Ciuman Pertama Aruna

IV-43. Lampu Dengan Ritme Acak



IV-43. Lampu Dengan Ritme Acak

0[Ayah, apakah suhu tubuh Aruna sudah-?] kalimat tanya yang dilontarkan Mahendra tertahan di tenggorokan. Lelaki tersebut seolah tak siap dengan jawaban apapun yang keluar dari mulut mertuanya.     

[Dia sangat kuat. Fokus lah menyelesaikan pekerjaanmu, untuknya] jawab Lesmana menenangkan.     

[Apa saya perlu mengirimkan dokter?] nada khawatir begitu kentara dari kalimat lelaki tersebut.     

[Ini sangat larut, aku yakin Aruna bisa mengatasi ini. Pulanglah, sebelum dia bangun —andai bisa. Itu dokter paling mujarab] pesan ayah Lesmana bak tamparan keras yang jatuh tepat di pipi Mahendra.     

[Baiklah, ayah] dan dengan demikian, percakapan di antara mereka berakhir. Netra biru sayu menatap jalanan yang menghitam abu-abu. Sama seperti suasana hatinya.      

***     

"Huuh," terdengar helaan nafas resah lelaki bersurai pekat tatkala menatap bantal di sebelahnya. Kosong. Tidak berpenghuni.     

Memiringkan tubuhnya dan menatap sisi kosong tersebut. Lamat-lamat, Gibran merasa kecewa atas keputusannya manakala mengusir Syakilla dari ranjangnya. Padahal, dirinya sendiri yang dulu harus menunggu sebulan penuh untuk bisa tidur ditempat ini.     

Mungkin karena telah terbiasa? Entahlah. Lelaki tersebut bahkan tak bisa sekedar menutup mata.     

Turun dari ranjang dan mendatangi kamar tamu. Pintu pertama sudah terbuka, akan tetapi lelaki bersurai pekat tak mendapati gadis yang ia cari. Rasa resah menuntun langkahnya menuju ruang kedua yang sama kosongnya. Gerakan memutar handle dari ruangan ketiga terhenti tatkala Gibran tak bisa membukanya, "Bodoh!" pekiknya sendiri.     

"Kakak bertengkar?" Geraldine tiba-tiba datang membuat lelaki tersebut terjingkat.     

"Tidak," kilah Gibran, buru-buru melepaskan jemarinya dari handle pintu.     

"Ya, aku akan pura-pura percaya," sahut Geraldine sembari berjalan melewati kakaknya menuju pantry. Tanpa diduga, Gibran mengikuti langkah kaki adiknya. Duduk di kursi dan meminta satu cup es krim yang sedang dinikmati si bungsu.     

"Kau tidak diet? Sangat mengejutkan," Lelaki tersebut mendongak, menatap adiknya dengan ekspresi menggoda.     

"Apa aku perlu bilang? Aku baru saja patah hati, lalu aku butuh gula untuk menenangkan hatiku," dia berbicara setelah menyerahkan satu cup es krim kepada Gibran.     

"Kau baru saja menjelaskan," cibir Gibran. Adiknya duduk tepat di hadapannya, memegang coklat berukuran besar yang dimasukkan ke dalam mulutnya, "Kau putus dengan pacarmu yang mana?" dia bertanya penuh minat.     

"Kali ini, pacarku hanya satu. Apa kau lupa? Aku sudah pacaran dengan orang itu dua tahun dan dia satu-satunya," suara Geraldine berapi-api. Mengangkat tangannya dan mempertontonkan kehebatan impulsif.     

"Kau ketahuan selingkuh?" Gibran menanggapi dengan volume rendah dan bernada santai.     

"Brak!!" sepertinya, Geraldine lah yang tidak santai. Dia menggebrak meja, "Aku tidak mungkin selingkuh" Mata dengan bulu lentik melotot, menatap tajam kakaknya.     

Alis tebal lelaki bersurai pekat hampir menyatu, tanda ia tak percaya dengan pernyataan adiknya. Sebab Gibran yakin, Geraldine bisa punya tiga pacar dalam satu waktu.     

"Aku mencintainya. Sangat! Dan aku tidak selingkuh!!" Gadis yang sedang patah hati tersebut tampak semakin emosi tatkala melihat ekspresi kakaknya.     

"Aku hanya bertanya, kenapa kau marah seperti itu?" Sedangkan Gibran, masih dengan santai menanggapi adiknya.     

"Kenapa semua orang menganggap akulah yang berulah? sampai-sampai kita putus. Padahal, keadaan yang membuatnya demikian!" Wajah cantik yang biasanya memancarkan aura bahagia —walaupun cenderung acuh tak acuh. Kini, muram durja.     

Mendengarkan monolog adiknya, Gibran menarik bibirnya mengerucut ke bawah. Lelaki tersebut masih tak begitu percaya.     

"Cih! Kali ini kau menyebalkan. Pergi sana!" sentak Geraldine mengusir kakaknya.      

Mengabaikan, Gibran bertanya dengan wajah dan nada yang serius, "Apakah dia sangat membekas di hatimu?".     

"Apakah itu penting untuk aku jawab? Bukankah pernikahan kita selalu di atur?" dan Gibran terdiam seribu bahasa. Menyadari, tidak ada pilihan bagi Geraldine. Itu sebabnya, gadis tersebut suka sekali bermain-main sebelum kutukan pertunangan dan pernikahan datang padanya.     

Perlahan tapi pasti, pada akhirnya laki-laki yang duduk bersama adiknya menolehkan wajahnya. Menatap pintu yang tertutup di ujung sana.     

Mengikuti sorot mata kakaknya, Geraldine berujar, "Apakah kakak mencintainya?".     

"Entah lah. Aku sendiri tidak tahu," sahut Gibran, mengaduk es krim yang mulai mencair sebab terabaikan oleh perdebatan panas —sejenak.     

"Lalu, mengapa kakak mengambilnya dari Gesang? Aku rasa, kakak keterlaluan kali ini," kalimat Geraldine menghentikan sendok yang tengah berputar di dalam cup es krim.     

"Keadaan kian buruk jika dia pergi bersama Gesang. Seperti ucapanmu tadi, semua sudah diatur," pandai dia menutup pembicaraan.      

"Ayolah! Aku berharap kakak bisa menjadi diri sendiri, kalau kakak bisa. Aku pasti bakal mendukung dan mengikuti langkah kakak," dan lelaki dengan netra hitam legam terbungkam. Tak memberi komentar terhadap pernyataan adiknya dan memilih menghindar, meninggalkan tempat duduknya.      

Pada langkah kaki kedua Gibran, Geraldine kembali bersuara, "Kak! Kenapa kakak memilih perempuan yang bahkan kakak tahu, kakak tidak bakal mendapatkan cintanya dan-"     

"Aku bukan pria bodoh atau naif yang tidak tahu apa yang akan terjadi," potong Gibran. Menghentikan langkah sejenak, "Aku tahu kemana aliran sungai ini akan bermuara," kalimat yang ia ujarkan tak dapat dimengerti adiknya, yang masih menaruh perhatian penuh pada dirinya. Memandang punggung lelaki yang mulai berjalan, lalu mengetuk pintu kamar yang terkunci.     

***     

Suara musik menghentak, berpadu dengan lampu yang menyala dengan ritme acak. Hamparan manusia tengah menari di atas lantai, seolah matahari esok tak akan terbit lagi sehingga malam ini perlu menghabiskan semua tenaga untuk berpesta pora.     

Dua orang pemuda membaur diantaranya. Mendorong satu persatu manusia yang beberapa dari mereka sempat memandang asing kepada keduanya.     

Jav kadang kala larut juga, bergerak santai mengikuti lincah para manusia yang menghalangi jalannya. Berkebalikan dengan Herry yang fokus mengamati keadaan, mencari-cari seseorang. Bahkan sesekali terdapati menarik lengan teman sekaligus rekan kerjanya -Jav-, memperingatkan tujuan mereka.     

"Di mana dia?! Apa pesannya?! Berhentilah bermain-main!!" gertak Herry, tatkala keduanya duduk pada kursi di depan salah satu mini bar, dimana sang bartender memperagakan atraksi pada orang-orang yang mengelilinginya.     

"Aku sedang menurunkan keteganganku! Makanya, aku butuh—ya, kau tahu? Kita tak pernah melihat tuan mengantongi senjatanya sendiri, kecuali malam ini," Jav meraih gelas yang disodorkan bartender, dan spontan Herry memukul punggung tangannya kuat-kuat.     

"Jangan buat dirimu mabuk dan semua jadi berantakan," Herry memperingatkan dengan mata berkilat.     

"Ayolah! Aku butuh penetral," dia masih coba mempertahankan gelas dalam genggaman.     

"Dia datang," bisik Herry. Turun dari kursi dan berjalan ke arah perempuan yang memandangi keduanya penuh makna sembari memegang kartu kecil berwarna hitam.     

Jav pada akhirnya tak sempat menenggak minuman yang menurutnya akan mampu menurunkan kadar kecemasan yang detik ini menggerogoti dirinya.     

Berbanding terbalik dengan Herry yang benar-benar terlihat tenang, tatkala perempuan yang sudah mereka tunggu tersenyum lalu mengalungkan pelukan di leher dan membisikkan sesuatu di telinga, "Lantai ketiga, pintu nomor empat dari kanan," lalu kartu berwarna hitam itu telah terselip di dalam saku bajunya.     

Gerakan menarik tangan di lehernya —melepas pelukan secara sepihak, ditunjukkan Herry. Detik berikutnya perempuan tersebut berujar, "Anda tak ingin memesan saya besok tuan? Ah' anda terlalu tampan untuk menjadikan kami pelarian," pujiannya pada pemuda tersebut.     

"Dia lebih banyak uang, dan dia tuanku," jawabnya santai, mengarahkan pandangan pada Jav. Sehingga, perempuan pemandu jalan tersebut memeluk pemuda itu di sepanjang langkah kaki menuju pintu yang kunci pembukanya ada pada Herry.     

"Sial!" umpat Jav beberapa kali tatkala berhasil melepaskan diri dan menyamakan langkah dengan Herry.     

"Bukankah, kau butuh pereda ketegangan?" cibir Herry, tersenyum miring. Pemuda tersebut telah sampai di depan pintu, dan kartu yang tertempel pada sensornya menjadikan bunyi 'klik' tanda terbuka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.