Ciuman Pertama Aruna

IV-47. Jatuh Dipangkuan



IV-47. Jatuh Dipangkuan

0Mahendra menurunkan pandangannya, mematikan handphone dalam genggaman. Beberapa saat lelaki tersebut menunduk seolah sedang mengumpulkan keyakinan. Yakinkah dirinya untuk kembali meminta waktu, meninggalkan perempuan yang saat ini duduk di ranjang dengan wajah penuh harap.     

Netra biru cemerlang belum benar-benar menatapnya, tatkala perempuan tersebut mengatakan kalimat bernada lembut, "Mandi lah terlebih dahulu supaya lelahmu hilang," dan dengan bermodal permintaan tersebut, Mahendra tahu istrinya saat ini sedang menekan kemelut hatinya dan menyembunyikannya rapat-rapat demi dirinya.     

Mengangkat kepala, menatap manik mata coklat hangat yang selalu ia rindukan —yang kini tengah menyorot dirinya penuh harap, hingga seluruh sel-sel dalam tubuhnya tak kuasa untuk tidak memberi perempuan yang duduk di atas ranjang sebuah dekapan.     

Anehnya, lelaki tersebut merasa tak memiliki tenaga untuk sekedar merundukkan tubuhnya. Menekuk kedua kaki di atas selasar dan meletakkan kepala di pangkuan perempuan yang menjadi fajar dalam hidupnya yang segelap malam.     

Apakah ini yang dulu dirasakan seorang lelaki bernama Damar, tatkala anak buahnya mendapati sebuah foto pemuda dengan rambut panjang terurai jatuh di pangkuan perempuan tersebut? Meletakkan kepalanya, seolah-olah dunianya telah roboh dan hanya ia seorang -Aruna- yang bisa menyelamatkan sisa waktunya di dunia?     

Dan hari ini, Mahendra merasakan hal yang sama.     

Kaki bengkak serta beberapa jemari yang mulai menggemuk, ia amati dengan seksama tatkala kepalanya jatuh di pangkuan istrinya. Menikmati jari-jari mungil membelai rambutnya dengan halus. Seolah memberitahu, semua akan baik-baik saja. Dan untuk kesekian kalinya, lelaki bermata biru bersimpuh di atas selasar untuk perempuan yang sama.     

Perlahan tangannya terdorong untuk memeluk perempuan hamil yang terduduk kian rapat dan kuat.      

Aruna tak bicara, tak menyerbu dirinya dengan berbagai macam pertanyaan. Walaupun lelaki tersebut tahu pasti ada berjuta tanda tanya yang disembunyikan istrinya di kepala.     

"Aku," Mahendra mengawalinya dengan ragu.     

"Jangan katakan jika kau merasa berat untuk memberitahuku," dia yang berbicara, memastikan lelaki yang masih mendekap erat tubuhnya merasa nyaman.     

Mahendra terpaku —sekian detik, tatkala mendengar kalimat dari istrinya. Bagaimana bisa perempuan tersebut masih memikirkan kenyamanan suaminya disaat seperti ini?.     

Perlahan, lelaki bermata biru mengangkat kepalanya naik ke atas. Mencium perut yang kian membesar, bahkan dirinya tak yakin kehamilan istrinya belum mencapai tujuh bulan, akan tetapi pertumbuhannya seolah berlawanan dengan tubuhnya yang tak seberapa.     

"Apa dia sangat menyusahkan sepertiku?," lelaki bermata biru bertanya tatkala pada akhirnya dia bisa menemukan dirinya. Menatap mata coklat hangat selepas menegakkan punggungnya.     

"Tidak. Hanya sering protes ketika merindukan daddy nya," Aruna menarik lengan Mahendra dan menjadikannya duduk di ranjang yang sama. Membiarkan telapak tangan besar suaminya tetap jatuh di perut perempuan tersebut, "Kau tak akan percaya. Akhir-akhir ini, dia pandai sekali protes," ia menoleh kan sedikit kepalanya dan mendapati manik mata cemerlang berwarna biru yang menunduk ke arah perutnya. Merasakan jempol tersebut bergerak di sana.     

"Dia bergerak dengan lincah," sepertinya bayi di dalam perut Aruna tahu, ada seseorang yang mengharapkan komunikasi dengannya. Seolah tengah menggeliat manja di dalam sana.     

"Biasanya baby makin lincah di malam hari, aku tak menyangka dia menyapamu di pagi hari," dan kalimat ini menjadikan Aruna bisa menatap lesung pipi yang tidak dipaksakan.     

"Mari kita makan bersama. Aku yakin, baby sedang lapar," pemilik mata biru beranjak, menjatuhkan kecupan di pelipis sebelum memasuki kamar mandi.      

.     

.     

Aruna merasa lebih damai tatkala Mahendra benar-benar hadir di meja makan. Mereka menikmati sarapan hanya berdua saja, sebab lelaki di rumah ayah Lesmana sudah berangkat ke kantor mereka sejak pagi.     

Si sulung, kak Anantha, kabarnya mendapatkan sebuah tempat di gedung yang sama dengan kantor pusat anak perusahaan di bawah naungan DM grup. Sedangkan Aditya, tentu saja kian sibuk selepas Surya memilihnya menjadi bagian dari tim dibawah naungan CEO DM grup. Entah jam berapa kakak iparnya berangkat, sebab perempuan tersebut sudah tak mendapatinya tatkala keluar dari kamar. Dan ayah Lesmana? Jangan ditanya. Pria tersebut sangat mencintai bengkel dan kayu-kayunya hingga membuatnya lupa waktu. Hanya menyisakan mbak Linda yang terlihat sibuk menyiapkan sarapan mereka berdua. Tersenyum ramah tatkala Aruna mengatakan terima kasih.     

"Aku tidak makan berat di pagi hari," kalimat pertama yang diucapkan Mahendra tatkala setumpuk makanan sudah hadir di piringnya, "Kau yang harusnya menghabiskan ini, bukan aku," dia memprotes. Bukan sekedar banyaknya porsi, menunya juga bukan kebiasaan lelaki tersebut.     

"Anggap ini bagian dari permohonan istrimu. Aku yakin, semalam kau tidak sempat makan," kilah Aruna. Memasang wajah memohon.     

"Aku belum pernah mendengar orang bisa merapel makan seperti ini?," ia berbicara sembari tangannya meraih sendok. Tatkala mengangkat alat makan yang memiliki cekungan berbentuk oval atau bulat lonjong di satu ujung yang penuh makanan, lelaki tersebut mendesah berat. Dia seolah enggan memasukkan ke dalam mulutnya. Bukan karena sayuran hijau atau potongan ikan di atas sendoknya yang asing, akan tetapi isi kelapanya melayang pada seseorang yang akan menyukai menu tersebut.     

Mahendra mengingat Raka. Lelaki tersebut apakah dia sudah makan? dan apakah istri Surya bisa meneguk air tatkala sudah dua hari suaminya tidak menerima panggilan darinya?     

Sekelompok orang dari kantor DM grup mengantarnya pulang dan memberitahunya bahwa suaminya sedang berada di tempat yang sulit sinyal, tatkala perempuan berhijab tersebut datang ke kantor dengan mata merah berkaca-kaca.     

"Aruna," ia meletakan sendoknya. Wajah si empunya nama spontan cemberut bukan main, "Datanglah ke rumah Dhea dan hibur dia. Apakah kau cukup sehat untuk-"     

"Tentu saja. Aku akan lebih sehat dengan diizinkan pergi ke rumah temanku," Aruna terlihat bersemangat seketika. Akan tetapi, kemudian matanya mengembara, "Kenapa aku harus menenangkannya?,"     

Mahendra tak lagi berselera dengan makanannya, "Bisakah kau melakukannya tanpa mempertanyakan alasan?".     

Aruna spontan meraih gelas. Dia meneguk semua yang ada di dalam benda berbentuk tabung dari bahan kaca tersebut. Tenggorokannya akan kosong dalam sekejap mata tatkala lelaki di hadapannya mengatakan kalimat paling mujarab untuk menjadikannya terbungkam.     

"Dia sedang merindukan Surya, dan lelaki itu berada di tempat yang belum bisa dihubungi," Hanya kalimat tersebut lah yang Aruna dengar sampai Mahendra menghabiskan makanan di atas piring sajinya dengan cepat sekali dan begitu terpaksa. Seperti seorang anak kecil yang menegak sirup pahit sebagai obat.     

"Aku perlu seseorang yang mengantar," ucap Aruna berikutnya, menyadari suaminya bersiap merapikan dirinya.     

"Susi akan datang, termasuk temanmu —aku lupa namanya. Dia yang akan mengantarmu menemui Dhea," jawaban Mahendra membuat kening Aruna mengkerut.     

"Teman?" ia bergumam lirih. Detik berikutnya Aruna mengingat ajudan perempuan yang dimarahi Mahendra, sebab mengantar dirinya dan mommy Gayatri menikmati kebebasan melintasi gerbang rumah induk tanpa izin darinya.     

"Aku sangat mencintaimu," Mahendra berdiri, telapak tangannya yang besar membelai lembut pipi yang mulai cabi. Mengarahkannya naik ke atas dan sebuah kecupan hangat mendarat disana. Aruna tahu, itu tanda suaminya akan pergi lagi.     

"Jangan berani kemana-mana selain ke rumah Surya," ujarnya selepas kecupan itu terlepas, dan pelupuk mata yang sempat menangkup rapat —terbuka, menghujani istrinya tuntutan agar tak ada pelanggaran dari batasan yang baru dia ucapkan.     

"Hendra, apakah kau tak ingin berpamitan pada baby?" ada senyum samar dari Mahendra tatkala mendengar kalimat tersebut.     

"Teruslah sehat," bisiknya pada perut Aruna.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.