Ciuman Pertama Aruna

IV-56. Saya Cucu Jauh Anda



IV-56. Saya Cucu Jauh Anda

0Sejak awal Mahendra memutuskan tak akan mengungkapkan apapun terkait disekapnya Surya atau yang lain. Baginya pria tersebut, isu hilangnya CEO sekaligus sahabatnya bukan bagian dari konsumsi mereka yang di bawah. Hal itu akan mengguncang siapapun dan menjadikan kegaduhan yang lebih besar, melebar kemana-mana, dan mampu mendatangkan kerugian yang lebih besar lagi.     

Kadang kala keadaan mengharuskan seorang pemimpin terlihat menjengkelkan, mengorbankan eksistensinya sebagai seseorang yang wajib terlihat sempurna dan bijak, hingga mencukupkan diri diberi stempel arogan. Dan kini, perlahan-lahan Mahendra memahami bagaimana opa Wiryo, pria tua kaku itu bekerja dan menciptakan keputusan-keputusannya.      

"Tuan, anda baik-baik saja?" ada nada khawatir dari ajudan yang selalu mengikuti kemanapun tuannya beranjak.     

"Tenang saja, kekacauan ini sudah aku perhitungkan." selepas mengucapkan kalimat tersebut, Mahendra keluar dari ruang meeting dengan perasaan carut marut. Pria tersebut belum pernah membuat keputusan yang berlawanan dengan hatinya. Membiarkan seseorang mencaci maki dirinya menggunakan raut muka mereka dan tentu saja bisikan yang terdengar menyakitkan.     

"Bawa aku pada Vian, aku ingin menjenguknya," Herry buru-buru mendekat supaya bisa mendengarkan permintaan tuannya lebih jelas, "Kau bilang Rolland masih dirawat?" ajudan tersebut mengangguk ringan, "Lama juga penyembuhannya. Aku akan sekalian ingin melihatnya," Mahendra meninggalkan gedung pusat perkantoran anak perusahaan DM Grup. Membiarkan Andos menyelesaikan sisanya. Pria ini memutuskan melanjutkan perjalanan menuju rumah sakit.      

***     

"Kihran? Kenapa kau berada disini?" Aruna mengeluarkan mantel lain yang sempat dia susupkan di dalam tas ransel. Duduk pada kursi yang memanjang di lorong rumah sakit. Mata gadis itu menatap penuh harap, sesaat kemudian mengalihkan pandangan pada sekelompok ajudan yang berada di ujung lorong.     

Aruna tahu orang-orang Djoyodiningrat memiliki ruangan khusus di rumah sakit ini. Mungkin karena saham atau entah apa. Dan perempuan tersebut juga mendapat fasilitas serupa, dirujuk ke tempat yang sama tiap kali haruskan mendapat perawatan atau sekedar cek kesehatan.     

"Wisnu? Jav?" memastikan dia mengenali sekelompok ajudan yang berada di ujung lorong, Aruna berjalan mendekat selepas memaksa Kihrani mengenakan mantelnya. Ini malam yang dingin dan tentu saja melelahkan bagi siapapun.     

"Minggir!" bibir mungil itu memberi perintah dengan nada tegas.     

"Nona? Bagaimana bisa anda berada disini?" mereka yang melihat Aruna demikian tersentak. Memandang satu sama lain.     

"Tentu saja ingin mengunjungi Vian," balas Aruna, "Ayo, Kihran! Kita masuk kedalam," dia hendak melangkah, akan tetapi salah seorang dari ajudan tersebut segera menghentikan gerak nonanya.     

"Tunggu! Anda mendapatkan izin suami anda?" lalu Jav melempar pandangan kepada Susi. Perempuan tersebut tak bisa berkata-kata. Namun, selepas melihat ketegaran nona muda Djoyodiningrat, dia ikut ambil bagian.     

"Apakah sopan seorang ajudan menanyakan alasan nonanya?" Susi membalas tatapan mereka. Jav maupun Wisnu kecurian kata.     

Aura berbeda yang ditunjukkan Aruna menjadikan perempuan itu terlihat begitu dominan. Dia memandang Jav, sampai ajudan tersebut akhirnya menggeser tubuhnya memberi jalan.     

Kihrani masih berjalan di belakang hingga sebuah celah pintu menjadikannya penasaran —dia mengintipnya, alih-alih menunggu nonanya meminta izin pada para petugas kesehatan yang sedang bekerja.      

Vian terbaring di atas brankar dengan selang yang terpasang pada lengan dan hidungnya. Keadaan pria itu nampak kritis dan gadis ini –kini menyesali pesan-pesan kaku yang dia hantarkan malam itu. Malam dimana pimpinan divisi tersebut dengan konyolnya menyanyikan lagu anak-anak. Seharusnya dia lebih pengertian.      

"Kihran, duduk lah! Kau sudah makan?" si empunya nama menoleh, merelakan celah pintu yang menyajikan panorama pilu di hadapannya. Gadis tersebut terdiam dan perempuan bermata coklat buru-buru mengeluarkan hidangan yang dia bawa, "Kemari lah! Isi perutmu lebih dahulu" ujarnya mendesak.     

Tak lama kemudian, seseorang yang mengenakan jas putih datang menemui tiga perempuan, "Siapa keluarga tuan Vian?" perempuan-perempuan tersebut saling memandang.     

"Kami," kata Aruna berikutnya. Dia mengingat Yellow House dan itu membuatnya berpikir cepat untuk mengatakan 'kami'.     

"Hanya boleh satu orang saja jika ingin mengunjungi tuan Vian, pasien sedang dalam penanganan khusus," mendengar ini Aruna lekas mendorong tubuh Kihrani kedepan.     

"Dia yang akan mengambil bagian," kalimatnya tak terbantahkan.      

"Nona??" dia yang didorong sempat terhenyak. Sekejap berikutnya gadis ini mengambil langkah mantap selepas menangkap senyum di wajah nonanya.      

***     

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Mahendra meminta terhubung dengan kakeknya. Tak butuh waktu lama ketika pria tua itu mengirimkan alamat surel Clara. Nafasnya berhembus panjang sebelum menuliskan pesan pada musuh bebuyutan keluarganya.     

Selamat malam,     

Seharusnya saya mengatakannya selamat pagi dan salam kenal dari saya, cucu jauh anda.      

Saya tahu, orang-orang saya ada pada anda. Saya ingin menegaskan bahwa kami telah menarik mundur semua pekerja kami. Tolong kembalikan orang-orang saya dalam keadaan baik.      

Kakek saya terlambat memberi tahu batasan yang tidak boleh saya langgar dari kesepakatan kalian. Saya sering diperingatkan dan saya tak menyangka, orang-orang anda adalah sekelompok manusia yang mengambil tindakan sebelum memberi peringatan.     

Mari kita bekerja sama dalam hal ini.     

Surel itu terkirim.     

Mahendra pikir dia perlu menunggu seharian untuk mendapatkan balasan. Kenyataannya, ketika mobilnya bahkan belum menyentuh lobi rumah sakit, dia mendapatkan pesan balasan dari Clara.     

[Apa yang kau tawarkan, selain menarik mundur pekerjamu di lahan kami?] seharusnya Mahendra bisa memprediksi bahwa semua tidak akan mudah ketika berurusan dengan musuh bebuyutan keluarga Djoyodiningrat.     

"Hah! Sial!" dia mengumpat atas balasan yang menurutnya terlalu serakah.     

[Bagaimana bisa anda berpikir saya akan memberikan lebih? Ini bukan sesuatu yang bisa anda tawar] secepatnya dibalas pesan tersebut.     

[Aku tahu, kau mencintai orang-orangmu seperti keluarga. Dan aku juga sangat memahami bagaimana kakekmu menjadikan anjing-anjing peliharaan seperti keluarganya sendiri] balasan yang paling tidak masuk akal bagi Mahendra mengingat orang di ujung sana adalah perempuan tua. Pria tersebut sempat meyakini surel ini di pegang orang lain.     

Tuan muda Djoyodiningrat memang ditumbuhkan penuh tekanan dan didikan keras oleh kakeknya. Dia hampir berpikir pria tua itu orang paling kaku, keras kepala dan paling kasar yang pernah dia temui. Tapi tak pernah sekalipun dia melihat oma Sukma atau perempuan di sekitarnya menunjukan kekasaran sefrontal ini.     

[Jika anda berani menggores anjing saya. Mari kita bertaruh!] balasan Mahendra menjadikan penerimanya dipenuhi tanda tanya.     

[Bertaruh? Apa maksudmu?]     

[Bertaruh siapa yang akan menemui ajal terlebih dahulu ketika saya melepaskan semua anjing yang saya pelihara dalam kegelapan.] dia mengetuk tangannya beberapa kali sambil menunggu balasan.     

Seolah waktu berjalan sangat lambat, dan Mahendra menjadi tidak sabaran [Sekali saya mau bersikap licik seperti anda, rumah keluarga Diningrat hancur pagi ini juga. Saya beri waktu sampai tengah hari. Jangan lupa! Saya Mahendra, bukan Wiryo. Oh' rumah sangat sepele, bukan? Bagaimana dengan hancurnya saham Tarantula, bukankah ini menarik?. 'Percobaan pembunuhan para petinggi Tarantula Grup', headline yang bagus untuk berita utama. Kecelakaan beruntun yang terorganisir untuk menghilangkan nyawa presdir Djoyo Makmur Grup, anda pikir kemana sopir mobil itu berada?] ada senyum miring selepas dia mengirim pesan tersebut. Kecelakaan yang menimpa kakeknya, Mahendra masih punya kartu As si pengki sang pelaku tabrak lari mobil tetua Wiryo.      

Tak butuh waktu lama untuk balasan berikutnya [Kau! Beri tahu aku, dimana orang ku harus melepas anjing-anjingmu!]     

[Bagus! Anda tidak lupa bahwa saya Mahendra, bukan Wiryo. Terserah anda, dimanapun lokasinya. Mau melepas orang-orang saya kapanpun dan dimanapun, saya bisa menemukannya. Kalaupun saya diharuskan menjemput mereka di markas anda, bahkan saya sudah mengetahui tempat itu. Gedung klub malam Atmodjo. Sangat mudah ditebak, bukan?. Sesungguhnya, saya hanya menunggu itikad baik adik kakek saya. Sebelum saya terbakar emosi dan memutuskan memusnahkan tempat itu atau rumah Diningrat sekalipun! Saya bisa melakukannya. Jangan lupa, anda mengenal kakek saya tapi tidak dengan saya] senyum itu semakin lebar ketika ide-ide gilanya muncul.     

[Oke. Aku akan menurutimu kali ini. Aku peringatkan kau anak muda, mari kita menjaga kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya]      

[Baik. Asal tidak ada yang mengusik ketenangan, saya akan mengatur batasan] Mahendra keluar dari mobilnya dengan wajah yang jauh lebih cerah. Mengeluarkan handphone dan memerintahkan Pradita untuk menyiapkan penjemputan orang-orangnya.     

.     

.     

Lelaki bermata biru menyusuri lorong. Berjalan lebih tenang, menyapa Wisnu dan Jav lebih ramah. Anehnya, dua orang laki-laki serta yang lain, spontan menampakkan ketegangan.     

"Ada apa dengan kalian?" tanya Mahendra heran.     

Herry mengerutkan keningnya tatkala Jav diam-diam mendekat, membisikan kalimat 'nona Aruna ada di sini, apa kau tahu itu?' spontan matanya membelalak selebar-lebarnya, "Tuan, mari kita menemui Rolland terlebih dahulu?" otaknya berpikir cepat, mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi.     

Herry menggerakkan telapak tangan kirinya. Meminta siapapun untuk memperingatkan nona mereka.     

Serta merta Jav berjalan cepat masuk lebih dalam ketika telapak tangan kanan Herry memberanikan diri menarik lengan tuannya dengan tangkas, sehingga pria itu berputar dan mengamati ajudan tersebut dengan garis wajah mengeras, "Ada apa denganmu?,".     

"Vian, em' maaf, senior Vian masih..      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.