Ciuman Pertama Aruna

IV-51. Begitulah Cara Lebah Bekerja



IV-51. Begitulah Cara Lebah Bekerja

0Pagi di rumah Diningrat.     

"Syakilla," dia berbisik sangat dekat dengan telinga, "Bangunlah. Ayo, bangun," kembali bersuara sedikit keras.     

"Hemm," gadis yang merasa terusik menggeliatkan tubuhnya, matanya mengerjap dan lekas terbuka tatkala Gibran tertangkap memasang wajah tegang.     

"Bangun sekarang Syakilla," si empunya nama lekas terduduk dan masih sempat menggeliat dalam duduknya tatkala Gibran membuka selimut dan buru-buru meletakkan sandal rumahan di bawah ranjang terdekat dengan jangkauan kaki gadis tersebut. Sejenak berikutnya, lelaki bersurai hitam pekat berjalan dan mengintip sesuatu dari balik kelambu.     

"Apa yang kau lihat?" gadis kurus penasaran dengan sangat, dia mengikuti cara Gibran mengamati pelataran rumah keluarga Diningrat yang luas. Mobil-mobil berwarna hitam datang satu per satu, dimana para sopirnya lekas berlari membuka pintu dan sekelompok pria keluar diikuti ajudan-ajudannya. Mereka yang mengikuti pria yang lebih berumur, masing-masing menawarkan payung berwarna gelap. Hitam atau abu-abu, dan salah satu diantaranya tampak lebih menonjol, yakni ayah dari lelaki yang saat ini masih menatap awas pemandangan tersebut.     

Rio datang dari arah berlawanan diikuti lelaki yang menjadi pengawal pribadinya dengan payung putih menutupi kepala. Payung-payung penghalang gerimis tipis layaknya benang-benang yang dijatuhkan dari langit.     

"Para dewan datang," Gibran mengeluarkan suaranya dengan ekspresi penuh kengerian, "Ikuti aku sekarang," dia meminta Syakilla segera membuntuti langkahnya. Putra pertama Rio keluar dari kamar dengan mata awas dan mendorong gadis bertubuh kurus tersebut untuk menaiki tangga yang berakhir di kamarnya, "Jangan keluar sampai aku datang, ingat!" lelaki yang detik ini menatap putri Baskoro, melebarkan matanya seolah kata-katanya tak boleh dilanggar.     

Syakilla masih duduk di ranjang ketika Gibran memasuki kamar mandi lalu memutar kran shower, dimana detik berikutnya suara rinai air terdengar nyaring. Tak perlu waktu lama, lelaki bersurai pekat keluar lebih cepat dari biasanya.     

"Syakilla, kemarilah!" ia menggeser sebuah kursi kecil yang secara tersirat meminta gadis tersebut naik ke atasnya. Tatkala Syakilla menaikinya —ia tahu, lelaki di hadapannya meminta dirinya untuk merapikan dasi saat tangannya dengan buru-buru mengaitkan kancing kemejanya dan melengkapinya dengan jam tangan. Ketika perlengkapan pakaian yang dibuat dari sutra dan dasi yang telah terpasang pada leher kemeja dengan sempurna, Gibran tertangkap menata rambutnya sekilas dan menghilang di balik pintu.     

"Jika aku lama dan kau lapar, panggil nanny. Tapi ingat! jangan keluar!, " lelaki tersebut menatap telepon rumah di sudut nakas. Syakilla mengangguk tanpa penolakan.     

.     

.     

Beberapa menit berlalu, gadis kurus dalam kamar tampak mengamati lelaki bersurai pekat yang berdiri di taman rumahnya, tersenyum dengan tarikan bibir yang dipaksakan dan membungkuk berulang kali tatkala menemui orang-orang yang tadi ia sebut para dewan. _Siapa para dewan?_ benaknya bertanya-tanya.     

Orang-orang itu memasuki rumah kayu yang berdiri terpisah di sisi kanan rumah Diningrat. Mata sayu gadis tersebut sempat menangkap seseorang menawari Gibran cerutu dan sekali lagi, lelaki tersebut membungkuk sembari memasang senyum penuh paksaan. Punggungnya dipukul ringan dan dia pura-pura tertawa.     

Entah bagaimana, Syakilla seolah bisa memberi penilaian antara ekspresi asli Gibran dan kepura-puraan. Mungkinkah karena keduanya telah hidup di kamar yang sama selama sebulan, sehingga kian hafal bagaimana putra pertama Rio yang sesungguhnya.     

"Apa kau lapar, nona? Sudah sarapan?" suara perempuan tak menghentikan kegiatan Syakilla mengamati keadaan di luar jendela.      

"Letakkan di situ," acuh tak acuh ia menjawab.     

"Aku juga lapar," mendengar kalimat tersebut, buru-buru Syakilla berbalik. Ternyata bukan nanny yang bersuara, melainkan Geraldine yang memasuki kamarnya.     

***     

[Sayang, bagaimana Dhea?] suara Mahendra mengawali percakapan pada sambungan teleponnya.     

[Lebih baik, dia akhirnya mau makan. sekarang sedang tidur] balas Aruna selepas mendengar kalimat Tanya suaminya.     

[Apakah ada yang menjaganya?] kembali Mahendra bertanya.     

[Keluarga pak Surya baru datang, ibu dan adik-adiknya bahkan keponakannya datang,] dia yang bicara sedang memandang lurus perempuan yang terlelap.     

[Baguslah,] ada nafas berhembus menandakan selama percakapan ini berlangsung, lelaki diujung panggilan seolah menahan sebagian udara memenuhi dadanya, [Datanglah ke hotel, aku ingin menghabiskan waktu bersamamu. Aku butuh tidur, dan aku ingin kau di dekatku] Andai Mahendra bisa melihat bagaimana pipi Aruna memerah tatkala mendengarkan permintaannya, pasti lelaki tersebut akan memeluknya atau minimal mengecup pipinya yang merona dan tampak cabi.     

Ini siang hari menuju sore hari, namun Aruna sangat tahu suaminya belum tidur sejak semalam atau mungkin hari-hari sebelumnya. Lelaki tersebut hidup tanpa punya waktu istirahat yang cukup. Dan permintaan untuk ditemani berbaring adalah kebahagiaan tersendiri bagi dirinya. Artinya, Mahendra mendengarkan sarannya. Perempuan tersebut menatap jalanan dengan manik mata coklat yang terbuka cemerlang sepanjang mobil yang membawanya bergulat dengan hiruk pikuk kota menuju kembalinya sang surya ke peraduan.     

.     

.     

"Apa yang anda sesali sepanjang hidup anda? —kalau boleh saya tahu," entah bagaimana kalimat tersebut lah yang keluar dari mulut Mahendra. Dia telah menerima banyak masukan dan nasehat. Hingga sebuah titik dimana dirinya membayangkan bagaimana jadinya saat dirinya tua nanti, disaat usianya seumur kakeknya. Akankah dia lebih beruntung? Ataukah keadaan lebih buruk? Jadilah, pertanyaan tersebut yang keluar dari mulutnya. Lelaki bermata biru diburu oleh rasa penasaran.     

"Kematian putraku, adik Gayatri," jawaban ini terngiang di telinga Mahendra, terus terngiang-ngiang. Lelaki tersebut membawa kalimat-kalimat kakeknya ke dalam lift yang membawanya menuju lantai tertinggi.     

"Andai aku lebih fokus lagi memperhatikan Sukam dan Gayatri, tapi siapakah kita? Kita hanya manusia yang kadang kesulitan menentukan mana yang harus diutamakan," tambah kakeknya. Mahendra adalah lelaki, seorang calon ayah dengan bayi yang ada di perut istrinya. Dia tahu duka pria tua tersebut. Dia lebih dari paham untuk mengerti rasa sakit itu.     

"Apakah kematiannya ada kaitannya dengan-?" Mahendra tak mendapatkan jawaban pasti.     

Akan tetapi dengan cara kakeknya menjawab, "Itu sebabnya, aku menegaskan berulang-ulang, bahkan ikut campur untuk kelahiran penerus kita," lelaki bermata biru bisa mengambil kesimpulan sendiri.     

"Apakah itu sebabnya anda menumbuhkan anak-anak di Yellow House dan sebagian-nya sengaja disiapkan sebagai penghuni lantai ini (lantai D)?," semua pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam kepala Mahendra mendesak untuk dikeluarkan.     

"Harapanku pupus waktu itu, Gayatri masih kecil dan aku tak bisa melihatnya akan mampu melawan kegigihan orang-orang misterius yang mengganggu keluarga kami, dan ternyata pelakunya Clara serta orang-orang yang sesungguhnya aku percaya. Mereka menyembunyikan kejahatan mereka bertahun-tahun, mengharap perusahaan ini berubah dari kepemilikan tunggal menjadi —ah kau tahu maksudku," kakeknya begitu banyak bicara hari ini dan Mahendra merasa sangat senang. Dia merasa tak sendiri walaupun kalimat yang keluar dari mulut Wiryo tak lain dan tak bukan adalah akar masalah itu sendiri.     

"Itu sebabnya mereka ingin menghapus nama Djoyodiningrat" Mahendra memasuki huniannya di lantai tertinggi ketika benaknya kembali menelusuri percakapannya dengan tetua Wiryo.     

"Lebih dari itu, Clara amat sangat menginginkannya, dia bahkan tidur di sana. Di makam ayah kami semalaman demi menemuiku yang dia yakini, –aku akan datang ketika pusara telah kosong, demi menghindari pengetahuan orang lain. Dia mengambil sumpah di hadapan ku —akan membunuhku, dan semua orang yang mewarisi nama Djoyodiningrat, dia layak melakukan itu. Aku masih muda dan sangat egois. Ayah ku hanya ingin melihatku sekilas sebelum dia menutup mata tapi aku menolaknya, aku menolak bertemu dengannya semenjak ibuku bunuh diri. Penyesalan sudah terlambat, yang terbaik sekarang jaga putra putrimu dengan baik," lelaki bermata biru masih ingat ungkapan rahasia kakeknya yang hanya diutarakan padanya sampai kursi roda Wiryo didorong keluar ruangan, selepas memperkenalkan orang-orang yang menjadi dewan Tarantula —yang sesungguhnya telah Mahendra ketahui sebelumnya. Walaupun tak sebanyak pria tua tersebut.     

Dan kemudian melangkah beriringan meninggalkan lantai bawah tanah.     

Sebelum opa Wiryo menghilang, pria tua dan cucunya sempat mengamati ruangan Pradita. Menatap anak-anak muda yang bekerja di sana, "Dan itulah hasil dari keputusan anda mengumpulkan anak-anak malang untuk dididik di Yellow House?" mata mereka memperhatikan hasil didikan yang detik ini tengah berkonsentrasi tinggi di depan layar membentang sembari terus memberi komando pada anak buahnya.     

"Itu balas dendam terbaik ku setelah kehilangan putraku. Aku dan Sukma boleh kehilangan putra kami, rahim nenekmu tak bisa mengandung lagi. Tapi bukan berarti aku tak bisa menciptakan putra-putra hebat. Begitulah cara lebah bekerja, fokus membangun sarangnya, menghasilkan madu, dan siap dengan bala tentara terbaik ketika di ganggu," Mahendra tak lagi sanggup mengumpatkan kata-kata yang diam-diam sering ia tumpahkan pada kakek tua tersebut.     

"Hendra, jika memang kau ingin terhubung dengan Clara, kakek bisa membantumu. Kecuali Surya tidak berada di tangannya —akan lain ceritanya. Tapi sebelum itu, pastikan mundur dari lahan basahnya," lelaki bermata biru menundukkan kepalanya hampir menciptakan sudut sembilan puluh derajat ketika meninggalkan pria tua itu.     

Seorang presdir senior adalah penunjuk jalan terbaik, "Maafkan aku," dia mendesahkan kalimat tersebut ketika hampir selesai dengan masakan sederhananya di pantry huniannya pada lantai tertinggi Djoyo Rizt hotel.     

"Daddy?" perempuan hamil datang mengambil langkah cepat, dibuntuti dua ajudan perempuan.     

"Kemarilah, sayang. Hai, jangan berlari,"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.