Ciuman Pertama Aruna

IV-55. Keputusan Sepihak



IV-55. Keputusan Sepihak

0Dan Key tertawa renyah seolah dialah netral utama yang memiliki segala informasi penting, "Anda pikir kata-kata saya sekedar isapan jempol?," lelaki ini menatap pintu, "Pay! Masuklah!" tanganya menghempas udara dan pria yang memiliki senyum misterius tersebut mengumbar senyumannya ketika dengan hati-hati anak buahnya —yang Gibran tahu pernah datang bersama dengan orang-orang Mahendra dalam pesta di ballroom launching produk digital Tarantula, masuk kedalam.     

"Dia pernah menghuni ruangan dingin itu, dan selama ini disekap di sana. Walaupun setiap keluar masuk, Pay di tutup matanya, dia bisa mendengarkan bagaimana mereka berbicara. Bagaimana mereka mendekatkan mata mereka dan memanfaatkan telapak tangannya untuk masuk ke dalam celah tersebut," Mewakili Pay, Key putra pertama Barga menjelaskan ruang dingin yang ditakuti para dewan Tarantula.     

"Mereka memiliki kekuatan yang sebenarnya lebih dari yang kita pikirkan," suara Pay menyita perhatian seluruh anggota dewan, "Saya tinggal di ruang putih selama berbulan-bulan, tapi saya tidak disiksa dan cukup makan. Namun secara psikis ketika melihat warna yang sama dan tak ada harapan, saya seperti seseorang yang sakit psikologis, yang sedang di awasi dua puluh empat jam. Semua orang akan terguncang di bawah sana. Lebih baik mati daripada dibiarkan kesepian tanpa apapun, kosong, merasakan hampa, dingin dan mencekam," dia mendesah dalam, matanya membulat lebar seolah akan keluar dari wadahnya.     

"Kita juga memiliki gedung yang berfungsi serupa," seseorang dari penghuni meja rapat bersuara.      

"Tapi tidak sejeli dan tak seserius mereka dalam menanganinya," Key menyerobot suara lain, "Dan ada sesuatu yang perlu diwaspadai. Mereka memiliki orang-orang yang sangat setia, yang memilih mati daripada mengingkari keluarga Djoyodiningrat," dia menambahkan, matanya mengembara mengamati setiap orang yang ada dalam ruangan tersebut.     

"Hah! Hahaha," dan para dewan menyambut ucapan Key dengan tawa mencemooh, "Kita dulu juga pengikut keluarga itu, 'dengan setia'," lalu tawa-tawa lain saling bersahutan. Menekankan kata 'dengan setia'.     

"tapi apakah anda tahukah bagaimana dengan sekarang?" Key menaikan alis matanya sebelah, "Silahkan siksa satu saja dari mereka," dia mengarahkan telunjuknya pada layar yang baru padam, "Saya sudah pernah melakukan segala cara, menyiksa satu ajudan mereka supaya mengatakan rahasia lantai itu tapi dia memilih diam walau jari-jarinya kupotong," dan semua mata spontan menatap putra pertama Barga. Pria kejam ini mendapati sebagian orang tercengang atas ucapannya.     

"Tidak usah khawatir," Rio meredam segala gundah hati yang disajikan peserta meeting. Dia tersenyum samar, ada sesuatu yang tak diketahui yang lain bahwa pria ini pernah membuat kekacauan dengan memanfaatkan seorang perempuan yang begitu dekat dengan keluarga Djoyodingrat, "Kita kembali fokus pada diskusi inti kita. Informasi semacam itu tak perlu dikhawatirkan, kita bukan anak-anak" kata 'anak-anak' sepertinya ditunjukkan pada Key. Rio memiringkan pandangnya, mengamati putra Barga "Ambil alih gedung kita,".     

"Tapi gedung itu seharusnya menjadi milik Heru," Ndaru Atmodjo keberatan. Gedung yang di bangun dekat salah satu klub malam putranya mendapatkan subsidi terbesar Atmodjo, tentu saja tujuannya untuk memberikan bangunan tersebut pada pewarisnya -Heru-. Dan memberikannya pada Key adalah bagian dari pengacau rencana Atmodjo.      

"Apa kau ingin melawanku?," Rio memandang Atmodjo dengan menyajikan senyum samar selepas kepulan asap keluar dari bibirnya.      

"Gunakan gedung itu Key. Aku suka keberanianmu, nak. Lebih suka lagi kalau kau ternyata benar-benar bermanfaat. Kuharap aku menemukan bakat alami yang kusukai," dia mengatakan kalimat tersebut sembari menatap putranya sendiri, "Dan jangan pernah gentar pada kakek tua itu atau siapa pun. Kita lihat, apa yang bisa dia lakukan dengan jiwa saling memiliki yang mereka banggakan," matanya mengamati setiap orang dalam meja meeting.     

***     

Malam itu di tempat berbeda. Lebih tepatnya di gedung yang berdiri sebagai kantor utama anak perusahaan Djoyo Makmur grup, dimana salah satu lantainya menjadi perkantoran DM Construction. Mahendra bersama dengan orang-orangnya baru saja tiba pada ruang meeting utama. Ruangan besar itu menyajikan suara mendengung seperti lebah. Mereka keberatan dengan panggilan di malam hari.     

Suara-suara tersebut menghilang dalam sekejap, selepas mata mereka menangkap sekelebat kedatangan Mahendra yang terlihat tak nyata.     

Tidak ada satupun dari mereka akan menduga, Presdir yang hampir jarang sekali terlihat kini berjalan menuju sebuah kursi dan duduk begitu saja. Matanya menatap sekeliling seolah tengah mengabsen. Semua orang tahu, pria tersebut adalah orang yang sulit ditaklukan. Beberapa kali dari mereka harus merevisi ini dan itu demi tanda tangan persetujuannya yang terkenal mahal.     

Lelaki bermata biru tak bersuara sama sekali sampai seluruh kursi yang mengelilingi meja berisi. Dan ketenangannya menularkan ketegangan.      

"Mengapa dia disini?" salah satu dari mereka berbisik pada yang lain.      

"Pasti ada sesuatu besar yang telah terjadi," yang lain mengatakan praduga yang mungkin saja benar adanya.     

"Aku yakin, dia akan membuat kita tak bernafas besok pagi. Tunggu! Ini sudah dini hari," beberapa menggerutu. Sesekali melirik jam pada pergelangan tangannya.     

"Kalau dia membuat keputusan gila, aku akan mundur hari ini juga," kalimat-kalimat berbisik ini tak bisa terelakan.     

Mahendra berdehem dan semua punggung menegak dengan mata tertuju padanya, "Apakah saya perlu menyapa dengan ramah?" dia bertanya dan yang lain pura-pura tertawa. Bahkan sebagian terpaksa menampilkan senyum.     

"Saya tahu, kalian akan kecewa pada saya setelah malam ini. Sayangnya, saya tak punya cukup waktu untuk berbasa basi atau menjelaskan panjang lebar," dia yang bicara melirik Herry, kemudian beberapa berkas mendarat di meja, di depan masing-masing orang yang hadir dalam meeting, "Saya akan membayar kalian penuh bahkan memberikan bonus, asal kalian merelakan dua-tiga proyek yang ada di atas meja kalian,".     

"Ini? Apa ini?!" seorang dalam meeting tanpa sengaja memekikkan kekecewaan.     

"Jika kalian menganggap keputusan ini gila, tepat sekali! Otak kalian sedang bekerja. Tapi bukankah penawaran saya —bukan sesuatu yang merugikan?." Mahendra tak memberi kesempatan siapapun berucap, dia menatap setiap orang yang akan mengujarkan protes.     

Sampai salah seorang dari mereka memberanikan diri berdiri, "Saya akan mengundurkan diri kalau besok pagi para pekerja kita mundur. Perusahaan macam apa ini? Ketika perusahaan-perusahaan lain mengharapkan kemajuan dan jelas-jelas proyek ini menguntungkan serta bermanfaat bagi masyarakat, tapi anda malah berlaku demikian!".     

Andos bergerak cepat mendekatinya ketika pria itu hampir mengacungkan tangan ke arah Mahendra, "Biarkan saja Andos, dia benar," walaupun gerak tangkas Andos menjadikan orang tersebut memilih duduk kemudian tergagap untuk berkata-kata kembali. Sayangnya, hal tersebut mampu memicu keberanian yang lain.     

"Bisakah kami berdiskusi dengan pak Surya terlebih dahulu?" dia yang bicara berusaha keras agar suaranya terdengar tak bergetar.     

"Seharusnya beri kami kesempatan. Bagaimana bisa memutuskan sepihak. Dalam waktu singkat?" suaranya mendesah, dan kemudian disambut suara-suara lainnya.     

"Sungguh! Memundurkan semua pekerja di tengah proyek yang gemilang, ini tak masuk akal," Andos melirik Mahendra selepas kalimat tersebut menyapa gendang telinganya.     

"Sangat diktator!," dan kalimat-kalimat protes tersebut hanya didengarkan Mahendra dengan tenang. Pria itu bahkan sadar, andai dirinya tak berada di tempat ini dan didukung dengan kekuasaan yang dia miliki, dia bukan lagi di protes. Akan tetapi bisa saja mendapatkan hujatan dari anak buahnya sendiri.     

Tuan muda Djoyodiningrat tersebut kian ingat perilakunya terhadap keputusan sepihak yang sering di cetuskan kakeknya. Dan kini, dirinya berakhir sama saja. Sediktator pria tua tersebut.     

"Boleh disebutkan, apa alasan anda?" kalimat ini dilayangkan oleh pimpinan DM Construction yang sedari tadi terlihat paling resah.     

Mahendra tertangkap memutar matanya sesaat, "Ada sesuatu yang kadang tak bisa diungkapkan. Tapi tahukah kalian? Setiap keputusan selalu ada latar belakangnya. Saya sangat tahu beberapa dari kalian disini adalah para kontraktor, para arsitek berdedikasi tinggi. Ada misi yang mendalam bersama proyek ini, saya akan menjanjikan proyek serupa tapi tidak untuk tahun ini. Keselamatan beberapa orang lebih penting dari apapun," dan dengan demikian, pria tersebut menutup meeting sepihak. Dimana beberapa orang pada akhirnya memilih meninggalkan jabatan mereka malam ini juga. Meninggalkan DM Construction selepas proyek berharga dilepas tanpa latar belakang yang gamblang tersampaikan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.