Ciuman Pertama Aruna

IV-49. Dunia Dibawah Tanah



IV-49. Dunia Dibawah Tanah

0Selepas Mahendra mendapatkan kabar tumbangnya Vian dan orang-orangnya harus mundur dengan cara terburuk sebab kurangnya kecepatan dalam memberi informasi berharga, lelaki tersebut merasa berada di titik terendah dalam hidupnya dan kian kalut selepas melihat ekspresi terakhir istrinya. Perempuan hamil tersebut dalam kondisi kurang sehat, akan tetapi harus membawa dua tubuh untuk mengunjungi istri Surya. Kehidupan pribadi dan dunia di bawah tanah ini sungguh membuatnya merasa kacau detik ini.     

Mahendra menyingkir dari ruang kerja Pradita dan memasuki tempat Vian yang saat ini kosong —menjadi sesuatu yang dia lakukan secara spontan. Serta merta dirinya merasa sedikit bodoh selepas mengamati bagaimana ruangan ini tertangkap pengamatan matanya. Mereka adalah para penyidik, akan tetapi lelaki tersebut tak memikirkan hal ini sama sekali. Dan sekarang semuanya sudah terlambat. Pimpinan divisi yang saat ini sedang kritis tersebut, direncanakan akan diterbangkan pulang sore hari —di luar kepulangan yang lain.     

Dalam keadaan yang dia tak tahu lagi bagaimana harus menyelesaikan masalah saat ini, Mahendra mendapati seseorang membuka pintu. Andos berdiri di sana memberitahukan kakeknya datang. Untuk pertama kalinya, lelaki bermata biru merasa keberadaan orang tua itu menjadi hawa sejuk yang aneh.     

Datang dan menemui kakeknya dengan dihujani tatapan penuh dari ujung rambut sampai kaki, Mahendra merasa tersabda sebagai anak kecil yang sedang melakukan kesalahan dan akan dipukul kepalanya sampai benjol.     

Tetua Wiryo tidak banyak bicara, sekedar menggerakkan kepala meminta untuk mengikuti arah gerak roda otomatis yang membawanya. Pria tua tersebut menuju ruang di mana meja big data analisis ada di sana. Meja yang sesungguhnya adalah layar sentuh, di mana segala informasi telah tertanam oleh tim yang dibangun kakeknya. Dari generasi ke generasi.     

Masih tak mengucapkan sepatah kata pun, dan demikianlah kakeknya. Pria tua tersebut menggerakkan jemarinya di atas layar monitor yang sekaligus berfungsi layaknya meja. Andos yang berdiri sempurna di belakang Wiryo, menatap Mahendra seolah memberi tahu supaya lelaki dengan tubuh lelah yang memasang mata sayu tersebut harus lebih konsentrasi dan memasang matanya lebar-lebar untuk mengamati gerak gerik tetua.     

"Apa kau lelah?" kalimat ini terdengar seperti hinaan. Kenapa dia harus memiliki kakek seperti ini? Terkadang, Mahendra mengharapkan satu saja dari keluarganya —kenyataannya keluarga satu-satunya yang berjenis kelamin lelaki adalah kakeknya seorang— memiliki sikap hangat seperti keluarga normal lainnya.     

Atau kalau boleh berharap, minimal keluarga mertuanya yang akan memeluk dan memberikan ekspresi keprihatinan tatkala ada badai yang menghantam kehidupan salah satu anggota keluarganya. Tapi sepertinya, keinginan itu terlalu berlebih.     

"Kau seperti biasa, terlalu gegabah," dia memunculkan beberapa wajah di permukaan meja. Dan Mahendra masih menggerutu di dalam hati, sebab dirinya bekerja tanpa tidur akan tetapi masih saja dikatakan gegabah.     

"Ambilkan sesuatu yang membuatnya bangun!!" pria tua tersebut meraung di tengah ruangan yang terdiam.     

kenapa dia harus memekik sekasar itu? Mendengar raungannya, Andos bergegas keluar ruangan. Meninggalkan keduanya dan spontan raut wajah lelaki di hadapan Mahendra sedikit berubah. Dia menatap cucunya dengan cara sedikit berbeda, lalu mengatakan pesan tanpa pekikan, "Tegakkan punggungmu!" katanya, yang langsung dipatuhi oleh Hendra.     

"Begitulah seharusnya pemimpin bertindak. Telan ekspresi kegelisahan, tunjukkan kekuatanmu setiap saat, tiap kondisi dan disegala tempat tanpa peduli keadaan sedang berada di titik terburuk sekalipun. Itu bakat yang sudah aku ajarkan sejak dulu. Dimana bakat itu?! Jangan bilang, karena setiap malam kau didekap perempuan hangat dan lembut itu —jiwamu akhirnya melembut," suaranya kaku selaras dengan raut wajah tua yang berkeriput, tetapi tak menggambarkan emosi, adalah ciri khas seorang Wiryo.     

Mahendra terkekeh mendengar monolog kakeknya, "Kau? bisakah memberi pesan tanpa merangkai penghinaan?," dan kemudian hening. Sesaat meja tersebut membeku dan ketika Andos kembali mencoba untuk masuk dengan membawa sesuatu, lelaki tersebut diminta menunggu di luar ruangan.     

"Hmm, kenyataannya aku sama denganmu," kakek tua itu menjentikan sesuatu, detik berikutnya Mahendra menangkap sebuah foto pada layar di bawah matanya, "Kau harus segera menyelesaikan ini. Leader tidak diizinkan menunjukkan kekhawatiran barang sekejap pun,".     

"Aku tahu hal tersebut lebih dari siapapun dan aku berharap anda jangan mengkhawatirkannya," Mahendra menyimpan sebongkah kalimat yang ingin ia tuang dalam cangkir panas yang disajikan kakeknya, di sisi lain dia rasa tak akan ada gunanya. Terlebih dalam kondisi seperti ini.     

Secara sadar, lelaki bermata biru butuh bimbingan presdir sebelumnya, dan menjadi kian mengerti mengapa kehidupan pria tua tersebut demikian kaku. Bisa jadi, dulu ketika dirinya hanya sebatas CEO yang menyombongkan diri sebab mampu menciptakan peningkatan pesat selama setengah dasawarsa kepemimpinannya, Wiryo lah yang mengendalikan segala kedamaian dan kemudahan yang ia tempuh. Wiryo sering kali mengintervensi tanpa sebab dan menghentikan ini itu, atau aturan-aturan tidak berdasar yang membuat mereka sering kali bertengkar.     

Sepertinya, karena Wiryo lebih paham kehidupan gelap di dalamnya dan matanya terbuka lebih lebar untuk hal-hal buruk yang ia lalui di bawah tanah ini.     

"Itu foto dewan Tarantula," kalimat Wiryo menunjuk gambar yang tengah diamati Mahendra.     

"Saya sudah mempelajarinya,".     

"Perhatikan fotonya." Suara pria tua tersebut melembut. Tatkala manik mata biru mengamati dengan seksama, ada alis mengerut dan sesuai dugaannya ketika dia menangkap foto tersebut.     

"Apa yang kau pikirkan?" dia tersenyum miring, seolah ada cibiran untuk foto tersebut, "Semacam sekte gila," lalu tertawa, "Tapi tak ada kesalahan jika kau menangkapnya demikian, jangan anggap enteng mereka. Sudah berapa kali aku katakan jangan berani ambil proyek pemerintah," kembali suara kaku pria tua tersebut mengintimidasi.     

Mahendra melihat sebuah meja melingkar dalam ruangan khusus yang diisi sebanyak tujuh pria dan seorang perempuan. Asap menguar menjadi kabut putih yang berasal dari mulut dan tembakau mereka. Gelas–gelas tergeletak di atas bidang datar di hadapan mereka, seolah tengah mengimani sesuatu yang sama. Sebuah komando bersama yang pasti ini adalah pertemuan khusus. Foto yang tertangkap oleh kamera lama.     

"Jangan mengambil lahan mereka," ujar Wiryo yang menjadikan mata Mahendra menangkapnya, "Semua tahu konsepmu tentang kota itu belum pernah dipikirkan oleh perusahaan lain atau di gagas sekalipun oleh perusahaan manapun. Para pimpinan daerah memudahkan kinerja mereka dengan meminta konsep dan kemampuan para pekerjamu, untuk menjadikan APBD tersalurkan dengan kebermanfaatan yang sepadan melalui proyekmu. Tidak ada yang menyangkal kau dan orang-orangmu cerdas. Tapi tahukah kau hal semacam ini mematikan lahan perusahan lain?," Mahendra terbungkam seribu bahasa, dia tak pernah memikirkan tentang persaingan bisnis.     

Ini bukan tentang produk makanan yang bersaing di pasaran. Persaingan terkait proyek pemerintah adalah mangsa yang paling mudah dalam menggugah musuh, "Orang-orang daerah yang menjadi rekanmu terlalu lemah untuk membendung persaingan gelap ini. Kadang, beberapa dari mereka terlalu polos dan tak tahu apa-apa," dan sekali lagi Mahendra tak punya kata untuk mengimbangi kalimat kakeknya.     

"Dan lagi," Wiryo menghembuskan nafas berat, "Keluarga ini punya pesaing abadi. Entah kau menganggapnya enteng atau sekedar isapan jempol, orang-orang di dalam foto tersebut menginginkan berakhirnya keluarga kita," ia menutup kalimatnya.     

"Kenapa?" hening, "Kenapa kakek? Apa ada yang salah di masa lalu?" Mahendra menatap Wiryo. Matanya dipenuhi rasa penasaran.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.