Ciuman Pertama Aruna

IV-52. Induk Singa



IV-52. Induk Singa

0"Kemarilah, sayang. Hai, Jangan berlari," hal pertama yang didapatkan Mahendra ketika bertemu Aruna adalah pelukan manja dan bibir mungil yang mengecup pipinya —yang serta merta membuat lelaki tersebut menunduk agar istrinya dapat menggapai.     

Dalam dekapannya, Mahendra memberi senyuman kepada dua orang ajudan perempuan di belakang Aruna. Seolah paham dengan kode tersebut, mereka segera mungkin undur diri.     

"Kadang aku bingung?," kalimat seorang junior tatkala mereka melangkahkan kaki keluar dari hunian di puncak gedung Djoyo Rizt hotel.     

"Bingung kenapa?" Jawab seniornya, Susi.     

"Tuan Mahendra, dia sangat berbeda ketika di hadapan istrinya seperti saat ini dan saat nona Aruna menutup mata," Kihrani mengingat bagaimana dia merasa demikian sulit bernafas tatkala dihadapkan dengan lelaki bermata biru tersebut.     

Susi hanya tersenyum menanggapinya. Tangannya menjulur, memencet tombol lift. Sejenak alat transportasi berbentuk kotak tersebut bergerak menuruni lantai tertinggi, ia berujar, "Saat ini keadaan sedang genting, bahkan aku sangat terkesan dengannya,"     

"Terkesan?," Kihrani menatap Susi dengan ekspresi tak percaya.     

"Dia demikian ahli mengatur ekspresinya. Jika kau tahu kenyataan yang terjadi di luar sana, kau akan setuju padaku bahwa tuan muda seorang aktor yang pantas mendapatkan penghargaan," Susi berbicara dengan begitu bangga namun selepas kalimatnya usai diujarkan, senior tersebut seolah tengah menyimpan keresahan.     

"Apa yang terjadi? Ada apa di luar sana?," junior tersebut meratap, meminta informasi.     

"Kau pernah dengar nama Surya?" Kihrani menggeleng, "Yang benar saja? dia sahabat tuan dan CEO pusat DM grup yang menggantikan tuan Mahendra," mengamati juniornya tak memahami apapun, Susi menawarkan nama lain, "Bagaimana dengan Raka?" alis lawan bicaranya mengerut, tapi sungguh dia tidak tahu juga, "Oh' Vian, bukankah kau sangat dekat dengannya?".     

"Entahlah, dia lebih mirip seperti musuh daripada teman," Kihrani mengingat kata 'Bomb' yang membuatnya mendesis sendiri.     

"Saat ini tubuhnya yang tertembak sedang dalam penerbangan, menuju rumah sakit," kalimat Susi seperti petir yang menyambar di siang hari. Rahang bawah ajudan junior tersebut jatuh sekian detik sebelum tersadar, dan merasakan kakinya melemah. Malam itu, Vian tidak sedang bercanda. Lelaki tersebut mengatakan akan bersyukur ketika melihat fajar di pagi hari.     

Ketika pintu lift terbuka, Kihrani menggelengkan kepala saat ditanya oleh Susi. Dia bergeming. memilih keluar dan memutuskan turun ke lobi. Bermodal pesan tentang di mana rumah sakit yang menjadi tempat Vian dirawat, gadis tersebut memutuskan akan segerakan mungkin sampai di sana. Di rumah sakit.     

***     

"Mau makan?" tawar Mahendra. Menyodorkan masakan buatannya.     

"Tadi sudah makan di rumah Dhea," dan lelaki yang detik ini duduk di hadapan istrinya, menarik piring yang mendarat di atas meja untuk dia santap seorang diri. Aruna merasa demikian damai ketika mengamati suaminya menikmati makanan.     

"Aku suka kau makan dengan ketenangan seperti saat ini. Jangan seperti tadi pagi, itu membuatku resah" Mahendra tersenyum mendengar pengakuan istrinya. Padahal bisa jadi hatinya sama saja, akan tetapi kalimat-kalimat kakeknya membuatnya memilih hal berbeda.     

Apakah demikian –yang selama ini dilakukan pria tua tersebut? Kenapa beliau sering mengatakan para perempuan lebih baik tak tahu apa-apa dan menikmati hidup aman serta kebahagiaan di dalam rumah induk.     

Tempat itu tak lagi terlihat seperti kastil di lereng bukit. Entah bagaimana, sudut pandang Mahendra kini bergeser bahwa kakeknya membangun hunian tersebut dengan megah dan dipenuhi berbagai fasilitas untuk memastikan perempuan-perempuan yang di harus menetap di sana menjadi nyaman.     

Setiap laki-laki memiliki pikirannya sendiri dan mayoritas mereka tak pandai merangkai penjelasan, bahkan sebagian yang lain dengan sengaja menyembunyikan hatinya yang asli demi tetap terlihat baik-baik saja.     

.     

.     

"Apa kau ingin tidur di sini?" Aruna bertanya, sorot matanya melambangkan ungkapan keheranan. Bukan kebiasaan suaminya memilih ruang keluarga di depan televisi untuk merebahkan punggungnya dan membiarkan tubuhnya berguling bersama istrinya di atas karpet tebal di depan tv yang menyala. Mahendra adalah lelaki dengan privasi tinggi serta tindakannya yang serba perfeksionis, jarang sekali gerak geriknya dan kebiasaannya terasa bebas seperti detik ini.     

"Tempat seperti ini yang tidak dimiliki rumah induk," berbeda dengan rumah keluarga Lesmana yang memiliki ruang tengah nyaman dan dipenuhi dengan nuansa hangat, di mana televisi menjadi sentral utama dan piano usang karena tak ada yang bisa memainkannya —sekedar pajangan. Mahendra selalu terkesan tatkala dia bisa melihat Anantha dan Aditya memainkan game atau menonton film bersama, para laki-laki di keluarga istrinya terlihat akrab. Dan suatu saat, lelaki tersebut ingin merasakannya.     

"Mau menonton film?" perempuan dengan manik mata hangat menawarkan. Dan lelaki yang detik ini memberikan lengannya untuk dijadikan bantal sang istri yang tengah bergerak mengangkat sedikit tubuhnya, menggelengkan kepala.     

"Aku ingin menonton ini," Aruna lekas tertawa ketika Mahendra memilih channel national geographic di mana layar di hadapan mereka menyajikan bayi-bayi lucu para singa dan induknya yang tengah menjaga mereka.     

"Lihatlah, para induk selalu lebih hebat," bertarung dengan alam menumbuhkan bayi-bayinya bahkan memastikan bayi jantan aman dari pejantan lain.     

Berburu dan menyusui, belum lagi memastikan mereka berada di tempat yang aman ketika sang induk melakukan perburuan. Kemudian saat mendapatkan makanan, dia akan makan paling terakhir selepas para pejantan makan serta anak-anaknya selesai dengan makanannya pula.     

"Bisa jadi kami para lelaki, lebih tepatnya aku —sama saja. Sama dengan mereka, aku tak mungkin tahu cara memberi selimut terhangat untuk putra putriku. Tak tahu cara merajut baju-baju hangat mereka. Tak tahu kebutuhan susu mereka. Aku takut aku tak bisa berbuat banyak. Aku mengandalkanmu walaupun sesungguhnya keluargaku dan tentu saja aku yang menghasratkan lahirnya bayi-bayi itu," monolog Mahendra membuat perempuan di lengannya meringkuk memeluk perut suaminya erat-erat. Mungkin karena hormon kehamilan atau entah oleh apa, perempuan tersebut menitikan air matanya, "Aku mencintaimu, sangat, terlebih bayi kita. Kau pasti bosan mendengarkan kalimatku," manik mata biru sayu, mendekap perempuan dengan dengan hangat.      

"Tidak," sanggah Aruna parau.     

"Aku tahu, kau gadis yang berbakat. Andai bukan aku yang menjebak mu dalam pernikahan ini dan terus-terusan mengharapkanmu, aku yakin sekarang kau hampir sampai pada puncak itu, impian-impianmu, kuliahmu, karirmu," Mahendra membuka wajah perempuan yang hobi bersembunyi di dadanya, "aku tahu cintaku egois,".     

"Tidak, sama sekali tidak" dia yang bicara menggeleng.     

Tangannya bergerak menyisihkan rambut-rambut halus yang tumpah menutupi sebagian wajah perempuan di hadapannya, "Dan sekarang kau disini-," lalu Mahendra terdiam lama.     

Dari manik mata biru yang memberinya tatapan penuh, Aruna seolah bisa mendengarkan kalimat yang tak sanggup ia ucapkan, "Apa kau pikir aku sedang meratapi keadaanku?" perempuan tersebut memberanikan diri berkata demikian selepas lelaki di hadapannya menghempaskan nafasnya yang dalam.     

"Kau hanya berakhir sebagai betina yang mengandung bayi singa jantan tak tahu diri," suaranya bernada jenaka tapi matanya tak sedang bercanda.     

"Bukan begitu Hendra!" protes perempuan tersebut.     

"Kenyataannya demikian, jangan mengelak. Gadis yang seharusnya menjadi bintang kampus malah duduk di sini dengan kaki bengkak dan seluruh wajahnya membengkak, tubuhnya membawa bayi yang terlalu berat untuk kakinya. Harusnya dia sudah bisa membangun outlet Surat Ajaib menjadi gedung atau minimal sebuah-"     

"Hush!" manik coklat melebar meminta suaminya menutup mulut, "Aku tak mau mendengarmu bicara lagi! Aku akan pergi dari sini kalau kau terus mengatakan kata-kata sembarangan. Aku tak menyesal berada di sini, dalam keadaan seperti ini. Baby buah cinta kita, tak layak dibandingkan dengan apapun," ia memalingkan wajahnya, selepas menatap lelaki dengan mata menyala penuh ketidak setujuan.     

Ketika tubuh perempuan tersebut tersungkur memunggunginya, Mahendra mendekapnya dari belakang. Menghirup rambut harum dengan bau sampo khas yang tak menyengat namun menjadikannya rindu tiap saat, "Jadi bisakah aku menitipkan bayiku pada induk singa yang baik ini?," dia berkata sembari memberi kecupan di pelipis.     

"Aku sudah memutuskan sesuatu Hendra, aku belum sempat mengatakannya" ada dahi mengerut mendengar kalimat tersebut.      

"Keputusan? Apa?" dia yang bicara menaikan tubuhnya setengah terduduk, mengamati istrinya yang detik ini menoleh menawarkan sorot mata coklat yang hangat.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.