Ciuman Pertama Aruna

IV-53. Demikian-kah Dunia Bekerja



IV-53. Demikian-kah Dunia Bekerja

0"Tentang kuliahku," kalimat ini mampu mendobrak detak jantung seorang pria yang sejak pagi telah menerima kalimat-kalimat mengejutkan dari kakeknya, "Aku sudah bicara dengan kak Aliana dan berdiskusi dengan bunda Indah," setiap kata yang keluar dari bibir Aruna layaknya pemompa denyut nadi yang alami. Bukan hanya jantung yang berdetak hebat, Mahendra bahkan menahan nafasnya tanpa sadar ketika mendengarnya.     

"Aku tidak akan mengambil kelas sampai melahirkan, bisa jadi sampai si kecil siap aku tinggal untuk kembali ke kampus," dan si pendengar yang tengah mengkhidmati detak jantungnya —memejamkan mata, menghayati kerelaan istrinya yang dia dambakan. Hingga tanpa sadar, bahu mungil dia dekap erat sambil membisikan kata terimakasih mendalam.     

Mahendra mengecup pelipis Aruna sebelum matanya benar-benar terpejam dan tertutup sempurna.     

Mengetahui suaminya tertidur, perempuan tersebut memilih untuk melepaskan dekapan. Berjalan perlahan mendekati kaca yang tertutupi gorden. Tangan menjulur, menyibak kain tersebut dan mendapati cahaya kota metropolitan yang sibuk di dasar sana.     

Matanya menerawang dalam ketenangan, mengingat bekas-bekas perjalanan hidupnya. Dulu sekali, dia pernah melakukan hal yang sama seperti saat ini. Taman sebuah perumahan di atas gedung menjadi pilihan gadis biasa seperti Aruna waktu itu. Dan kini, perempuan tersebut layaknya tuan putri yang bahkan hempasan udara malam tak di ijinkan menyapa wajahnya walaupun panorama itu serupa.     

Dulu dia memperjuangkan keluarganya dan menggadaikan masa mudanya dengan cara berbeda. Sekarang dia juga melakukan hal yang serupa walaupun keadaan telah berubah, "Apakah seseorang harus menggadaikan sesuatu untuk mencapai sesuatu yang lain?" pertanyaan ini terlontar dari bibirnya, mendengung di telinganya dan menggetarkan jiwanya, "Tiap-tiap tujuan punya tuntutan dan setiap harapan,  perlua sesuatu yang harus dipertaruhkan, demikian-kah dunia bekerja?" dia meninggalkan kaca yang memberinya panorama malam yang mengesankan.     

Berjalan dengan memandangi perutnya dan memeluknya, "Kau lapar sayang? Mari kita makan. Tak apa mommy mu cabi, yang penting kau tak kelaparan," tersenyum sendiri. Perempuan tersebut membuka kulkas dan mengamati isinya.     

"Mari kita lihat apa yang bisa kita nikmati," belum usai ia mengeluarkan makanan ke atas meja pantry, gendang telinganya mendengar bunyi bel yang dipencet beberapa kali. Dan Aruna sangat tak menyukai ini, suara alarm yang menandakan bahwasanya ada seseorang yang hendak berkunjung ke hunian tersebut pasti akan mengganggu tidur nyenyak Mahendra di ruang tengah.     

Buru-buru mengambil langkah cepat membuka pintu, perempuan tersebut tahu pria dan beberapa orang di hadapannya tak asing. Alisnya hampir menyatu ketika mereka lekas memasuki ruangan walaupun kata maaf sempat diperdengarkan oleh Aruna.     

"Kami mencari tuan," kalimat yang keluar dari si kacamata dengan rambut coklat yang bergelombang.     

"Apakah aku mengizinkanmu masuk?" Aruna menatapnya penuh permusuhan. Belum sempat pemuda itu membalas kalimat, mata keduanya dan beberapa orang tamu yang lain menangkap larinya Herry.     

"Nona, maafkan kami," seolah dengan sengaja dibereskan oleh Herry, Aruna dihentikan untuk melontarkan kalimat keberatan atas ketidak sopanan para tamu yang menginginkan bertemu dengan suaminya, yang masih tidur nyenyak.     

"Sudah aku bilang, dia masih tidur," suara Aruna tertahan-tahan supaya tetap bervolume rendah dengan penekanan yang jelas penuh emosi ketika si kacamata berambut coklat gelap mendapati Mahendra terbaring di ruang tengah dan dia menekuk kakinya hendak membangunkan tuannya.     

"Lepaskan aku, Herry!" masih bervolume rendah, Aruna menghentakkan lengannya supaya ajudan tersebut melepaskan telapak tangannya yang dengan berani menyentuh lengan nona nya.     

"Maaf, maafkan aku, nona," hanya itu yang Herry ujarkan sampai Mahendra akhirnya terbangun dengan menggeleng kepalanya, linglung sejenak dan buru-buru bangkit dari pembaringannya. Dan dengan demikian, ajudan tersebut lekas melepas lengan Aruna hingga perempuan ini bergerak cepat mendekati suaminya yang berjalan tergesah hendak meninggalkan dirinya.     

"Hendra, kau akan meninggalkanku sendirian? Di sini?" Aruna yang sejak tadi menahan diri akhirnya memekik. Suaminya bahkan lupa berpamitan padanya selepas pria berkacamata dengan rambut acak-acakan itu mengatakan sesuatu pada suaminya.     

"Herry, antar istriku ke rumah induk!" perintah Mahendra kemudian berjalan begitu saja. Aruna menggigit bibirnya sendiri dan membalik tubuhnya memunggungi kepergian lelaki bermata biru. Dia tak suka melihat punggung suaminya untuk pertama kalinya.     

Sekian detik berlalu, Mahendra berdiri di depan lift yang terbuka. Matanya menoleh pada pintu hunian mereka yang belum tertutup, "Pradita, turunlah lebih dahulu. Kumpulkan para petinggi DM Construction. Tak peduli semalam apa ini, kita akan meeting dengan mereka malam ini juga sehingga para pekerja kita besok pagi sudah tak ada di lokasi," si empunya nama tak mengujarkan apa pun, pria tersebut memasuki lift diikuti yang lainnya. Matanya memberi tahu harapan bahwa dia butuh Mahendra secepatnya. Dan lelaki yang masih berdiri di depan pintu mengangguk ringan, memberinya keyakinan. Walaupun Pradita tak mengatakan kata 'Iya', Hendra tahu, pemuda satu ini lebih dari cukup atas kesetiaannya pada kakeknya. Seseorang yang sering kali membocorkan tindakan-tindakannya kepada tetua Wiryo.     

Dan kali ini, lelaki yang kini menjabat sebagai Presdir tersebut merasa dirinya adalah kuda dalam permainan catur yang mampu berjalan dalam diam dan di balik bayang-bayang dengan kekuatan yang menakjubkan serta daya tahan terbaik. Mahendra bisa meyakini itu selepas dia menyadari bagaimana sudut pandang kakeknya bekerja dan bagaimana pemuda bernama Pradita lebih mematuhinya dari pada dirinya sendiri –Hendra-.     

Nyatanya, lelaki yang memilih turun belakangan kembali menemui istrinya. Memeluk punggung perempuan dari belakang dan mengecup pundaknya dengan lembut, "Kau ingin disini atau pulang ke rumah induk, atau ke rumah orang tuamu?" Aruna terbungkam seribu bahasa ketika mendengarkan ucapan Mahendra. Hatinya yang gundah belum reda dan perempuan hamil tersebut masih menyimpan kemarahan di dadanya. Suaminya seharusnya istirahat.     

"Apa kau harus pergi?" dia berujar tanpa membalikan tubuhnya.     

"Maafkan aku. Kenyataannya, iya," ada nada penyesalan yang dihaturkan bersama leher belakang yang diberi sentuhan bibir.     

"Dimana tempat terdekat kalau nanti kau bisa pulang menemuiku?" Aruna melepaskan dirinya dan berbalik menatap pria tersebut, "Apakah di sini?".     

Mahendra tertangkap berpikir sejenak, "Tapi kau akan kesepian disini," jawabnya selepas mengamati wajah penuh harap di hadapannya.     

"Jawab dulu!" mata dengan manik coklat menatap penuh wajah lelaki yang memberi pandangan sayu dan tangan yang bergerak menyentuh rahang di bawah pipi kirinya, "Aku butuh jawaban, bukan masukan,"     

"Iya," singkat Mahendra.     

"Kalau begitu, aku akan disini menunggumu. Pergilah," Aruna memalingkan wajahnya ketika pria itu benar-benar mengambil langkah pergi selepas menepuk pundak Herry yang jelas diminta menjaga istrinya.     

Ketika punggung itu menghilang, Aruna mendekati Herry, "Sebesar apa masalah yang dia hadapi?" mata itu menyorot ajudannya seolah sedang berupaya memojokkannya.     

"Walaupun anda mengangkat tangan anda untuk menampar wajah saya, anda tahu, saya akan tetap menutup mulut," jawaban Herry mengantarkan Aruna menghembuskan nafas lelahnya. Dia tersabda seperti orang bodoh ketika bertanya pada ajudan yang berkaitan dengan kesetiaan. Pemuda ini lebih sialan dari siapapun di rumah induk tentang keterikatannya dengan Mahendra. Seseorang yang layak dicemburui pertama, sebab dia bisa berada di sekitar suaminya tiap saat dan waktu.     

"Ikuti suamiku, beradalah di dekatnya. Dan pastikan dia minum dan istirahat dengan cukup. Kau hafal suplemen yang harus dia minum –bukan? Jangan sampai dia lupa." Ini pesan Aruna, bergerak mendekati pintu dan membukanya seolah tengah mengusir Herry.     

"Bagaimana dengan nona?" nada suara pemuda di hadapan Aruna melemah.     

"Susi dan Kihran di bawah, aku bisa memanggilnya menemaniku. Cepat berangkat! Pergilah!" ajudan itu masih bergeming, "Tuanmu tahu Susi ada di lantai bawah, kau tak percaya padaku? Katakan itu pada Hendra! Percayalah padaku, dia akan menerima alasanku memintamu pergi padanya!" perempuan ini menggertak.     

"Ijinkan saya memanggil Susi dan memastikannya datang sebelum saya pergi," Aruna menggeleng lemah, meninggalkan ajudan yang terlihat mengeluarkan handphone dari sakunya.     

Perempuan tersebut sering bertanya-tanya, bagaimana para ajudan dan pengikut keluarga Djoyodiningrat di didik? Keluarga ini bukan tirani yang bisa mengatur orang sampai sesetia itu. Tapi kenyataannya memang demikian yang terjadi.     

.     

.     

Ketika ajudan yang di hubungi Herry datang, Aruna hanya melihat keberadaan Susi.     

"Dimana Kihran?" tanya Aruna yang sedang mempersiapkan makannya, dan buru-buru diraih Susi —mengambil alih pekerjaan tersebut.     

"Oh' dia ke rumah sakit," senior ajudan tersebut mendorong ringan tubuh sang nona muda, dan merebut pisau yang sedang dia bawa, "Perempuan hamil tak boleh memotong," Susi berkilah.     

"Rumah sakit?" mengulang kalimat Susi, "Siapa yang sakit?" tanya Aruna sembari memperhatikan gerak cekatan senior ajudan tersebut.     

"Temannya," balas Susi singkat, memotong wortel di atas talenan.     

Aruna mengerutkan dahi mendengar jawaban Susi, kurang puas dengan jawaban ajudan senior tersebut.      

Mendapati reaksi nonanya, Susi berujar, "Tentu saja Vian, siapa lagi?," selepas bicara, mulut ajudan itu terbuka lebar dan pisaunya terjatuh. Dia ... ....      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.