Ciuman Pertama Aruna

IV-54. Ratu Menjalankan Tugasnya



IV-54. Ratu Menjalankan Tugasnya

0Mendapati reaksi nonanya, Susi berujar, "Tentu saja Vian, siapa lagi?," selepas bicara, mulut ajudan itu terbuka lebar dan pisaunya terjatuh. Dia baru sadar bahwa yang dia lakukan adalah kebodohan fatal.     

"Apa yang kau lakukan?" Aruna menundukkan tubuhnya hati-hati guna mengambil pisau yang dijatuhkan Susi. Terlepas dari rasa syok atas mulutnya yang kelepasan bicara, ajudan senior tersebut lekas menyambut apa yang dijalankan nonanya.     

"Mari segera kita selesaikan ini," pinta perempuan yang nampak menyisingkan bajunya dan lekas mengambil bahan makanan lain di dalam kulkas, "Aku ingin kita masak lebih banyak," Susi sekedar mengangguk dengan bibir terbungkam. Harap-harap cemas nonanya tak menyodorkan kalimat tanya yang lain, terkait keberaniannya mengungkapkan sesuatu yang tak seharusnya dia sebut.     

Anehnya ketika semua hidangan telah siap, perempuan dengan manik mata coklat membungkus sebagian. Memasukkannya pada kotak-kotak bekal dan menatanya dengan rapi. Selebihnya makan malam tersebut dia makan tak bersisa.     

Selepas merasa cukup mengistirahatkan tubuhnya, Aruna meminta Susi ikut bersamanya naik ke lantai dua dalam hunian tersebut. Mengeluarkan ransel lalu meminta ajudan senior yang bersamanya membungkus mantel dan sebuah baju ganti ke dalam tas tersebut.     

"Nona, apakah anda ingin keluar?" Aruna tak menjawabnya sampai perempuan itu selesai mengenakan mantel hangat yang menjulur hingga menutupi lututnya.     

"Minta petugas di lobi menyiapkan mobilku," dan kalimat ini menjadikan tubuh Susi menegang.     

"Jangan bilang anda ingin ke rumah sakit?" Susi menghentikan aktifitasnya dan mendekati nonanya, menatap penuh harap. Senior ajudan tersebut tak bisa menahan dirinya untuk melarang Aruna keluar dari huniannya.     

"Apakah kau punya kewenangan menghalangi keinginanku?" Aruna membalik kalimat tanya tersebut pada Susi. Dia perlu menunjukkan kekuasaannya.     

"Saat ini keberadaan anda menjadi tanggung jawab saya, jadi saya berhak menolak permintaan anda," dia berdiri dengan tegap menetapkan keputusannya.     

"Jadi hanya segitu kemampuan seorang ajudan perempuan senior keluarga Djoyodiningrat yang dikenal tangguh?" Aruna menyedekapkan tangan, memiringkan kepala menatap Susi secara menyeluruh, "Bahkan dia tak bisa menjaga nonanya yang sekedar ingin menjenguk seseorang yang terkulai di rumah sakit?" kalimat ini mendesis seolah memberikan cibiran, "Ini malam hari, sebahaya apa malam yang tenang ini?" tangan mungilnya merebut ransel yang dipegang senior ajudan —yang sedari tadi bergeming selama nonanya berbicara, tak memberi jawaban sampai perempuan mungil istri tuan muda Djoyodiningrat tersebut berjalan melewati dirinya dan menuruni tangga.     

Dia menuju pantry, yang mana Susi terus berusaha mengejar langkahnya dan memberinya peringatan. Sayang sekali, perempuan hangat ini menjadi kian keras kepala selepas mengandung. Aruna tetap menata bekal makanan yang dia siapkan dan memasukan secara hati-hati pada tas yang sudah tersedia. Menganggap senior ajudan tersebut tak ada, lalu berjalan keluar dari hunian dan memencet tombol lift.     

"Aku sudah banyak berdiam diri dengan keadaan yang menimpa orang-orang di keluarga ini. Aku akan berbuat yang terbaik pada wilayah yang bisa aku gapai. Aku tahu, Surya hilang. Aku juga tahu Vian bukan orang sembarangan. Lelaki itu seseorang yang cukup penting di lantai yang tersembunyi di bawah gedung ini -bukan? Aku yakin, rumah sakit tak akan menjadi tempatnya berbaring jika kondisinya tidak parah," dia mengatakan kalimat tersebut tanpa menatap Susi. Mengamati pintu lift hingga terbuka dan memasukinya, disusul ajudan senior  yang terbungkam seribu bahasa.     

"Apakah salah ketika seorang pendamping mengambil peran? Jika suamiku pemimpin kalian, bukankah aku ratu di sini? Ratu harus menjalankan tugas yang tak sempat dilakukan suaminya. Menjenguk, mendamaikan dan memberi harapan. Aku tahu itu tugas ku," dan Susi kehilangan muka ketika mendengarnya.     

Ajudan Senior tersebut lekas berjalan cepat selepas lift terbuka di lantai pertama. Melintasi lobi terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil. Perempuan bermata coklat menghembuskan napas lega setelah kakinya memasuki kendaraan yang akan membawanya menuju rumah sakit.     

"Maafkan ke-tidak sopananku tadi, -Susi," dia kembali hangat. Mengingat dirinya yang bahkan sepuluh tahun lebih muda dari perempuan yang masih terbungkam.     

"Saya yang harusnya minta maaf. Anda lebih luar biasa dari yang saya bayangkan. Dan tanpa sengaja, berani-beraninya saya mengecilkan jiwa besar yang bersemayam di hati anda," mata mereka sempat bertemu dari balik kaca spion yang terpasang dia atas duduk sang pengemudi.      

***     

Gibran membiarkan dirinya berdiri sampai para anggota dewan duduk. Hal yang sama juga dilakukan dua orang pria lainnya. Putra pertama Rio hampir tak percaya, pertemuan kali ini dihadiri generasi yang lebih muda selain dirinya.     

Dua orang yang sejak datang ke dalam ruangan yang berdinding dan berlantai kayu, akan tetapi kenyataannya di balik lapisan-lapisan kayu tersebut ada lapisan baja yang di konstruksi khusus sehingga yang berada di ruangan ini lebih awam daripada berada di ruang dengan dinding batu bata.      

Tatapan permusuhan sangat terlihat jelas dari dua orang pria yang seusia Gibran, yang tak lain dan tak bukan adalah Heru dan Key. Yang sangat tidak dimengerti oleh putra pertama Rio adalah, bagaimana bisa sulung dari keluarga Barga berada disini?     

Selama ini, kalau Heru atau Rey mengikutinya sebagai bagian dari orang kedua Gibran -kepercayaan- yang diminta hadir satu meja dengan para dewan terhormat adalah kewajaran. Tapi, Key? Ada apa gerangan dan apa perannya sehingga putra pertama Barga berada di tempat ini?.     

Benak Gibran bertanya-tanya. Dan belum usai pertanyaan ini mendapatkan jawaban, secara mengejutkan Key berdiri di antara mereka yang duduk. Layar diujung pusat meeting dadakan ini menampilkan sebuah video cctv.      

"Oh," Gibran memalingkan wajahnya. Jantungnya berdetak tak nyaman menatap sekelompok orang dengan tangan dan kaki yang terikat serta bertelanjang dada, berdesakan dalam satu ruangan abu-abu dengan cahaya remang-remang.     

"Bagus!" gendang telinga Gibran mendengar suara ayahnya mengudara dan diikuti pujian dari yang lain. Yang paling bertolak belakang dari orang-orang yang hadir adalah ekspresi Heru Atmodjo. Wajahnya demikian kaku dan menatap Key penuh permusuhan.     

"Heru, bagaimana dengan bagianmu?" putra pertama Rio tahu, si empunya nama sempat terhenyak -ketika mendengar pertanyaan tersebut-, sebelum menjawab dengan nada sedikit terbata.     

"Sesuai permintaan para dewan terhormat," kalimatnya sedikit berlebih hingga kata 'terhormat' yang terdengar penuh jilatan menghasilkan kerutan di dahi Gibran, "Perempuan itu sudah saya kirimkan pada mereka, kalau itu tak berhasil," -kenyataannya tak berhasil-, "Mana mungkin orang-orang DM grup terbang, dan kembali datang ke kota tersebut. menjadikan orang-orang Key bisa menyekapnya? Kalau bukan karena bagian saya berjalan sesuai target. Jadi sebenarnya ini kerja kita bersama," dia menarik bibirnya lurus dan penuh dengan ekspresi percaya diri yang di buat-buat.     

Anehnya seolah tak memahami putranya. Ndaru Dirga Atmodjo, ayah dari Heru Atmodjo, menepuk pundak anaknya dengan bangga. Dan Gibran dengan jelas merasakan ada yang disembunyikan oleh pria tersebut -Heru-.     

Sialnya, hanya putra pertama Rio lah yang tak tahu gerakan ini. Entah, apakah dia perlu bersyukur tak dilibatkan ataukah dia sengaja disisihkan. Bahkan pemuda ini tak mampu membuat prediksi apapun terkait tujuan mereka. Hanya saja, selepas orang-orang yang hadir dalam pertemuan tersebut memberitahukan bahwa Key akan mendapatkan kursi pada kantor pusat Tarantula, barulah nama Gibran disebutkan.     

"Entahlah, apakah masih ada posisi jabatan yang bisa saya tawarkan?," Gibran menyadari bagaimana Bianca sedang berupaya keras memperbaiki kinerja para karyawan dan meninjau beberapa SOP yang selama ini ada di dapur human resource, segalanya masih carut marut. Di tambah dengan kedatangan si brandal satu ini, sudah dapat dipastikan putri Adam tersebut kian berat tugasnya.     

Mengamati raut muka Gibran, Key berceletuk, "Saya tak butuh jabatan atau pengakuan seperti yang lain, saya butuh lebih dari itu," kalimatnya merebut perhatian para anggota dewan, "Seharusnya orang seperti saya bergerak di bawah tanah seperti para penghuni lantai D -milik Djoyo Makmur grup," dia berujar dengan percaya diri.     

Spontan mata para penghuni ruangan berkilat-kilat, "Apakah kau yakin ruangan itu ada?".     

"Bukankah itu hanya isu?" mereka saling menyahut.      

"Jangan bercanda!," sebagian yang lain tak sungkan menegur kalimat yang dilontarkan putra Barga.     

Dan Key tertawa renyah seolah dialah sentral utama yang memiliki segala informasi penting, "Anda pikir kata-kata saya sekedar isapan jempol?," lelaki ini menatap pintu, "Pay! Masuklah!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.