Ciuman Pertama Aruna

IV-58. Pasien Gadungan, Manja



IV-58. Pasien Gadungan, Manja

0'Apa kau sedang ingin dimanja, Aruna?'     

Aruna tertangkap basah, tetapi Mahendra hanya tersenyum samar, "Beri tahu aku sayang, apa yang sakit selain rasa pusing di kepalamu?" dia menyuapi kepura-puraan istrinya, "Apakah punggungmu pegal? Atau kakimu kaku?" alih-alih menatap dingin, manik mata biru memberi tatapan hangat yang tentu saja membuat perempuan di hadapannya terkesima.     

'Aku harus bagaimana?,' dalam benak, Aruna bertanya-tanya. Dia tak bisa mengelak kecuali mengangguk.     

"Berbaliklah," Mahendra mendorong tubuh istrinya dan menggosok-gosok dengan pijatan lembut pada sepanjang tulang belakang dari pangkal leher, punggung, hingga tepat pada pinggangnya, "Apa kau merasa nyaman?" Aruna mengangguk ringan. 'Ini tak buruk, pikirnya' dan perempuan ini menikmatinya tanpa tahu segala kenakalannya telah ditangkap secara utuh oleh suaminya.     

"Apa kau akan tertidur kalau aku menggosok punggungmu?" dia yang bertanya masih melanjutkan gerakan tangannya, sembari mengamati ekspresi istrinya.     

"Sepertinya begitu," balasnya singkat. Aruna tanpa sadar menggerakan tangannya yang terkepal ringan di depan bibirnya, dan menggigitnya. Ketahuan membohongi Mahendra merupakan tindakan yang sangat berbahaya, namun sepertinya dia tak menyadari apapun. Perempuan hamil ini mulai memejamkan matanya, menghirup nafas dalam dan hampir hilang terbawa kantuknya.     

"Hendra!" matanya kembali terbuka lebar selepas menyadari resleting gaun yang membungkus punggungnya ditarik dari ujung atas punggung hingga pangkal pinggang, "Apa yang kau lakukan?!" Aruna menolehkan kepalanya belakang.     

"Aku ingin membuatmu merasa lebih nyaman, sayang," dia yang ditatap, tersenyum lebar. Lesung pipi tersaji dengan sangat manis.     

Aruna merasakan pipinya panas, dia menyadari pasti pipi cabinya kini sudah berwarna merah seperti tomat dan buru-buru berbalik ketika telapak tangan lelaki bermata biru benar-benar memberinya kenyamanan. Memijat dengan sentuhan yang pas untuk tubuhnya yang berkulit tipis.     

"Apa kau tak lelah memijatku?" Aruna bertanya selepas dia merasa lebih dari nyaman untuk mendapat perlakuan pria yang bisa jadi belum istirahat hingga detik ini.     

"Tidurlah! Akan aku hentikan kalau kau sudah tertidur," tangannya telah sampai pada perut dengan menyusup ke dalam gaun lalu mengusapnya lembut.     

"Bagaimana aku bisa tidur?" dia yang mendapat usapan lembut, menggerutu lirih.     

"Apa kita bisa berbagi ranjang?" ada senyum nakal tersembunyi dari pertanyaan tersebut.     

"Apakah perlu menanyakan hal semacam itu pada istrimu sendiri?," dan dengan demikian, pria yang duduk di tepian ranjang melepas sepatunya. Aruna menggeser tubuhnya maju kedepan, memberi ruang pada Mahendra. Akan tetapi ketika dia mendapatkan pelukan dari arah belakang, perempuan tersebut merasakan kulit punggungnya yang terbuka menyentuh permukaan dada suaminya, "Hendra, kenapa kau membuka baju?".     

"Aku kepanasan," eluh Mahendra, menarik selimut lalu menutup tubuhnya dan tubuh Aruna.     

"Tinggal dinginkan AC-nya," saran Aruna, merasa aneh dengan pria kepanasan akan tetapi mengubur tubuh keduanya dengan selimut dan memeluknya demikian erat.     

"Apa tak di izinkan memeluk istrinya sendiri?" dan perempuan yang mendapatkan pertanyaan tersebut, memerah hingga telinga.     

Mahendra mendekap bahkan masuk melalui sela baju Aruna dan … …     

***     

"Bangunlah, sayang! Kita sudah kesiangan," aku masih bisa merasakan bisikannya yang hangat di telingaku. Ketika memasuki kamar mandi, aku tahu dia merapikan kamar dan meletakkan sepatuku tepat di bawah ranjang dengan rapi.     

Dia tak punya kata-kata manis dan kadang menakutkan bagi yang lain. Bahkan pagi ini, aku masih takut andai kebohonganku terbongkar. Aku keluar dari kamar mandi dan mendapati manik mata biru Mahendra mengamati ku dengan seksama.     

"Pasien gadungan tak akan mendapatkan jatah makan. Mari kita segera pergi dari tempat ini, mencari sarapan," dia berkata dengan ekspresi santai. Spontan aku menundukkan kepala, tak berani membalas tatapannya lagi.     

Perlahan telingaku mendengar bunyi benturan samar yang timbul dari alas kaki dengan lantai. Terlalu hening hingga aku bisa merasakan dia kian mendekat. Menyentuh wajahku dan menaikkannya supaya berkenan menatapnya.     

"Jangan di ulangi lagi, apa pun alasannya," dia berujar lalu menarik tubuhku, mendekap punggungku dan mengiringiku berjalan, "Ini sudah yang kedua," matanya berkilat, melirik ketika dia melengkapi kemejanya dengan jas. Seolah mengetahui aku keberatan dengan kata 'kedua', "Ke salon naik motor tanpa bicara terlebih dahulu dan hari ini!" kali ini suaranya terdengar menusuk. Para lelaki Djoyodiningrat sepertinya memang mewarisi cara bicara yang tajam. Tak perlu di tanyakan lagi, mereka sangat ahli.     

Ketika aku melihat sepatuku, kusandarkan diriku ke ranjang, kujejalkan kakiku pada sepatu dan tak berhasil. Aku mencoba menunduk dan jelas ini sedikit mustahil dengan perutku yang menghalangi punggungku melengkung ke depan untuk meraih sepatuku. Aku berniat jongkok ketika Hendra secara tiba-tiba mengangkat tubuhku dan menjadikanku duduk di ranjang.     

"Saat kau tak bisa melakukan sesuatu —katakan, Tolong! Apakah aku harus mengajari perempuan yang akan menjadi ibu tentang kata-kata sopan?," aku memalingkan wajahku, dia begitu lembut memasang sepatuku tapi cibirannya pedas. Harusnya dia yang perlu mendapatkan mentor sopan santun. Sayang sekali, saat ini aku sedang dalam posisi bersalah. Berbohong pada Mahendra adalah kefatalan.     

Jadi aku memilih diam dan sisi perempuanku menjadikan aku memilih menikmati wujud rasa sayangnya, alih-alih memikirkan bagaimana dia akan menghukumku nanti.     

Sepanjang perjalanan meninggalkan lantai tempat kami bermalam, Mahendra menjelaskan latar belakang kekhawatirannya terhadap diriku dan bayi kami. Kadang kala dia minta maaf, sebab sudah membuatku tak nyaman atas keputusan-keputusannya yang sepihak.     

Aku tak tahu apa yang terjadi pada Mahendra akhir-akhir ini. Dia menjelma menjadi guru pelajaran tata tertib yang membuatku mengantuk ketika memberi ku penjelasan panjang lebar tentang rasa cintanya pada kami berdua, aku dan baby, dan keselamatan.     

Sebelum kami benar-benar akan meninggalkan rumah sakit ini, dia mendapatkan panggilan dan dia tahu aku menunjukkan wajah kecewa yang tak terelakan lagi.     

"Apa kau bisa menahan rasa laparmu, sayang?," aku mengangguk pasrah mendengarkan kata-kata Mahendra. Dia membawaku naik ke lantai lebih tinggi.     

Mereka berdua memasuki sebuah ruangan yang sangat luas, dimana dinding kaca mendominasinya. Mahendra mendekati seseorang diantara orang-orang yang sedang menjalani terapi jalan, gerak tangan dan lain-lain.     

"Kau boleh duduk di sini," Aruna mengenal lelaki yang didekati Mahendra. Pemuda itu bahkan menoleh dan tersenyum pada perempuan yang baru mendapatkan tempat duduknya, selepas suaminya meletakkan kursi ketika dia sibuk mengamati keadaan.     

"Senang melihatmu sudah bisa berjalan normal," Mahendra mendapatkan jabatan tangan Rolland yang tak bisa menutupi perasaan bahagiannya. Mata pemuda itu menatap antusias, tampaknya rasa bahagia mengaliri hatinya ketika mendapati tuan dan nona muda Djoyodiningrat menjenguk dirinya.     

Aruna ikut senang melihatnya, terlebih ketika menatap jari pemuda itu sudah mendapatkan pengganti. Walaupun berupa jari buatan untuk keliling dan jari manisnya yang terpotong.     

"Aruna?"     

"Em' siapa? Oh' kak.. em.. apa anda kak ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.