Ciuman Pertama Aruna

IV-64. Panggilan Hendra Menggema



IV-64. Panggilan Hendra Menggema

0"Kenapa begitu?" dan dia menggeleng. Aku tahu, dia tak berbohong atas ketidakpahamannya. Apa yang di sembunyikan Hendra? Mungkinkah Lily akan mengatakan kejujuran ketika aku tanya nanti? Tapi gadis itu sangat takut pada Hendra, apakah dia akan mengabaikan suamiku dan menjawab pertanyaanku?.     

Berdiam diri di dalam kamar membuatku merasa waktu lambat sekali berjalan. Sudah dua kali sejak Kihran datang, aku memintanya untuk menengok ruang kerja Hendra yang berada di lantai bawah. Dan lagi-lagi dia menggelengkan kepala, menandakan belum usai.     

Akhirnya aku memutuskan keluar kamar, menuruni tangga lebih hati-hati sebab perutku semakin menambah beban ketika aku melangkah. Kudapati Hendra berjalan ke arahku, dia tersenyum hangat melihatku turun, "Sudah bangun sayang," dia menyambutku ketika aku mencapai anak tangga terakhirku dan wajahnya menjadi sedikit tak senang. "Mengapa kau menatapku begitu?" aku tidak sadar. Mungkin aku menatapnya dengan tatapan selidik sehingga dia tak suka.     

"Kemana Lily?" aku bersuara ketika tak kudapati sahabatku bersama dirinya.     

"Dia pulang. Terlalu lama mengobrol denganku, takut semakin malam, jadi dia memutuskan segera pulang," suara Hendra terdengar santai, "Oh' dia menitipkan ini untukmu," aku melihat bag berisikan puding buah warna-warni kesukaan kami dulu di Surat Ajaib. Aku masih ingat bagaimana kami berpatungan untuk membeli puding buah segar ini tiap kali ingin menikmatinya.     

Namun detik ini, konsentrasiku bukan kesana, "Kau berbohong!," aku menemukan alasan yang kuat, sehingga aku memilih menuduhnya. Saat ini jam makan malam, setiap tamu di keluarga ini akan diminta makan malam bersama —seharusnya. Tapi Lily pulang dengan alasan takut terlalu malam? Pasti Hendra sengaja menyuruhnya untuk tak menemuiku.     

..     

Mendengar nada suara Aruna yang tak mengenakan, Mahendra menggerakan dagunya meminta ajudan di belakang istrinya pergi. Dengan gerakan lembut, dia merangkul punggung mungil dan memintanya segera bergabung di meja makan. Sayang sekali, perempuan hamil tersebut memilih membeku di tempat. Dia memprotes suaminya.     

Mahendra menatapnya dan seolah tatapan itu meminta penjelasan, kenapa istrinya memutuskan menolak ajakannya. Aruna menekuk bibirnya sebelum kalimat panas keluar dari bibir mungil tersebut, "Kau sengaja, bukan? Kau takut, aku bertanya pada Lily tentang kak Andien?!" mata perempuan hamil ini berkilat.     

"Apa kau pikir aku berbohong?" Mahendra menanggapi pertanyaan tersebut dengan santai.     

"Ya!" Jawaban ini meluncur, melambangkan ketajaman.     

"Ikut aku," dan sekali lagi Mahendra mendapati Aruna bergeming, "Jangan biarkan keadaan menjadi buruk, lalu kita bertengkar di ujung tangga," pria yang sebelumnya membawa aura hangat, dalam sekejap berubah dingin. Mata biru itu menunjukkan wujud aslinya, beku. Sedingin es.     

Aruna mengikuti langkah suaminya, mereka memasuki ruang kerja yang sama dengan tempat bertemunya Lily dan Mahendra.     

Manakala pintu ditutup, Mahendra bersuara "Apa yang ingin kau tahu?" menyentuh istrinya dan mendudukkannya. Pria tersebut masih mengamati ekspresi tidak terima dan penasaran teraduk menjadi satu.     

"Siapa Andien?" rasa penasaran memaksanya untuk berucap, dan tanpa sadar, suaranya sedikit meninggi.     

"Namanya Geraldien. Andien bukan nama asli," Mahendra sempat menatap tajam istrinya, lalu memilih memalingkan wajah karena dia tak ingin terlihat seperti itu. Aruna sedang dalam ketidakstabilan, dan pria tersebut berupaya keras meyakinkan dirinya bahwa perempuan hamil sedang merajuk, dan dia harus lebih sabar.     

"Oh' betulkah?" terlihat berfikir sejenak, Aruna kembali menerbitkan ekspresi penasaran yang kian menjadi. "Lalu siapa dia?".     

"Putri Diningrat," Mahendra mendapati kulit di antara alis Aruna mengerut. "Jangan bilang, kau akan bertanya siapa Diningrat?" dan manik mata coklat di hadapannya, memberi tahu dirinya bahwa dia menginginkan itu.     

"Keluarga yang menjadikan Vian terbaring di rumah sakit, termasuk menghilangnya Surya," dan manik mata coklat itu kian melebar. Mahendra mendapati Aruna mengangkat tangan kanannya dan meraba dadanya secara spontan, "Untuk itu, kau tak diizinkan keluar sembarangan," yang tidak diketahui pria tersebut adalah kepala istrinya menjadi pusing setelahnya.     

"Ada lagi yang ingin ditanyakan? Kalau tidak, mari kita makan," dia terdiam sejenak. Mahendra tahu, istrinya masih diburu penasaran.     

"Tapi, em' kak Andien pernah berpacaran dengan Timi, bukankah dia dulu ajudan-" kalimat ini terputus ketika Mahendra bangkit dari duduknya dan gerakan kakinya yang kasar menimbulkan suara benturan nyaring pada meja kayu jati yang melengkung indah di hadapan keduanya. Pria tersebut jelas menekan amarah dan kecewa.     

"Untuk itu aku meringkusnya," suaranya kaku, sejalan dengan raut wajahnya yang memerah.     

"Meringkusnya?" kelapa Aruna berdenyut kian hebat, mengingat Thomas dan ruang bawah tanah yang dia ketahui dari Kihran. Membuat rasa di kepalanya kian menjadi-jadi. "Jangan lakukan itu,"     

"Kenapa? Dia berkhianat. Kita perlu waspada, dia masih bekerja dengan nyaman di kantor pusat DM Group. Sial!" Mahendra mendesis dan Aruna merasa sesuatu di sekitarnya menjadi bergoyang.     

Aruna tak tahu harus bereaksi seperti apa, namun dia ingat bagaimana pria tersebut ketika berada di outlet Surat Ajaib, "Hendra, apa kau tak ingat, dia menjagaku dengan baik ketika menjadi Timi?,"     

..      

"Tian!" Mahendra menegurku. Aku ingat pria tersebut mentraktir kami semua, personil tim Surat Ajaib sebelum berpamitan dan mengatakan namanya yang asli, Tian mizan timur. Ajudan khusus dengan kode tertentu yang diturunkan menjadi karyawan biasa sebab gagal dalam penyamaran.     

"Tapi aku-" Hendra membalik tubuhnya yang berdiri membelakangiku dan di matanya, aku melihat kilatan kemarahan.     

"Kau tak berhak mempengaruhi keputusanku. Harusnya aku marah sejak semalam, ketika aku mendapatkanmu mengunjungi Vian. Kenapa kau begitu penasaran dengan urusanku?" rasanya Hendra mengamati tubuhku seperti binatang buas yang akan menerkam. Aku membuang tatapan dan menetralkan kepalaku yang kian lama, kian menyiksa. "Hari ini. Kau melanggar aturan. Seseorang yang percaya tak akan pernah bertanya."     

"Mari kita makan," aku mengatakan ini tak seperti sebuah permintaan. Aku sedang mengeluh untuk keluar dari ruangan ini, atau kita berdua akan bertengkar hebat.     

Aku masih belum bisa membiarkan Timi diringkus Hendra. Aku akan membujuknya nanti, minimal setelah denyut di kepalaku reda. Timi seseorang yang pernah melihatku runtuh di belakang panggung setelah kalimat-kalimat pedas peserta seminar meremas hatiku dan menghancurkan rasa percaya diriku.     

Aku masih ingat deretan kalimat baiknya mampu menyemangatiku kala itu, walaupun kalimat-kalimat tersebut adalah kata-kata Hendra yang dikirim dalam pesan tertulis. Aku yakin dia tulus detik itu dan dia bukan pria jahat.     

Kami berjalan ke meja makan, aku melihat seluruh anggota keluarga menatap kami. Hendra memundurkan kursi di sampingnya, memberiku tempat untuk duduk. Tangannya membelai rambutku dan sesaat kemudian dia cekatan membuka piringku lalu meletakan makanan di atasnya, bahkan mengais sendok untuk aku pegang.     

Aku menyadari dua perempuan di hadapanku tersenyum melihat kami. Dimana piring Mahendra bahkan masih dalam posisi tengkurap ketika dia memilih menuangkan susu di gelas ku, gelas kedua selepas air putih. Setelah melihatku menyendok sesuap ke mulutku, barulah dia peduli pada dirinya sendiri.     

Tapi aku tak mengerti, kenapa aku tak bisa makan dengan tenang?. Aku tak merasakan apapun pada makananku. Aku malah mengingat-ingat kenangan tentang kak Andien, maksudku Geraldien.     

Dia sama sekali tidak mencurigakan, dia biasa saja. Kehidupanku sebelumnya memang biasa saja —tidak seperti sekarang.     

Aku bisa menangkap keganjilan Timi dan merasakan dia sangat awas padaku. Tapi Andien?, dia layaknya seorang relawan yang membantu dan bersenang-senang bersama teman-teman Surat Ajaib. Yang berubah adalah penampilannya, rambutnya keriting total dan kulitnya lebih gelap —dulu. Dan kini, dia bermake up dengan cara berbeda, kecuali matanya yang bulat hitam pekat dan memiliki bulu mata panjang hitam memikat. Matanya sama dan serupa.     

"Kau melamun," suara Hendra membangunkanku. Melepas sendok dari tangan kananku yang sepertinya tak bergerak sejak tadi. Sekali lagi, dia tak memperdulikan piringnya dan mulai membuat sendokan untukku. Aku membuka mulutku dan merasakan rasa hambar di sana.     

Sesaat, aku mendengar deheman opa Wiryo yang samar dan seolah di tunjukkan padaku. Pasti beliau merasa aku terlalu manja dan Hendra terlalu berlebih dalam memenuhi kebutuhanku. Segera kuraih sendok ku dan mencoba memasukkan makanan ku sendiri.      

Sayangnya, kepalaku terlalu pusing sehingga aku tak ingat bagaimana aku menjatuhkan susu yang kuraih. Hanya dentingan gelas pada meja yang terdengar di telingaku.     

Ketika aku bangkit untuk mengurangi kepanikan Hendra yang ada di sampingku dan para asisten rumah induk yang berupaya membersihkan meja di hadapanku. aku merasa meja makan berputar dan mataku kabur. Lalu panggilan suamiku yang menggema.     

"ARUNA,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.