ayah Lesmana berpura-pura menjadi temanku, saat-saat dimana beliau penasaran kenapa aku memberantakan kamarku, dia akan duduk di lantai bersamaku dan menanyakan ini itu sambil pura-pura berminat membuat gelang tangan bersamaku," mata Aruna kini menerawang masuk terbawa bayangan indah yang ada di kepalanya. "Padahal, mustahil ayah mengenakan gelang tangan,"     

"Kau dan sahabat-sahabatmu di Surat Ajaib, bukankah kau leader seperti itu?" entah apa yang ada di kepala Mahendra.     

"Ah' aku hanya gadis nekat yang mengawali ide pertama," balas Aruna. Terkekeh. Namun, raut wajah Mahendra menunjukkan ketidaksetujuan, dia tak puas oleh jawaban tersebut, "Dan sesekali diizinkan memberi teman-temanku arahan,"     

"Tepat sekali, itu yang ingin kudengar," Mahendra mengucapkan kalimat ini dengan nada bersemangat.     

"Apa ada yang spesial?" Aruna bingung sendiri.     

Mengabaikan kebingungan Aruna, Mahendra berujar, "Aku sudah menemukannya, kali ini lebih sempurna dari rancanganku semalam," suaranya terdengar bersemangat.     

Dan mengundang penasaran Aruna, "Apa itu?".     

"Mengubah tradisi tirani kakekku," dia yang bicara terlihat seolah-olah candaan, "dan gaya otoriternya," lalu tersenyum, nyengir.      

"Dengan hal baru yang lebih modern," Aruna mengangkat bahunya, "Mungkin?,"     

"Ya, aku tak akan bisa menjadi seorang ayah bagi mereka. Ayah yang akan dijunjung tinggi seperti tetua Wiryo, mayoritas dari kita seumuran denganku, harusnya aku menjadi teman mereka dan bukan semata-mata tuan mereka. Menempatkan diri seperti kakekku, itu mustahil. Tempat semacam itu hanya milik pria tua itu," monolog Mahendra lebih mirip pengakuan.      

"Hadir sebagai sahabat, saudara, leader, berpegangan tangan," ini suara aruna. Mengingat masa-masa indahnya di Surat Ajaib.     

"Tepat sekali! Para pimpinan divisi, mereka seusiaku. Dan, direktur-direktur anak perusahaan kita, lebih tua dariku, mereka tak akan bisa didekati dengan pola yang serupa. Tetua Wiryo bukan aku. Dan, aku bukan dirinya," Mahendra meraih telapak tangan istrinya, "Sayang, apa kau bisa ikut denganku?" mata itu menyapu seluruh tubuh mungil di hadapannya, membuat pipi Aruna merah.      

"Asal aku bisa membantu," detik berikutnya, Mahendra mengerutkan alisnya, sepertinya akan merubah keputusannya, "Percayalah, aku lebih sehat ketika keluar dari sangkar emas ini," Dan, Aruna terus meyakinkan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.