Ciuman Pertama Aruna

IV-60. Negosiasi Dua Pemimpin



IV-60. Negosiasi Dua Pemimpin

0Ketika pria itu menoleh untuk menatap mata Mahendra, ingin rasanya dia meninju wajah berahang serupa dengan dirinya, kalau perlu bibirnya sampai robek.     

Sayang seribu sayang, dibalik berdirinya kedua pemimpin yang melambangkan dua kekuasaan pembawa keluarga masing-masing, mereka membawa bala tentara yang selalu mengawasi di sana. Beberapa meter dari keduanya saling berjaga.     

Mahendra mengeratkan giginya kuat-kuat, menahan kabut gelap datang, "Jika tidak ada yang lebih penting dari ucapan sampah anda. saya pergi," dia hampir berbalik ketika sebuah telapak tangan besar menyentuh pundaknya, yang spontan membuat ajudan-ajudan keluarga Djoyodiningrat bergerak satu langkah. Begitu juga para ajudan pria tersebut.     

Dia lekas melepas sentuhan tersebut, selepas anak mata Mahendra melirik telapak tangan yang berada di pundaknya, "Oh' sepertinya aku terlalu gegabah dengan menepuk bahu keponakanku," Rio menampakan giginya, menyeringai. "Apa kau menginginkan informasi tentang Daddy-mu?"     

Mengabaikan, Mahendra membalik tubuhnya, "Aku tidak peduli," tutupnya, terdengar santai.     

"Baiklah, kau tak mudah diajak negosiasi," dia kembali menatap hamparan panorama di balik bentang kaca. "Aku sudah membebaskan orang-orangmu. Kembalikan orang ku yang masih kau sandera," kalimat-kalimat yang keluar dari mulutnya terdengar datar, tak ada emosi yang nampak.      

"Pengky?" Mahendra mengkonfirmasi, Pengky seseorang yang menjadi pelaku utama tanbrak lari mobil yang membawa tetua Wiryo hingga mengalami kecelakan beruntun.     

"Aku tak peduli dengannya," dia menoleh, melirik Mahendra di balik bahunya, "Dia orang Nugroho, bukan orangku," Nugroho wakil walikota Riswan yang diperdaya Rio dan menjadi pengikutnya.     

Mahendra merasa senang dalam hati sebab bukan Pengky yang dia minta. Padahal orang tersebut kartu As miliknya, bersama Cek atas nama Rio dari perusahaan Tarantula yang diamankan oleh tim lantai D.     

"Lalu?" Mahendra bertanya santai, menutupi kebingungan dalam benaknya.     

"Darsono," jawab Rio singkat.     

Mengerutkan dahi, lelaki bermata biru berucap, "Tidak ada nama itu,"     

"Jangan berbohong!" dan orang-orang Mahendra mendekat sekian langkah —hampir mengacungkan senjatanya, disusul oleh orang Diningrat.     

Padahal dua pimpinan perusahaan besar itu berdiri cukup jauh, tentu saja suara Rio tak akan terdengar sama sekali dari keberadaan ajudan masing-masing. Namun nampaknya, ajudan-ajudan tersebut mengamati gerak-gerik raut muka keduanya dengan teliti.      

Mahendra mengangkat telapak tangan kanannya, menenangkan orang-orangnya. Jav sebagai bagian dari mereka, memerintahkan untuk menurunkan ketegangan.     

"Sungguh, aku bahkan tak pernah mendengar nama itu," Rio menunjukkan wajahnya, dan mendapati Mahendra tersenyum sinis. Sekali lagi, otot-otot tangannya mengepal dan nafasnya ditekan. Jika dia muntab detik ini, barang tentu akan menjadi kehebohan yang sangat besar. Pria itu cukup realistis dengan memastikan keduanya tak akan hadir dalam headline news besok pagi, dua keluarga pebisnis kelas kakap negara ini saling membunuh.     

"Aku yakin dia sudah melarikan diri selepas menjadikan punggung istriku bersimbah darah. Jadi, jangan pernah berfikir aku menahanya. Karena kalau aku bisa menemukan batang hidungnya, aku akan langsung menggantungnya. Kalau perlu aku jatuhkan tubuhnya dari lantai tertinggi hotelku," Mahendra mengerat detik ini. Pria yang dia ketahui hanya dari kode D103, alias Darko, adalah otak yang mendorong dan membantu perempuan bernama Nana untuk melukai istrinya, Aruna.     

Mata mereka berkilat, biru dan hitam yang menyimpan dendam. "Kalau aku sampai menemukan fakta dia ada padamu, aku pastikan bayi itu tak akan hidup lama," dan kesabaran Mahendra putus. Kabut itu datang, masuk menggelapkan pandangannya. Tuan muda Djoyodiningrat lupa, orang yang ada di hadapannya adalah pamannya, dan yang hanya dia pedulikan adalah kalimat terakhirnya. Serta merta cengkeraman tangan kanannya telah sampai di leher Rio. Nafasnya naik turun, raut wajahnya kaku.      

Mendapati hal tersebut, ajudan-ajudannya mengeluarkan senjata, demikian dengan ajudan keluarga Diningrat.     

Salah seorang ajudannya bergerak mendekat, "Tuan!" terbangun oleh panggilan itu, Mahendra menoleh dan mendapati sekelompok orang saling menodong di sana. Termasuk langkah Jav yang terhenti sebab kepalanya menjadi sasaran bidik.     

"Ayo! Marah lah," Rio tersenyum senang melihat Mahendra kehilangan kendali. Dia tak melawan ketika lehernya di cengkeram erat, "Jadi benar, kau punya emosi tak stabil," walaupun dia harus bersusah payah mengucapkan kalimat tersebut.     

Mahendra melepas cengkeramannya. Mundur dua langkah dan merapikan letak jasnya. "Kenapa? Mana jiwa pembunuh yang ditanam Wiryo sampai membuat cucunya sakit jiwa?,".     

Manik mata biru kembali menatap Rio. Akan tetapi kali ini, ada senyum miring yang aneh seiring dengan tatapan tersebut, "Pembunuh paling keji tidak akan menembak tepat di kepala, dia memilih mengupas kulit tubuh musuhnya sedikit demi sedikit. Dan itu yang akan aku lakukan padamu, kalau sampai kau mengganggu kehidupan lelaki gila ini," lalu terkekeh-kekeh.     

Tawa anehnya dan perilaku ganjil-nya membuat seorang Rio Diningrat merinding. Akan tetapi pria tersebut menyembunyikannya dengan kembali menghisap cerutu yang sebenarnya telah padam.     

Mereka sempat memandang sekilas sebelum saling melangkah ke arah berlawanan.     

***     

"Apa aku berbuat salah padamu?" Syakilla merasa ada sesuatu yang berubah pada Gibran sejak kedatangan para dewan tempo hari. Pria itu jadi jarang bicara bahkan mengizinkannya tidur terpisah di ruang tamu keluarga Diningrat.     

Hari ini seperti biasa, Syakilla merebut tempat sekretaris pribadi Gibran dan pria itu tak memberinya perintah apapun. Seperti seseorang yang tak lengkap jiwanya, dia mengerjakan semuanya dalam ketenangan yang begitu hening.     

Gibran menghentikan gerakan tangannya ketika tangan menggoreskan bolpoin pada sebuah berkas, "Tidak," dia mengatakan itu tanpa menatap. Dan Syakilla tak bisa merebut perhatiannya lagi. Semua pertanyaan dijawab dengan kata 'iya' dan 'tidak' yang standar.     

Syakilla mencoba peruntungannya lagi ketika dia berujar, "Apa aku boleh tidur denganmu nanti malam?,".     

"Tidak," dan jawaban Gibran masih tetap sama.      

"Kenapa?" ada alis mengkerut.     

"Kita lakukan ketika sudah menikah," pria itu menanggalkan berkas dan bolpoin dengan gerakan kasar. Mencopot kacamata baca dan menatap enggan gadis di hadapannya, "Bisakah kau menutup mulutmu, atau keluar dari tempat ini?" Syakilla yang tengah berdiri, spontan menjadi demikian kaku. Matanya mengerjap, mencari-cari keyakinan bahwa dia digertak Gibran.     

Setelah mendapat pemahamannya, Syakila berujar, "Terima kasih telah mengusirku," berbalik dan berjalan keluar ketika ruang kerja Gibran didorong seseorang yang ternyata Bianca, yang berlari tergesah menuju mejanya.     

"Kak, buka email mu," dia berseru penuh semangat, "Cepat-cepat!" entah sengaja atau tidak, Bianca seolah mengabaikan keberadaan Syakilla yang jelas tertangkap mata berada di dalam ruangan yang sama.     

"Ada apa?" suara Gibran lebih lembut untuk Bianca.     

"Perusahaan konstruksi kita  mendapatkan proyek baru, tiga sekaligus! Itu tender yang luar biasa," letupan energi positif di hantarkan Bianca. Dan gadis yang yang terpaku di depan pintu, sempat mengamati mereka sejenak sebelum keluar ruangan     

"Aku sudah tahu itu," suara Gibran entah bagaimana menjadi tak bersemangat. Dia merasa seolah mendapatkan hibah dari DM grup.     

"Tapi bukan itu yang akan aku bahas, ada yang lebih spektakuler," dia yang bicara, merebut laptop Gibran dan memainkan mouse, kemudian layarnya dihadapkan pada pria yang detik ini mengamati gerak-gerik gadis di hadapannya.     

"Kau yang mengirim email ini, apa isinya?" mencoba fokus pada layar yang tersaji.     

"Itu lamaran pekerjaan dari.." perempuan ini mendekat, lalu berbisik, "para karyawan Dm Construction. Kau tahu 'kan, itu perusahaan konstruksi siapa? Tidak main-main, mereka bahkan bukan karyawan biasa, mayoritas para perancang Dream city," Gibran buru-buru mengamati seluruh email yang baru datang. Setiap surel di tulis dengan rapi dan memberi penjelasan bahwa mereka bisa mendukung proyek baru dari tiga kota yang ditinggalkan DM Construction, dan diambil alih oleh Tarantula Grup.     

"Ini jelas kelimpahan, SDM inti melepas jabatan, mereka membawa pengetahuan di otak mereka. Jadi, tak perlu mengkhawatirkan bagaimana melanjutkan pembangunan proyek-proyek itu," dia yang bicara berapi-api dan Gibran sekedar mengangguk ringan.     

"Atur kedatangan mereka dengan baik," pinta Gibran singkat.     

"Tanpa kau suruh, akan aku pastikan beres," kemudian mata Bianca menoleh mengamati sekeliling. "Kak, apa kita bisa makan siang bersama?" dia berujar dengan hati-hati.      

"Boleh," jawab Gibran, mengangguk ringan.     

***     

Langit sedang mendung ketika mobil berwara hitam membawa mahendra meninggalkan rumah sakit. Mengamati jalanan dari jendela kaca, matanya menerawang kosong … …      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.