Ciuman Pertama Aruna

IV-65. Diriku Sendiri



IV-65. Diriku Sendiri

0"ARUNA," Mahendra memekik, menangkap tubuh yang hampir menyentuh lantai. Wajahnya pucat mendapati istrinya jatuh di pelukannya. Semua penghuni meja makan bergerak cekatan, mommy Gayatri berlari mencari bantuan dan oma Sukma memanggil para asisten rumah induk.     

"Kau tak apa?" kursi roda bergerak mendekat, menggugah Mahendra dari ketertegunan yang sempat menyanderanya. Semua mata yang memandang mengetahui, pria tersebut kosong sesaat dan tersekat. Ketika mendapati kesadarannya, buru-buru berdiri, memeluk erat tubuh istrinya dalam dekapan dan membawanya pergi.     

..     

Entah perak, Entah abu-abu, belum pernah aku melihat kabut seperti itu sebelumnya. Dia berwarna putih asap, menyebar luas, lalu tergulung sekaligus menjadi satu kemudian perlahan jadi kelabu.     

Aku bergerak mendekatinya, masuk kedalam dan kudapati diriku berada di sebuah ruangan yang semuanya berwarna putih. Aku membuka sebuah pintu dalam ruang tersebut, dan kutemukan lorong dengan pintu-pintu serupa.     

Aku berjalan lambat dan hati-hati. Ku pegangi perutku dan seketika aku sadar, aku tak sedang mengandung. Dadaku bergemuruh hebat. Aku bertanya-tanya, apakah aku telah melahirkan? Ataukah ini tubuhku ketika masih gadis?.     

Aku belum sempat menemukan jawabannya, ketika telingaku teralihkan oleh suara meraung-raung dari beberapa pintu yang tersaji pada tiap sisi lorong. Aku memutuskan mendekati salah satunya, dan menangkap wajah pucat mengerikan yang marah padaku. Dia menggedor pintu, merintih, memohon-mohon minta keluar. Sungguh, aku tak sanggup melihatnya.     

Aku berlari sebab ketakutan, terus berlari. Tapi anehnya, aku kembali pada ruangan tempatku pertama kali datang. Dan di sana, di atas ranjang yang seluruhnya berwarna putih, aku melihat bayi bermata biru bergerak-gerak dan tersenyum manis padaku.     

Aku terhipnotis untuk mendekatinya. Namun, sekelebat perempuan datang melintasiku, mendahuluiku meraup bayi itu. Dia duduk di ranjang dan menimangnya. Dia sangat lembut dan hangat pada bayi itu. Mengecup dan mendekapnya erat-erat. Ketika aku mencoba mendekatinya untuk mengamatinya, dia menoleh, dan ternyata perempuan itu adalah 'diriku sendiri'.     

"Arh',"     

"Hentikan! kau menyakitinya!" Mahendra mendorong dokter yang tengah memeriksa Aruna. Matanya menyala dan nafasnya naik turun tak terkendali.     

"Saya tidak melakukan apa-apa, tuan. Tenanglah!," sanggah dokter tersebut. Menatap Mahendra dengan seksama, lalu sebuah desahan keluar dari bibirnya, "Nona hanya terkejut oleh sentuhan" suaranya terdengar pasrah.     

"Hendra," mommy Gayatri memintanya menyingkir. Tanpa banyak bicara, lelaki bermata biru mundur, duduk di sofa dan berusaha menenangkan diri. Tampaknya, hal tersebut tak mengubah apa pun. Dia masih awas menatap istrinya.     

Dokter Martin kembali mendekati Aruna yang matanya perlahan telah terbuka, berusaha mencari pemahaman. Dia mendapati senyum mommy Gayatri yang berdiri tak jauh dari ranjangnya. Perempuan tersebut merasa lega, sebab yang baru saja ia alami ternyata hanya mimpi.     

"Ini bukan yang pertama, benar?" suara hangat dokter Martin menyapa, "Hipertensi, bukan sesuatu yang membahayakan. Sayangnya, jika ini berlarut, saya tak yakin semua baik-baik saja" Dia bicara sambil tersenyum.     

Aruna tak begitu mendengarnya, sebab dia belum sepenuhnya sadar. Bahkan perempuan tersebut tak merasakan sang dokter memasukan jarum di lengannya.     

Detik ini, Mahendra lah yang memasang telinganya. Dia mengiringi langkah dokter tersebut ketika menuruni tangga dan berjalan melalui lorong-lorong rumah induk.     

"Apa yang harus saya lakukan, supaya saya bisa meringankan beban istri saya?" Mahendra menarik lengan dokter Martin dan menatapnya serius.     

Dokter tersebut tersenyum ramah, sebelum menuruti Mahendra untuk duduk di ruang pertemuan yang menyajikan deretan sofa, dimana foto pernikahannya dengan Aruna menjadi background utama.     

"Nona menjalani kehamilan pertama dalam situasi yang tak stabil," dua pria tersebut tahu dengan pasti, keadaan yang dihadapi Aruna di awal kehamilan, "Saya tidak akan mengatakan pada anda untuk memastikan nona berolahraga secara rutin, mengonsumsi makanan bergizi, dan mencukupi waktu istirahat. Saya yakin, semua orang disini punya kemampuan menjaga pola tersebut. Dan, saya tahu, istri anda dan anda, tidak merokok atau mengonsumsi minuman beralkohol."      

Mahendra menyadari, kemana percakapan ini akan bermuara, "Tapi, mengelola stres dengan baik, semoga dia mendapatkan ketenangan. Saya tahu, anda yang paling bisa membantunya dan tentu saja, anda juga tahu apa saja resikonya." Dokter itu pergi meninggalkan pria yang berjalan gontai menuju kamar pribadinya. Dia melihat mommy Gayatri baru saja keluar ruangan. Dan, oma Sukma yang memeluknya, meminta penjelasan.     

Mahendra membiarkan dua perempuan itu benar-benar menjauh dari pintu kamarnya. Dia tak ingin mendapatkan tatapan keprihatinan. Dia lebih dari hancur hari ini. Merasa bodoh dan tak berguna. Dia menyesal dengan apa yang terjadi sebelum keduanya sampai di meja makan, malam ini.     

Pertumbuhan janin terhambat, Kelahiran prematur, Solusio plasenta [1], Penyakit kardiovaskular (gangguan pada jantung dan pembuluh darah) selepas melahirkan. Bukan Mahendra, kalau dia tak menjadikan segalanya berlebih ketika menyangkut keadaan istrinya. Termasuk rasa khawatir berlebihan, serta berbagai faktor buruk yang bisa terjadi.      

Tepat ketika memasuki kamarnya, Mahendra melihat dua asisten yang berada di dalam kamar, memilih mundur dan menutup pintu segera. Sedangkan Aruna, perempuan itu terlihat keras kepala dengan berusaha duduk.     

..     

"Mengapa kau duduk?" Aku melihat Hendra segera mendekati ku. Menatapku penuh penyesalan, dan kudapati manik mata birunya menjadi semu merah disana. Dia lekas membantuku duduk, meraih telapak tanganku dan mencium buku-buku jariku. Itu caranya minta maaf walaupun bibirnya tak bersuara.     

"Aku ingin mandi, aku belum mandi sejak bangun tidur," artinya sejak sore, sejak Lily baru sampai di tempat ini, bahkan aku tak ingat mandi. Dan, baru merasakan rasa lengket di kulitku sekarang.     

Tanpa aba-aba, aku mendapati tubuhku berakhir dalam dekapannya. Dia tak memiliki kemampuan menatap mataku, walaupun aku telah melingkarkan tanganku di lehernya. Begitulah Hendra, tiap kali dia menyesal, dia tak akan sanggup menatapku.     

Bahkan sekedar menatap mataku, dia tak akan sanggup. Aku tahu, kami berdua punya karakter berbeda dan kadang, kami saling berselisih karena perbedaan mendasar kami. Tapi,aku paling tak ingin melihatnya menciptakan penyesalan yang mampu menggores hatiku semacam ini.     

Aku mencoba menyusuri dagunya dengan belaian tanganku, "Jangan paksa aku, aku minta maaf," dia menyatakan diri, belum sanggup mengampuni kesalahannya sendiri.     

Masih tak sanggup menatap mataku. Aku diturunkan, di sofa anti air yang tersaji paling kontras di kamar mandi ini. Memastikan air hangat memenuhi bak mandi, dia sesekali menatapku, seolah aku bisa ambruk kapan saja dan dimana saja.     

Ketika semua telah siap, dia mendekatiku dan membantuku menurunkan baju yang membungkus tubuhku. Kini, kulihat dia menggulung lengannya saat aku berjalan lambat masuk ke dalam bathtub. Dia melihatku dengan sangat cermat, seolah aku gadis kecil yang baru belajar berjalan.     

"Letakkan kepalamu," aku baru memasuki air yang begitu hangat, yang seketika seolah mencopot segala gundah atas mimpi buruk, serta rasa letih di tubuhku. Ku turuti keinginannya untuk meletakkan kepalaku di ujung bathtub, lalu kulihat dia meraih shower dan membasahi rambutku. Melumuri tangannya dengan shampo, kemudian sebuah pijatan lembut mendarat di kepalaku.     

Aku tahu, Hendra merawatku dengan sungguh-sungguh dan dia melakukannya sejak pertama kali aku menyerahkan diriku seutuhnya. Aku senang, menyadari bahwa dia bukan seorang lelaki yang sekedar memberi ku materi, kebutuhan fisik, maupun batinku semata. Dia merawatku, merawat dalam arti sesungguhnya.     

"Hen,"     

"Hemm,"     

.     

.     

[1]Solusio plasenta adalah kondisi ketika plasenta terpisah dari dinding rahim sebelum proses persalinan. Hal ini dapat menyebabkan kerusakan plasenta dan perdarahan hebat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.