Ciuman Pertama Aruna

IV-42. Apakah Hati Terluka



IV-42. Apakah Hati Terluka

0[Tak ada bukti. Bagaimana bisa saya bertindak. Saya hanya pimpinan daerah. Kecuali ada bukti. Satu saja] selepas pimpinan daerah tersebut berujar, giliran Mahendra terbungkam.     

Setinggi apapun jabatan lawan bicara Mahendra sebagai pimpinan daerah, dia tak bisa meminta bantuan pada aparat dengan gegabah. Terlebih, tatkala tak ada sesuatu yang bisa mendukung alibinya.     

[Kau tahu siapa aku, bukan? Aku kebalikanmu. Aku bisa bertindak di luar batas. Walaupun aku tidak bisa menyentuhmu karena kau seorang public figure, aku bisa menggerogoti keluargamu. Maafkan aku. CEO ku bagian dari keluargaku, artinya kita akan impas. Tunggu saja beberapa jam lagi, kecuali kau-]     

[Tuan!] Suaranya memekik, [Tuan, kumohon!] dia meratap, [Ada dua] dan akhirnya mengaku juga.     

[Sebutkan!] sentak Mahendra, yang spontan mengundang tatapan dari ajudannya. Herry dapat melihat manik mata berkilat yang memancarkan bahaya, serta rahang mengeras —kaku, sebab menahan gigi yang saling mengerat.     

[Saya tidak dapat percaya dengan orang-orang yang berada di sekitar saya] kalimat pertama tak begitu mengherankan bagi Mahendra. Pertemuan mereka kala itu menjadi bagian penjelasan yang nyata terkait bagaimana pimpinan daerah tersebut lebih banyak diam dan seperti tak dapat mengutarakan keinginan dirinya dibandingkan orang-orang di sekitarnya. [Dan, Em' lawan politik saya. Mereka memiliki keluarga yang erat dengan dinasti kekuasaan. Dan banyak hal yang bisa mereka perbuat, sedikit nekat].     

Mahendra berjalan mendekati Herry. Sebuah tepukan terasa di pundaknya dan menjadikan ajudan tersebut sadar, tuannya menginginkan sesuatu darinya. Sesuatu yang penting.     

Dia yang menepuk Herry, menyingkir sembari memasukkan handphone di saku. Berjalan keluar dari ruangan Pradita lalu berdiri di sudut ruangan yang kosong. Ruang kerja Thomas yang telah di tinggal pemiliknya. Selain itu, ini bukan lah jam kerja sehingga tak ada karyawan yang ia dapati.     

"Kumpulkan tim mu," pinta Mahendra kepada Herry yang mengekor langkahnya, "Rolland, apakah anak itu sudah sehat?".     

"Semua lengkap, kecuali Rolland. Dia harus menerima terapi pada kaki kirinya dan jari buatan, sedang dalam proses," balas Herry.      

"Jadi sekarang, siapa yang tersisa?" lelaki tersebut menanyakan tim Black Pardus. Unit di bawah naungannya sendiri.     

"Wisnu di rumah ayah Lesmana, Alvin berangkat malam ini bersama senior Vian. Tinggal Jav," sebagai ajudan kepercayaan Mahendra, Herry sudah terbiasa berbicara secara detail dan gamblang.     

Ada alis mengerut sesaat sebelum membuat permintaan, "Panggil Jav. Aku akan ikut dengan kalian," tanpa bertanya kemana arah perginya, ajudan yang datang terakhir -Jav- memburu langkah keduanya menaiki lift.     

Mereka naik ke lantai lima yang merupakan kantor pusat DM grup, dan hal pertama yang diperintahkan Mahendra ialah memeriksa daftar tamu yang direkap oleh resepsionisnya, Tita. Sedangkan lelaki tersebut memasuki ruangnya, mencari dokumen.     

Selepas ia berhasil mendapatkan apa dibutuhkan. Hal berikutnya yang Mahendra perintahkan pada dua orang ajudan yang detik ini sedang membuka-buka laci Tita dan salah satunya terdapati menyalakan laptop lalu jari-jarinya bermain di sana, lelaki bermata biru meminta Herry untuk mengantar dokumen yang berada ditangannya kepada Pradita "Minta Pradita memeriksa keasliannya," perintah ini mendapat anggukan lantas bergegas melaksakan perintah tuannya.     

"Kau sudah menemukannya?" pertanyaan Mahendra pada Jav yang masih fokus pada laptop di hadapannya.     

"Anda tahu namanya?" tampaknya ajudan tersebut mengalami sedikit kesulitan.     

"Tidak," ada dahi mengkerut sesaat, "Tapi aku tahu taksiran waktu, jam dia datang," kalimat ini sejalan dengan mata ajudan yang masih fokus menelisik setiap data yang tersaji.     

"Mungkinkah ini, tuan?" suara Jav menggerakkan langkah tuannya mendekat.     

"Sepertinya, iya," ia berujar setelah mengamati layar yang menyajikan data kunjungan ke ruangannya, "Aku tak punya banyak tamu akhir-akhir ini. Surya bisa menghendelnya. Kalau dilihat hari dan dan waktu, nama ini paling wajar," ujarnya memastikan.     

"Fayina," Jav bergumam sembari mengeluarkan handphonenya, "Fayina," ucapnya lebih jelas dengan gerakan tangan memasukan nomor pada benda elektronik tersebut.     

"Kita ke lobi," Mahendra berjalan lebih dahulu, di susul Jav yang terlihat membuat panggilan dan bercakap-cakap sepanjang caranya mengekori jalan tuan muda Djoyodiningrat.     

***     

"Malam ini, kau tidak diizinkan tidur di ranjang," ucap lelaki bersurai pekat tatkala mereka memasuki kamar.     

"Kau sudah menghukumku tadi! Apa tidak cukup?" gadis ini berujar penuh emosi, membuntuti lelaki yang detik ini tengah sibuk mengganti pakaiannya. Melepas jam tangan yang terikat di tangannya. Sesaat kemudian, gerakan membuka kancing baju dari pertama lalu disusul kedua ia pertunjukkan.     

"Menghukum dengan tidak diizinkan mengerjakan apapun?" dia bertanya dengan dengan raut wajah tak percaya.     

"Dan berdiam diri di kursi," ucap Syakilla menambahkan. Matanya mantap tanpa mengerjap sekalipun.     

"Kau pikir itu hukuman?" pada kancing terakhir kemeja yang terbuka, lelaki bersurai pekat membalik tubuhnya dan berhenti. Sempat mengejap, Syakilla kembali memfokuskan tatapannya pada mata Gibran. Menunjukkan keras kepalanya.     

"Jelas itu hukuman dan aku sudah menyesal. Air panas? Ahh' itu sekedar, sedikit hangat. Tiara yang melebih-lebihkannya," gadis ini masih bersikeras merasa tak bersalah, melempar alibi.     

"Kau melukai tangan orang lain. Ya —walaupun dia membuat beberapa helai rambutmu lepas, aku rasa ruam merah itu bukan perkara sepele," ada nada khawatir bercampur jengkel dari ucapan Gibran.     

"Ya, ya! Aku tahu, kalian nona dan tuan dari keluarga konglomerat pasti sakit sekali terkena air hangat itu," kalimat yang diujarkan Syakilla penuh cibiran.     

"Hentikan ucapanmu! Aku tak suka mendengarnya. Perbuatanmu tak ada hubungannya dengan Tiara," dia yang bicara menghela nafas, "Seorang nona muda Salim atau bukan! Siapa pun dia, tak bijak diperlakukan seperti itu,".     

Syakilla melipat tangannya, menatap semakin tajam pada manik mata hitam legam di hadapannya, "Aku hanya membalas kalimat tajamnya,".     

"Kalimat kau bilang?" sahut Gibran tetakala berhasil meloloskan pakaiannya. Detik berikutnya membalik tubuh, meraih handuk yang tersaji pada salah satu almari, "Kalimat tak bisa melukai kulitmu,"      

"Tapi bisa melukai hatiku," balas Syakilla. Tak sedikitpun ada rasa bersalah di hatinya.     

"Kau," Gibran membalik tubuhnya lagi, menatap keberadaan gadis kurus yang masih melipat tangannya. Lelaki dengan manik mata pekat tertangkap berdiri sempurna bersama dada bidangnya dan sebuah handuk tersampir pada tangan kanan yang ditekuk "Sangat kekanak-kanakan," ia menggelengkan kepala sejenak, lalu berjalan meninggalkan Syakilla yang masih menatap tajam ke arahnya.     

"Dasar lelaki tak tahu diri. Sok tenang. Sok bijak. Selalu berpura-pura menjadi malaikat. Kenyataannya menyekap pacar adiknya, dan berhasrat merampas sumua miliknya, untuk membalas sakit hati ibunya," Syakilla tersenyum miring ketika Gibran spontan menolehkan pandangan dan matanya membuka lebar seolah akan lepas dari wadahnya.     

"Tarik ucapanmu!!" Gibran melempar kalimat penuh penekanan.     

"Hehe," Syakilla malah tertawa menghina.     

"Apa yang kau katakan salah besar! Tak berdasar sama sekali!" ada suara tertahan seraya raut wajah memerah, menahan amarah.     

"Kau marah?" dia yang bicara tersenyum, "Apakah hatimu terluka, kakak baik?" dan mengutarakan kalimat dengan nada menyebalkan.     

"…" Gibran terdiam. Akan tetapi manik mata hitam legamnya berkilat, berbicara lebih banyak dari yang bisa bibirnya ucapkan.      

"Bagus lah kau mengerti rasa sakit itu," Syakilla berjalan ringan meninggalkan lelaki yang konsisten berdiri kaku. Hingga sebuah pintu tertutup dengan sedikit keras menggugah Gibran.     

"Ah! Anak ini," sadar dia dipermainkan.     

"Oh' aku lupa berterima kasih," pintu terbuka lagi sebelum Gibran menuju ruang bershower, "Aku akan tidur di kamar tamu, terima kasih atas kebebasannya. Kali ini, kau kakak yang terbaik," lalu gadis tersebut kembali menghilang. Menutup benda penghubung ruangan tersebut dengan gerakan perlahan-lahan, tampak anggun.     

Giliran Gibran yang termangu dan mulai mengerutkan dahinya. Sepertinya ada yang salah.     

***     

"Dia sudah menerima penawaran saya," Jav mengutarakan kalimat ini pada tuannya sembari mengaitkan sabuk pengaman, "Seratus juta semalam. Ahh' mahal juga," dia tertawa jenaka. Detik berikutnya mata Herry berkilat meliriknya, kemudian mengarahkan matanya pada spion di atas kursi pengemudi. Mengamati wajah tuannya yang membeku menatap jalanan.     

[Ayah, apakah suhu tubuh…     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.