Ciuman Pertama Aruna

IV-44. Mobil Hitam Disudut Sunyi



IV-44. Mobil Hitam Disudut Sunyi

0"Bukankah, kau butuh pereda ketegangan?" cibir Herry, tersenyum miring. Pemuda tersebut telah sampai di depan pintu, dan kartu yang tertempel pada sensornya menjadikan bunyi 'klik' tanda terbuka.     

Pemandangan yang tersaji tatkala pintu kamar terbuka membuat seorang perempuan di dalamnya memandang heran. Detik berikutnya ia terhenyak dan segera bangkit dari duduknya yang menantang —kaki saling bertumpu dengan santai, setengah berbaring. Lingerie berwarna hitam dengan bahan sutra jatuh mengikuti lekuk tubuhnya.     

"Kesepakatan kita tidak menjanjikan dua lawan satu," suaranya mendesis, menatap keduanya.     

Bibir Jav sedikit terbuka tatkala mendapati perempuan di hadapannya. Bahkan pemuda tersebut terdapati menelan saliva, sebelum akhirnya manik matanya terhalangi oleh gerak langkah Herry.     

Herry membuka sebuah pintu di dalam kamar tanpa permisi, lalu memeriksa almari pakaian yang terdapat di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi, ia tak mendapati apa pun dan berakhir kecewa.     

"Siapa disini yang bernama Jav!" perempuan tersebut memekik. Bangkit, berniat mendekati alat komunikasi miliknya yang tersaji di sebuah meja tak jauh dari sana.     

"Aku," si empunya nama bersuara.     

"Oh' kau rupanya?!" dia membalik arah langkahnya, mendekati Jav. Sekali lagi, perempuan berlingerie hitam berupaya membusungkan dada, "Sayang," panggilnya, menarik kerah baju pemuda tersebut sedikit kuat dan lembut hadir bersama.     

Jav hanya tersenyum miring. Detik berikutnya gerakan menggenggam tangan kanan perempuan yang memegang kerahnya kuat-kuat, ia tunjukkan, "Pinta temanmu keluar, kalau kau menginginkanku," dia mengujarkan kalimat ini dengan nada naik turun yang berpadu dengan hembusan nafas berat. Seperti menahan sesuatu.      

Herry kembali hadir di ruang utama. Matanya menatap sekeliling. Melirik Jav sejenak, dan memberikan rekan kerjanya tersebut sebuah sorot mata mencemooh.     

"Aku memang Jav, tapi dia yang membayar mu seratus juta," sepertinya ini balas dendam yang sempurna menurut Jav.     

"Hahh" Herry membuang nafas kasar. Matanya berputar sekian detik melengkapi tatapannya yang perpindahan arah, menatap perempuan yang tengah mereka permainkan.     

"Adakah mantel yang bisa membalut tubuhmu?" Ajudan kepercayaan tersebut menirukan gaya bicara tuannya. Lebih dari mirip. Hingga Jav hampir tak bisa menahan geli di perutnya. Wajahnya memerah menahan tawa. Herry bisa juga meniru logat bicara para lelaki Djoyodiningrat yang berat itu.     

Ada kerutan dahi yang tersaji dari perempuan tersebut, akan tetapi ia mengikuti kehendak Herry. Sebuah cardigan panjang dikeluarkan dari tas yang menggantung pada kursi.     

"Tempat ini tak layak untuk tuan kami. Gunakan bajumu dengan benar dan ikuti kami," bahkan nada perintahnya pun tak jauh berbeda dengan tuan muda yang biasa memberinya perintah.     

"Tuan??" kerutan di dahi perempuan tersebut semakin dalam, seiring dengan langkah kakinya keluar dari kamar, "Kenapa aku merasa tidak aman!" dan akhirnya ia memutuskan berhenti di ambang pintu.     

"Kau akan mendapatkan kiriman kedua sebanyak pembayaran kami di muka," Herry membalik pandangannya dan hampir saja Jav bergerak untuk menarik paksa tatkala perempuan tersebut tampak ragu untuk melanjutkan langkah. Akan tetapi, kode dari rekan kerjanya membuatnya mengurungkan tindakan tersebut.     

Perempuan tersebut masih tertangkap menimbang-nimbang, "Kembalikan apa yang yang kami berikan. Sekarang! Kalau anda merasa tidak nyaman," ujar Herry dengan tatapan yang tak terbaca. Berada di sekitar Mahendra membuat pemuda tersebut bisa mengcopy ketenangan tuannya pada suasana-suasana tertentu.     

"Oke, oke," Akhirnya ia menyerah. Sepanjang jalannya mengikuti dua orang pemuda yang berjalan di depan dan di belakangnya, membuatnya tak lepas dari perasaan was-was dan tentu saja sorot mata awas.     

'Tidak. Mungkin, tuan mereka terlalu kaya,' kadang kala dia menghibur dirinya. Terus berjalan sembari menimbang-nimbang keputusan, 'Ya, dia pasti sangat kaya,' tersenyum , membulatkan tekad, 'Jadi, butuh tempat khusus,' tak sekali dua kali dia mengalami hal serupa seperti saat ini.     

Tatkala langkah ketiganya berakhir di tempat parkir yang berada di bawah gedung pusat hiburan malam tersebut, ada yang sedikit ganjil. Mobil itu berada pada sudut paling sunyi, hitam dan sendirian.     

Dua pemuda menghentikan langkahnya tatkala telah mencapai jarak seratus meter dari lokasi keberadaan mobil hitam tersebut. Mereka membiarkan perempuan tersebut berjalan sendirian. Tatkala ia sudah semakin dekat, mata besar bulatnya menangkap siluet tubuh lelaki yang duduk tenang di dalam kendaraan dengan lampu padam.     

"Bagaimana kabar mu, baik?" lampu di dalam mobil masih gelap. Akan tetapi, mata bulat besar tersebut dapat menangkap pandangan yang memandang lurus ke depan dan senyum samar di kegelapan. Suara dan postur tubuhnya pun tidak asing baginya, "Aku tidak punya banyak waktu. Aku suka to the poin," dingin. Suaranya sedingin es. Dia mengamati gambar perempuan di layar handphonenya yang menyala. Jelas itu orang yang berbeda dengan seseorang yang sedang tersenyum disampingnya saat ini.     

Bagaimana bisa ia memesan seorang wanita penghibur, akan tetapi matanya mengarah pada siluet perempuan di dalam layar handphonenya.     

"Dia istriku, sedang hamil dan kurang sehat," matanya mengerjap.     

Perempuan tersebut mengamati netra biru yang perlahan terlihat tatkala cahaya dari handphone menyala dan menampilkan foto istri lelaki tersebut.      

"Ah' kau??" ia tersentak. Detik berikutnya mencoba mendorong pintu mobil, akan tetapi semuanya terkunci rapat. Sepertinya ulah dua pemuda yang berdiri jauh di luar sana. Sebab lelaki di dalam tak melakukan apapun, kecuali senyumnya yang mengembang dan sorot matanya yang kian tajam berkilat menoleh padanya.     

Bergerak gusar dengan benak melayang pada wanita hamil yang kurang sehat. Dia mengingat kalimat terakhirnya. Lelaki bermata biru tersebut mengaku suka bercinta dengan cara kasar. Entah fakta atau bukan, hal tersebut cukup membuat perempuan yang kini menempelkan tubuhnya pada pintu —semakin bergidik ngeri. Memukul kaca, meminta pertolongan dan pada akhirnya tak berdaya.     

Mahendra tak melakukan apapun sampai handphonenya bergetar, dan perempuan tersebut juga tak berani memulai percakapan. Yang berada di benaknya hanya satu. Kabur dan kabur.     

"Korban perdagangan manusia di usia remaja, cukup memprihatinkan," lelaki menakutkan itu bersuara, "Lolos dan terbebas, lalu dipulangkan ke negara asal di usia dua puluh satu tahun. Tak ada dua tahun, kembali ke negara ini dengan visa wisatawan. Menarik," Ia telah selesai membaca surel dari Pradita.     

Dan perempuan yang menempelkan tubuhnya di kursi paling ujung, semakin mengerut ketakutan, "Tak perlu takut. Aku bahkan tidak akan menyentuhmu," Ia berujar dengan tatapan lurus ke depan. Memasukkan handphonenya ke dalam saku di balik jaketnya, "Hari ini aku mengenakan jaket ayahku, terlalu berharga untuk mengotori benda spesial ini. Tujuanku hanya satu. Siapa yang mengirimmu padaku?" nada bicaranya selalu konsisten. Dingin dan kaku.     

"Tentu saja pemilik berkas itu, tuan," suaranya bergetar. Meringkuk semakin dekat dengan pintu mobil.     

"Hanya itu? Adakah yang lain —yang kau ketahui? Jika kau berbohong, aku akan membuatmu dideportasi!. Kau suka negara ini —bukan?" ia masih menatap ke depan saat berkomunikasi dengan perempuan tersebut.     

"Tentu tuan. Mana berani saya berbohong, sa-" kata-katanya tertahan di tenggorokan tatkala lelaki di hadapannya mengeluarkan sebuah benda.     

"Ketika kau mati hari ini di tanganku, bahkan tak akan ada yang bisa menuntutku. Aku bilang, aku tak suka bermain-main!" secara mengejutkan Mahendra menangkap leher perempuan tersebut. Menariknya mendekat dan menjatuhkan ujung pistolnya pada tenggorokan.     

Tangannya beralih meraih rambut berwarna madu dan menariknya kuat-kuat, membuat perempuan dalam jeratan memekik dan berusaha semampunya untuk bertahan tanpa rintihan, "Kau pikir, aku tidak tahu siapa pelanggan mu!?" dia berbicara lamat-lamat.     

"Kalau anda tahu, kenapa anda bertanya?" dan si perempuan menjawab dengan suara bergetar. Menahan sakit dan takut yang bercampur.     

Ada seringai dari lelaki yang mengeratkan tarikan di rambut, "Karena aku ingin kau menghubunginya, hehe," dia terkekeh di akhir kalimat. Susunan gigi rapi dengan lesung pipi tertangkap dengan matanya yang menyipit.     

Merenggangkan jeratan, ia berujar, "Hubungi dia! Tapi tidak sesederhana ini!" lalu melepaskan perempuan tersebut dengan kasar hingga tubuhnya sempat terlempar dan menggigil.     

[Herry, sekarang giliranmu!] perintahnya pada dua orang pemuda yang juga ajudannya, untuk membawa pergi perempuan tersebut. Menuju tempat Pradita.     

Panggilannya pada seseorang bisa memudahkan Pradita melacak siapa pengirim aslinya. Siapa yang berani mengusik ketenangan Djoyo makmur grup. Merendahkan martabat tuan muda Djoyodiningrat.     

Pimpinan daerah. Koalisi yang menjadi bagian dari orang-orang pimpinan daerah tersebut -dimana sang pemimpin itu mengaku, dia tak punya kuasa atas mereka-, atau lawan politiknya?.     

"Ketika kau kerjasama dengan kami, cukup dideportasi dan tentu saja imbalan menggiurkan. Atau memperdaya kami dan berakhir, kau tak akan percaya kami bisa menghilangkanmu dengan mudah," Jav berujar tepat sesuai pesan tuannya.     

.     

.     

Fajar di pulau lain hampir menyapa. Rona kemerahan tersebut telah muncul di ufuk timur, tatkala sekelompok orang menuruni mobil sembari menangkap senapan yang terlempar pada mereka.     

Masing-masing tubuh memastikan mereka terlindungi rompi anti peluru. Tatkala di dalam sana, di antara pepohonan, sebuah gedung berdiri kokoh di kelilingi dinding menjulang tinggi. Kelompok lelaki tersebut bergegas memasang senapan. Berpencar dan saling mengatur frekuensi, berbisik-bisik memanfaatkan alat komunikasi khusus.      

[Senior..      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.