Ciuman Pertama Aruna

IV-46. Rerumputan Berembun



IV-46. Rerumputan Berembun

0Kakinya memijak rerumputan, lelaki bermata biru tiba di rumah ayah Lesmana tatkala seorang perempuan dengan kaki membengkak meminta di antar jalan-jalan ke sebuah taman di seputar perumahan tempat tinggal keluarganya.     

"Hendra," panggilannya demikian menenangkan dengan sinar mata coklat cerah yang bersahabat. Berjalan perlahan-lahan menuruni tangga setapak di teras, lalu bergerak cepat meraih pelukan tatkala sampai di hadapan Mahendra, "Apa kau lelah?" masih menempel di dada dengan santainya mengatakan demikian.     

_Terbuat dari apa hatimu?_ benak Mahendra. Bagaimana bisa perempuan tersebut tak bertanya dari mana suaminya? Mengapa meninggalkannya disaat kritis? Dan baru kembali sekarang. Akan tetapi ia malah menanyakan, apakah dia lelah?.     

"Tidak," Mahendra menjadikan tubuh mungil dengan perut membuncit —menempel, dan mendongak memenuhi dadanya. Tangan besarnya mengelus ringan sembari mengucapkan kata 'tidak' yang terucap lembut di dekat telinga, "Mau kemana?" ia yang bicara melihat mbak Linda. Asisten keluarga tersebut terdapati membuntuti ibu hamil dalam dekapan dan tentu saja disusul oleh ajudannya —Wisnu, yang berdiri di belakang kedua perempuan tersebut.     

Mahendra menggerakkan tangannya memanggil Wisnu. Tatkala ajudan tersebut mendekat, gerakan melempar kunci mobil yang ia kendarai sendiri ketika menuju ke rumah mertuanya, ia tunjukkan, "Hubungi Herry dan ikuti petunjuknya," kalimat ini lebih rendah dari yang terbisikan pada perempuan yang sudah melepas pelukan dan memilih berkonsentrasi pada kakinya yang tak terlapisi alas kaki.     

"Biar saya ambilkan sandal tuan, atau kak Anantha," mbak Linda menyingkir dengan segera selepas mengucapkan kalimat tersebut.     

"Sepatunya sudah tidak muat?," ucap Mahendra tatkala melihat kaki menggemuk di hadapannya, sejalan dengan mobil tak jauh darinya yang bergerak mundur. Keluar dari gerbang dibawa Wisnu.     

"Tuan, saya duluan, Susi dan juniornya akan segera datang," Wisnu memekik selepas menurunkan kaca jendela mobil dan detik berikutnya berderu panjang lalu menghilang dari pandangan.     

"Anda coba, mana yang muat," mbak Linda membawa dua pasang alas kaki berupa sandal jepit besar bernuansa lelaki, yang tentu saja bukan ukuran normal Aruna.     

"Aku yang ini saja," ucapnya, memilih paling sederhana, "Hendra, aku akan jalan-jalan sebentar. Istirahat lah. Jangan khawatir, aku lekas pulang kalau sudah bosan," ungkapan Aruna demikian santai seolah semalam dia tak mendapati tubuhnya menggigil kedinginan oleh suhu hangat yang menyerangnya, atau rasa nyeri yang membuat kepalanya demikian berat hanya untuk membuka mata.     

"Aku tahu, aku baru pulang, tapi aku tak akan mau membiarkan diriku melewatkan jalan-jalan pagi dengan istriku," mungkin keduanya pada akhirnya memiliki keahlian yang sama. Menyembunyikan sebagian keadaan dan menyajikan wajah berbeda.     

"Ayolah," Aruna cemberut. Mahendra tak memperdulikannya tatkala ia melepas benda spesial yang membungkus tubuhnya. Lelaki tersebut sempat tersentak oleh sesuatu yang menyelinap di dalamnya, akan tetapi ia pandai menyembunyikan ekspresinya. Kemudian buru-buru si hitam mematikan tersebut dibalut sempurna oleh jaket ayah Lesmana. Memberitahu mbak Linda untuk meletakkannya di kamar mereka tanpa membuka sembari mengedipkan sebelah matanya, kode bahwasanya pasangan suami istri tersebut tak mau di ikuti.     

Menyentuh telapak tangan istrinya, lelaki bermata biru melambatkan langkahnya. Berjalan beriringan menuju taman tak jauh dari rumah keluarga mertuanya. Dan berakhir di lapangan berumput hijau dengan pepohonan rindang yang mengitarinya, serta bunga yang diatur sedemikian hingga berbaris mengelilingi ruang olah raga buatan.     

"Hendra, coba lah. Ini menyenangkan," perempuan tersebut melepaskan alas kakinya dan membiarkan telapak kaki mungilnya bersentuhan dengan rerumputan yang berembun, "Kata dokter, aku harus banyak bergerak. Jalan-jalan supaya bengkaknya berkurang," dia berbicara sembari berputar, mondar mandir di hadapan suaminya. Lelaki dengan mata birunya yang duduk di kursi taman.     

"Jangan terlalu dipaksakan, duduk sebentar kalau lelah," netra biru cemerlang memandang damai istrinya. Diam-diam ikut melepas alas kakinya dengan mendorong sepatunya yang kiri menggunakan ujung sepatu kanan, akan tetapi tak berhasil. Tak mau membuang waktu lebih lama, tangannya meraih pantofel hitam mengkilap -yang ia kenakan- melepasnya, beserta kaos kaki dengan satu tarikan sempurna. Meninggalkan dibawah kursi taman. Berdiri mengikuti gerakan perempuan yang tersenyum senang.     

"Bagaimana?" dia menampakkan giginya yang putih rapi berjajar, "Geli?".     

"Aneh, basah, lumayan geli," mengangguk. Mengikuti perempuan yang terus berjalan memimpin langkah, menjauhi kursi taman, "Jangan berlari, itu berbahaya," suaranya memperingatkan.     

"Kau yang lambat," dia berujar dengan santai.      

"Sungguh, aku tak mau kau celaka," lelaki bermata biru mempercepat langkahnya. Menangkap tangan mungil lalu menariknya, "Jalan biasa lebih baik,".     

.     

.     

Tatkala mereka lelah dan kembali untuk mengambil sepatu Mahendra di dekat kursi pertama mereka datang, lelaki tersebut tertunduk meraih pantofel dan sempat terhanyut.     

"Ah' Hen!" botol air mineral hampir terjatuh ketika Aruna tersentak. Dan spontan, Mahendra mengangkat telapak tangannya, "Tenang, aku hanya sedang bercanda," dia membalik tubuhnya dan tersenyum jenaka.     

 "Tidak lucu! Sungguh," Aruna melempar kalimat gertakan -ada resah di dalamnya. Dia pergi. Memalingkan wajah meninggal kan suaminya.     

"Sekarang mau kemana?" tawar Mahendra dengan lesung pipi menghiasi raut mukanya, "Tadi bilang ingin beli sepatu baru, sandal baru?".     

"Tidak!" cepat Aruna membungkus kalimatnya. Berjalan lebih dahulu kembali kerumah.     

"Jangan ngambek, apakah bercanda itu salah??" dia mengatakan ini sepanjang perjalanan dan perempuan hamil tersebut terus berjalan tanpa memberi jawaban. Bahkan saat keduanya telah memasuki kamar mereka.     

"Aku mandi dulu," ketus Aruna, "Nanti kita sarapan, setelah kau mandi juga,"     

"Baik, sayang," Mahendra menghamburkan dirinya duduk di ranjang.      

Tatkala perempuan bermata coklat muncul kembali dari kamar mandi, ia mendapati suaminya mendengkur hilang di bawa tidurnya. Dia terlihat sangat kelelahan. Aruna Menaikkan kaki suaminya, hingga sempurna naik ke atas ranjang, detik berikutnya Aruna merapikan benda yang tergeletak sembarangan di pembaringan yang sama.     

Sekian detik membeku dan pada akhirnya merobohkan dirinya duduk di samping tubuh tertidur. _Mengapa dia bawa benda ini?_ matanya masih mengamati si hitam yang mematikan. Serta merta kepalanya ikut berdenyut. Pelipisnya berkeringat tatkala kembali membungkusnya dengan jaket ayah dan diletakkan seolah tak pernah dia sentuh.     

Aruna memaksakan diri untuk berdiri, tatkala mendapati sebuah handphone menyala di dekat tubuh yang terbaring. Pasti tadi terabaikan ketika Mahendra membaringkan tubuhnya.     

Menyambarnya dan segera menjawab panggilan atas nama Pradita yang menyebutkan kata, [Presdir. prediksiku]     

[Bisakah kalian beri dia waktu istirahat!] suara di ujung panggilan hening sekian detik.     

Sampai akhirnya kata [Nona, nona Aruna-]     

[Dia tak istirahat semalaman dan kalian masih saja menghubunginya,] sela Aruna, dan orang di balik panggilan terdiam lagi.     

[Kami juga tidak beristirahat,] suara ini sangat lirih dan hampir tak terdengar.     

[Apakah setiap hari? Tidak, bukan?!] hening, tak ada jawaban, [Dia hampir setiap hari seperti itu. Hendra bukan robot. Kumohon pada kali-] Aruna tak tahu kapan lelaki bermata biru terbangun. Perempuan tersebut baru tersadar dikala handphone yang terlepas dari tangannya, dibawa menyingkir ke arah jendela kamar yang terletak sedikit jauh dari jangkauan.     

[Katakan! Ini aku!] dan sepertinya mereka berbincang-bincang serius. Aruna tak punya daya lagi untuk berdiri. Dia mendudukkan tubuhnya di ranjang, mengamati lelaki yang tertangkap menciptakan kerutan resah pada dahinya.     

[Sepertinya Surya dan yang lain tak ada lagi di kota itu, saya salah prediksi. Ada yang ganjil,] kalimat ini diucapkan Pradita dengan nada buru-buru, [Perempuan itu, entah bagaimana dia ada kaitannya dengan bisnis keluarga Atmodjo]     

[Tim Vian?! Kau sudah menghentikan mereka??] suara ini bergetar, [Gedung itu! Jangan sampai mereka jadi korban]     

[Hais' Sial!] Pradita memekik, terdengar bunyi benturan ringan menunjukkan handphone lawan bicara Mahendra diletakkan begitu saja.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.