Ciuman Pertama Aruna

IV-63. Gadis Di Ujung Ranjang



IV-63. Gadis Di Ujung Ranjang

0Hal yang paling dibenci oleh Syakilla tentang dirinya hanya satu, ialah perasaan rentan di dalam dirinya. Tidak dicintai dan dibuang oleh keluarga sejak kecil, serta hidup dengan seorang ibu yang frustasi sebab suaminya meninggalkannya dan menganggap dirinya yang bersalah hingga ditinggal pergi oleh pria itu. Membuat gadis tersebut selalu mengharapkan dicintai oleh seseorang, dan dia mendapatkan itu dari Gesang.     

Sayang sekali, impiannya pada Gesang kandas. Kini, di sampingnya yang ada adalah kakaknya. Seorang pria aneh dengan ekspresi dan keinginan yang berubah-ubah tiap saat. Syakilla masih belum mampu memahaminya bagaimana dia yang sempat mendiamkan dirinya dan terakhir kali terlihat lebih nyaman dengan orang lain, kini memintanya menemani tidur di ranjang yang sama.     

Syakilla memilih tempat paling ujung dan mengharapkan dirinya cepat dibawa rasa kantuknya, meringkuk memunggungi Gibran.     

..     

Gibran menoleh, mengamati gadis yang kini berada di ujung ranjangnya. Dia benar-benar telah mengambil sedikit saja tempat di ranjang tersebut. Bukan sekedar karena tubuhnya yang kurus, Syakilla sengaja memilih menepi dan membelakangi pria yang tak bisa memejamkan mata barang sedetik pun secara bersamaan.     

Menunggu dan terus menunggu. Mengamati jarum jam berputar. Gibran yakin, Syakilla telah hilang dibawa tidurnya selepas mendapati lengan kurus itu telah terkulai. Bergerak mendekat. Menarik bahu yang ramping dan dengan mudah, punggung yang membelakanginya kini jatuh perlahan ke ranjang. Terlentang menghadap langit-langit.     

'Ini lebih baik' minimal Gibran merasa lega melihat gadisnya tak akan jatuh ke depan ketika dia tanpa sengaja bergerak maju. Pria tersebut sangat sadar, dirinya sendiri yang membuat keadaan buruk. Bingung dengan situasi yang tak menentu di keluarganya, putra pertama Rio mulai menghitung kemungkinan untuk membawa gadis tersebut masuk ke dalam kehidupannya yang hitam.     

Sejak pertama membawanya, Gibran tahu resiko dibenci Syakilla menjadi kewajaran. Tapi dia tak pernah merasa seresah ini ketika harus menunjukkan kenyataan yang sesungguhnya, bagaimana ranahnya bekerja dan sehitam apa dia larut di dalamnya. Pria tersebut bahkan membenci keadaan dan lingkungan di sekitarnya, dan gadis ini pun pastilah sama. Demikian yang ada dalam benak putra pertama Rio.     

Gibran tak henti mengamatinya, tubuh rapuh dengan tangan kiri yang masih dibalut gips. Rambut ringan yang lembut dan kantung mata yang suram. Cekungan-cekungan di lehernya yang menunjukkan dia tak begitu suka makan, tak luput dari pengamatannya.     

Tangannya bergerak meraih segenggam helai rambut, lalu menghirupnya. Mengamati lagi dan lagi wajah Syakilla dan tubuh rampingnya. Entah mengapa, Gibran begitu menyukainya. Menyukai kerentanan yang dimiliki gadis tersebut, dan emosi bebas terhadap keputusan-keputusan ganjilnya ketika ingin mengakhiri hidup, serta keras kepalanya yang tak terelakan.     

Gibran tumbuh Bersama seorang nenek yang mendominasi. Mendominasi ayah dan dirinya, bahkan seluruh dewan di bawah kerajaan bisnisnya. Nenek yang tak terbantahkan kehendaknya. Ide-ide gila yang dia paksakan selalu tak bisa ditolak. Dan perempuan lain yang dia ingat hanyalah bayangan sekilas ibunya yang melahirkan adiknya kemudian memilih melarikan diri dari rumah Diningrat.     

Ketika pengganti itu datang, dia hanyalah pelayan rumah tangga yang berakhir dikurung di loteng seumur hidup oleh ayahnya. Hanya nanny yang sedikit memberinya angin segar bahwa perempuan itu mengasihaninya dan menumbuhkannya dengan baik.     

Kemudian gadis ini, syakilla pasti akan ikut ngeri kalau dia mengetahui bahwa dirinya menjadi kian spesial sebab kerentanan yang dimilikinya bertolak belakang dengan jiwa superior yang ditunjukkan neneknya, termasuk kebengisan yang selalu muncul di mata hitam itu.     

"Apa yang kau lakukan?" Gibran buru-buru melepas rambut yang berada di telapak tangannya dan menjauh, memberi jarak.     

"Kau hampir jatuh dan aku mencoba membenarkan posisimu, jangan marah," mata Syakilla menatapnya penuh curiga serta ekspresi bingung di kepala. Dia berubah-rubah. Jelas tadi dia marah, bahkan menggertak dengan kasar. Tapi sekarang matanya melembut dan memberi kesan hangat.     

"Ke mana kau pergi, tadi?" dia yang bertanya menatap penuh wajah gadis di sebelahnya.     

"Mengunjungi makam mama," Syakilla bisa melihat mata hitam itu terkejut, lalu ada penyesalan timbul disana. Nafasnya yang mendesah adalah bukti yang kuat bahwa Gibran menyesal. Namun gadis tersebut hanya meliriknya, tanpa memberi respon.      

"Mengapa kau tak memintaku menemanimu?" ujar Gibran selepas mendapati dirinya lebih tenang.     

"Kau," nada ragu menghinggapi Syakilla, "Bukankah kau sibuk?" 'dan telah mengusirku,' sebagian kalimat dia simpan dalam benak, tak ingin mempersulit keadaan.     

"Aku minta maaf untuk yang tadi," kalimat ini datang setelah hening menyapa keduanya. Lalu Gibran nampak berpikir. "Lain kali, ajak aku. Aku ingin diperkenalkan pada mama mu," Entah mengapa dada Syakilla merasakan nyeri luar biasa. Dia selalu datang ke tempat itu bersama Gesang, dan kadang kala sendirian untuk memberitahu hal-hal menarik tentang kebersamaannya dengan adik pria di sebelahnya. Lalu, bagaimana dia bisa memperkenalkan laki-laki lain pada nisan ibunya?.     

Ibunya telah meninggal, tapi ada rasa tak sanggup untuk membuat alasan kenapa dia bersama pria yang bahkan kakak Gesang sendiri. Tak sanggup menceritakan kandasnya kisah cinta yang dibangun sejak Belia.     

Syakilla tak menjawab permintaan itu. Dia berbalik, menampakkan punggungnya selepas meraih guling lalu mendekapnya dalam diam.     

***     

Mobil yang dibawa Herry telah sampai pada gedung perkantoran Djoyo Makmur Group. Pemuda tinggi dan berbadan atletis itu keluar.      

Gadis yang berdiri tersebut telah menghabiskan waktunya selama tiga puluh menit di depan toilet perempuan, sebelum dia berdiri di depan lobi perkantorannya seperti saat ini. Satu kakinya ditekuk ke belakang dan ujung sepatu high heelsnya mengetuk-ngetuk lantai.     

Ini sangat unik. Lily menelepon Dhea, dan perempuan tersebut mengatakan drama romance yang dia tonton sering memperlihatkan karakter perempuan menarik perhatian dengan cara seperti itu.     

Sayangnya, Herry yang berada di ujung sana sekedar menggerakkan dagunya supaya gadis itu segera memasuki mobil.     

Gadis dengan wajah oriental itu merengut. Menatap tepat pada mata Herry, dan mencoba tersenyum ketika telah dekat. Rambutnya diselipkan di belakang telinga dengan gerakan anggun. sayang sekali, pemuda berkulit gelap manis tersebut tak melihatnya. Lily menghembuskan nafas jengkel ketika dia membuka pintu mobil sendiri dan masuk kedalam.     

"Kenapa anda duduk disini?" dia yang bersuara menoleh, selepas mendapati Lily duduk di bangku depan.     

"Apa? Apa aku melakukan kesalahan?" Lily bertanya demikian karena dia melihat ekspresi keberatan Herry, bukan kata-katanya. Kalimat pemuda tersebut, tak sedikit pun masuk ke telinganya.     

"Harusnya anda duduk di belakang?" Herry menyarankan.      

"Aku bukan nona mu, mengapa kau berbicara formal denganku? Bukankah sebelumnya kita pernah bertemu?" kalimat Lily demikian cepat sesuai kebiasaannya. Dan Herry sedang tak ingin mendebatnya. Pertemuan sebelumnya, sebelum hari ini adalah perdebatan panjang karena gadis tersebut menggores mobil mewah tuannya.     

***     

Hendra memijat tanganku ketika aku tidur di lengannya, aku sering memintanya diam saja tapi dia sering melakukannya ketika berbaring bersamaku. Dia sangat sibuk dan tentu saja kekurangan istirahat dari pada diriku, jadi buat apa dia melakukan itu?.     

Walaupun aku merasa lebih nyaman dengan usapan dan pijatannya yang lembut, aku terganggu ketika memikirkan dia yang kurang istirahat. Jadi aku menyingkirkan tangannya, namun lagi-lagi dia mengulanginya. Sampai aku sudah tak ingat berapa lama aku hilang dibawa kantuk karena usapannya. Dan kini, ketika aku terbangun, tak kudapati dia ada disebelahku.     

Aku penasaran kemana dia?. Kuminta salah satu asisten menemuiku. Dan ketika Kihran memberi tahu bahwa suamiku di meja kerjanya, di lantai pertama sedang bercakap-cakap dengan seorang gadis yang dibawa Herry, pasti itu Lily.     

Aku bangkit dan berharap segera bergabung dengan Lily dan Hendra, tapi ajudan muda itu menatapku dengan raut wajah permohonan maaf. "Anda diizinkan bergabung ketika nona Lily sudah selesai dengan suami anda, nona."     

"Kenapa begitu?" dan dia menggeleng. Aku tahu, dia tak berbohonga atas ketidakpahamannya. Apa yang di sembunyikan Hendra? Mungkinkah Lily akan mengatakan kejujuran ketika aku tanya nanti? Tapi gadis itu sangat takut pada Hendra … … …     

______________     

Temukan Novelku yang lain : Mr CEO please love me     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.