Ciuman Pertama Aruna

IV-50. Menjadi Lebah Lebih Mulia



IV-50. Menjadi Lebah Lebih Mulia

0Pria tua di atas kursi roda terlihat tengah membuat perenungan mendalam. Dia menunduk, dan Mahendra bisa meyakini hal tersebut tak lain dan tak bukan adalah wujud dari kesedihan yang menjadi rahasianya.     

"Keluarga ini dulu punya hutang nyawa," kalimat pertama tatkala pria tua tersebut mengangkat wajahnya, menatap kosong. Sedangkan Mahendra memilih sekedar menjadi pendengar.      

Hening sesaat, hanya helaan nafas yang terdengar sebelum pria tua tersebut kembali berujar, "Ibuku memilih bunuh diri. Kau tahu, bukan?," ada anggukan dari lawan bicaranya, "Dan entah bagaimana, perempuan itu menjadi tersangka dan dia mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Padahal-," ada tawa di sela kalimatnya yang nanar tersebut, "Bukan dia pelakunya," lalu diam kembali. Sepertinya Wiryo tak sanggup lagi mengungkapkan rahasia yang ditanggungnya sendiri.     

"Jika anda tidak menceritakan pada siapapun, apalagi pada saya, saya tak akan mampu menjalankan perusahaan kita dengan benar —opa," secara mengejutkan Mahendra memanggil kakeknya dengan sebutan yang benar.     

"Aku mewariskan padamu sebuah catatan yang kusimpan pada brankas —di kamarku, di rumah induk. Aku tak punya kemampuan untuk mengatakannya secara langsung. Kau sangat pandai dan aku yakin dengan membaca catatan dan potongan-potongan surat kabar yang aku kumpulkan, kau akan tahu mengapa adikku. Adik tiriku. Saudara satu-satunya yang aku miliki, membenciku dan nama Djoyodiningrat yang kita miliki," pria tua tersebut tersengal tatakala menyelesaikan monolognya.     

Mahendra lekas berdiri, meraih gelas air dan menyodorkan air putih pada kakeknya. Baru pertama kali, pria kaku tersebut menunjukkan ekspresi ketidakberdayaannya. Dia seperti baru saja mendapatkan siksaan hanya dari kata tanya 'kenapa' yang keluar dari mulut cucunya.     

Mendudukkan diri di kursi terdekat dari pria tua tersebut —menjadi pilihan Mahendra, tatkala ingat pesan istrinya. Sebuah nasihat yang sempat menjadikannya berdamai dengan kakeknya, dulu sekali, 'Kalau kita yang muda tidak mengalah, menurunkan ego kita, lalu siapa yang bisa melunakkan hati orang tua kita? Mereka seperti itu sebab menyayangi kita'.     

"Lalu, apa yang harus aku lakukan opa?" dan dia untuk pertama kalinya meminta nasihat dengan nada paling tulus.     

"Ada berapa agenda kerja sama yang bakal memicu ketegangan?," Wiryo melirik cucunya, "Maksudku, kerja sama yang berpotensi merebut lahan mereka?".     

"Selama kepemimpinan ku ada 4, satu berhasil, yang ini-," dia yang bicara sempat menekan deheman, menjadi pertanda rasa malunya, "yang satu ini sangat berantakan dan dua lainnya sedang proses," manik mata biru kini menaruh perhatian penuh pada pria tua di atas kursi roda.     

"Tarik mundur untuk dua yang lain," .      

"Itu berarti kita membayar pinalti," Mahendra menangkap kalimat kakeknya dengan nada kecewa. Tentu saja DM construction sudah bekerja keras untuk tiga tempat terakhir yang sedang mereka kerjakan.     

"Lebih baik membayar pinalti dari pada membayar nyawa untuk mereka, Raka dan Surya tak akan dilepas kalau kau melewati batas. Mereka sedang menguji sejauh mana kau akan bergerak. Begitulah tarik ulur persaingan ini menjadi sedikit menyebalkan dan itu juga yang membuatmu tak pernah aku kunjungi selama enam tahun, sejak kelahiranmu sampai kau dinyatakan siap pulang ke negara ini," helaan nafas berat Wiryo terdengar kembali. Hendra bahkan tak pernah di sebutkan sebagai bagian dari bursa pengganti presdir sampai dia siap dan waktunya tepat.      

"Hanya dengan cara itu?" Mahendra ingin mengukur argumen-argumen yang diciptakan kakeknya.     

"Apa kau akan memilih perang puputan? [1]" mata Wiryo menatap tajam, "Dulu, aku hampir memilihnya. Meberangus mereka semua. Tapi kau tak boleh lupa hidup ini adalah pilihan, dari zaman dulu hingga sekarang —kita sama saja. Sejarah manusia sama saja terus berulang-ulang. Yang membedakan di antara manusia satu dengan yang lainnya adalah pilihannya dalam mengambil peran. Apakah kau akan mengambil peran si putih atau si hitam. Apakah kau memilih menjadi pahlawan yang mempertahankan wilayah mu, atau menjadi penjajah yang menciptakan kesengsaraan. Kau bisa memilih memberi generasi penerusmu beban atau meninggalkan gading (harta kebaikan). Berperang tak harus memberangus —Hendra," monolog paling panjang yang pernah didengar oleh lawan bicaranya. Kalimat-kalimatnya semacam petuah yang sejujurnya ingin Mahendra perdengarkan sejak dulu. Sayang sekali, lelaki bermata biru merasa terlambat mengawali perdamaian ini.     

"Lalu, akankah kita akan terus menerus bertahan? Anda menginginkan yang seperti itu?" dia yang bertanya semakin terdorong rasa penasaran untuk memahami pola pikir kakeknya.     

"Menjadi lebah yang menyerang ketika di ganggu, dimana koloni itu tetap fokus membangun sarang madu di rumahnya sendiri —jauh lebih mulia. Lebih terasa manfaatnya daripada menjadi belalang sembah (serangga predator yang memakan serangga lain). Dia bahkan tak pernah di sebutkan keunggulannya, kecuali menjadi olok-olokan anak kecil (pura-pura menjadi patung yang tertidur). Berbeda dengan lebah yang kemahsyuran hasil madunya tak terbantahkan," monolog Wiryo sekali lagi membungkam kalimat yang disusun Mahendra, berakhir tertahan di tenggorokan.     

Wiryo menghela nafas, memberi jeda sebelum kembali berujar, "Itu pola pikir ku, hasil perjalanan hidupku. Aku yang tak akan mengkhianati janjiku pada ayahku terkait adikku. Aku juga tak ingin munafik. Kau punya kesempatan lebih untuk bertindak berbeda, akan tetapi ingat pesan yang kusampaikan tadi. Jangan tinggalkan beban pada generasi penerus kita. Biarkan beban yang dititipkan orang tuaku, menjadi beban terakhir untuk bayi-bayi yang lahir atas nama Djoyodiningrat,".     

Mahendra mendesahkan nafasnya ketika kakeknya mengatakan bayi-bayi yang akan memikul nama Djoyodingirat. Rasa-rasanya, inilah alasan mengapa punggungnya harus menjadi lebih tegap lagi.     

"Pastikan fokus membangun yang di dalam. Keluarga ini, keluarga tunggal dengan sedikit pewaris. Jagalah anak-anakmu dengan baik. Mungkin saat ini kita tak bisa memimpikan perdamaian. Akan tetapi suatu saat di generasi berikutnya, aku berharap-" mata kakek Wiryo sempat mengembara sesaat, "Kau," dia menahan nafas ketika mengatakan ini, matanya mengabarkan seolah menyimpan rasa ingin memeluk cucunya, "Atau salah satu putra putrimu —bisa menyelesaikan ini, jika aku terikat janji dan seorang ksatria tak akan ingkar janjinya. Akan tetapi kau serta keturunan kita tak ada jeratan janji. Kalian berusaha lah berdamai —suatu saat nanti, andai tak bisa. Mari hidup dengan beriringan tanpa melampaui batasan," Mahendra mengangguk. Sejujurnya kepalanya masih dipenuhi tanda tanya terkait apa yang terjadi dahulu.     

Rasanya, lelaki bermata biru tak sanggup untuk menunggu lebih lama lagi. diam-diam dia menghasratkan sesuatu terkait mendekati brankas di kamar kakek neneknya untuk mencari asal muasal pertikaian ini.     

[1] Pertempuran Puputan Margarana merupakan salah satu pertempuran antara Indonesia dan Belanda dalam masa Perang kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada 20 November 1946. Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai. Dimana Pasukan TKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan [layaknya bunuh diri masal] untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai kembali wilayahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia II, mengakibatkan gugurnya seluruh pasukan termasuk I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikenang sebagai salah-satu Puputan di era awal kemerdekaan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.