Ciuman Pertama Aruna

IV-41. Kerlap-kerlip Bintang Kecil



IV-41. Kerlap-kerlip Bintang Kecil

0Twinkle, twinkle, little star     

(Kerlap-kerlip bintang kecil)     

How I wonder what you are     

(Bagaimana aku tahu kamu itu apa?)     

Up above the world so high     

(Jauh di atas semesta yang tinggi)     

Like a diamond in the sky     

(Bagai berlian di langit)     

#diulang 1x     

When the blazing sun is gone     

(Ketika sinar mentari menghilang)     

When he nothing shines upon     

(Ketika ia tak bercahaya lagi)     

Then you show your little light     

(Lalu kamu tunjukkan pijar kecilmu)     

Twinkle, twinkle, all the night     

(Kerlap-kerlip sepanjang malam)     

Twinkle, twinkle, little star     

(Kerlap-kerlip bintang kecil)     

[Mengapa kau mengirim voice aneh padaku?] sebuah pesan menyusup selepas seorang pemuda bermata sendu mengantarkan suara melalui aplikasi chatting. Dia bernyanyi lagu anak-anak yang paling disukai.     

[Karena aku sedang melihat bintang kerlap-kerlip]     

[Lihat saja bintangnya! Tak perlu mempersulit diri, menyanyikan lagu pengantar tidur untukku. Semoga tidurmu bahagia] dia yang mendapat pesan mengkerut heran.     

[Aku tak akan tidur malam ini. Bahkan andai matahari bisa kulihat esok pagi, aku bakal menengadah sembari mensyukuri nikmat Tuhan tersebut]     

[Kau?]     

[Pesanmu aneh!]     

[Tolong, jangan mempersulit diriku dengan mengganggu istirahatku] dia yang sedang membuat balasan sedang mencari posisi nyaman untuk kembali tidur.     

[Untuk malam ini saja, tolong beri aku semangat. Sekali saja] lelaki yang detik ini sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan yang mungkin saja bisa membahayakan nyawanya, seolah berharap bisa mendapat semangat dari pendar lain selain bintang-bintang yang menemaninya malam ini.     

[Semoga tidurmu indah] singkat pesan Kihrani, berharap Vian segera berhenti mengganggu waktu istirahatnya.     

[Jangan tentang tidur. Kau menakutiku!]     

[Apa yang kau inginkan?] si pemarah mulai habis kesabaran.     

[Pesawatku akan berangkat. Katakan yang lain. Apa saja. Selain tidur dan terlelap]     

[Pesawat?]     

[Kau mau kemana?]     

[Baiklah, semoga perjalananmu Lancar] dia masih terjaga menunggu balasan, hingga akhirnya rasa penasaran membuatnya kembali mengirim pesan, [Vian, kau membuatku khawatir. Kau mau kemana sebenarnya?].     

Tak ada lagi balasan. Sama sekali. Dan gadis yang menerima pesan dari Vian, memilih untuk memutar sekali lagi lagu anak-anak yang pemuda itu nyanyikan.      

***     

Bentley continental black telah sampai di basement gedung bertingkat, akan tetapi bukan Djoyo Rizt hotel. Sang pengemudi yang membawa Mahendra, mengarahkan mobil mereka pada lorong di bawah pusat perkantoran perusahaan Djoyo Makmur grup.     

"Apakah ini jalan lain menuju lantai D yang dimaksud?" Ia yang bermata biru cemerlang bertanya. Belum pernah sekalipun lelaki tersebut datang ke ruang bawah tanah tersebut melalui jalur yang berbeda, walau ia tahu ada jalan rahasia lain menuju tempat itu. Satu-satunya cara yang biasa ia tempuh untuk sampai ke lantai D ialah melalui lift khusus pada Djoyo Rizt hotel.     

Ajudan yang mengemudikan mobil mengangguk sembari tersenyum. Ada mata yang menatap meyakinkan.     

Selepas ia membuka pintu mobil untuk tuannya, lelaki bermata biru membuntuti langkah demi langkah yang diambil Herry pada basement tersebut.     

Di lorong paling tersembunyi, berjajar pintu-pintu berkunci dengan kode akses yang hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Ada lima buah pintu penghubung yang akan membawa mereka ke tempat yang berbeda, dan ajudan tersebut dengan yakin memilih pintu ketiga yang berada di tengah-tengah.     

Setelah memasukan kode sandi dan langkah kaki keduanya menyentuh lantai di balik pintu, Mahendra terlihat lebih kosong daripada Herry. Dia berjalan membuntuti punggung ajudannya, dimana setiap mereka melangkah akan disambut dengan lampu yang menyala satu persatu. _Tempat ini memiliki sensor_ ada yang mengembara dalam benaknya.     

Sampai pada suatu titik dimana Herry berhenti, manik mata Mahendra sekedar menatap dinding-dinding dengan cat putih yang cenderung kusam dan tak bercelah yang tersaji di hadapan mereka. Akan tetapi itu bukan sembarang dinding.     

Herry menjulurkan tangannya guna meraba dinding tersebut. Sampai pada satu titik yang tepat, ia menempelkan kelima jarinya. Detik berikutnya muncul sebuah layar dari celah kecil yang terbelah dari dinding tersebut. Sesaat kemudian ia maju satu langkah, dan mendekatkan matanya pada layar di hadapannya. Sebuah program pendeteksi secara otomatis menganalisa kornea mata ajudan tersebut. _Ternyata, dinding ini adalah kamuflase semata_ dia masih berkelana dalam benaknya sendiri.     

Siapa pun tak akan percaya bahwa dinding tersebut bisa membuka penuh selebar satu mobil. Mungkin dulu ketika kendaraan yang menjadi saksi bisu tragedi naas kecelakaan kakeknya tiba-tiba saja ia dapati sudah berada di bawah ruang ini, pastilah lorong ini jawabannya. Jalan rahasia lain menuju lantai D yang baru pertama dia ketahui.     

"Presdir, lewat sini," Herry membelok ke arah tuannya, dan mempersilahkan Mahendra berjalan lebih dahulu.     

Ketika Mahendra memimpin langkah memasuki sebuah ruangan, mereka disuguhkan dengan lift berkapasitas besar. Dimana alat transportasi vertikal itu akan membawa dua orang laki-laki tersebut sampai pada tempat yang tak asing bagi mereka. Menuju ruangan Pradita.     

Melihat kepala pimpinan divisi tersebut, segera lah Mahendra menyerahkan benda di dalam sakunya, "Surya menghubungiku," Kalimat ini sejalan dengan gerakan berdirinya Pradita dari posisi duduk.     

"Saya tahu, Presdir," Pradita menatapnya sekilas. Kemudian matanya melirik ke arah lain. Monitor yang menyajikan sebuah titik berwarna merah membuatnya terpaku sekian detik, sebelum pada akhirnya duduk kembali, "Handphone Surya berhenti di titik yang sama. Sendirian. Hubungan tersebut dipecah. Anehnya, titik lokasinya paling berbeda," Kalimat serta sorot mata yang diusung lelaki tersebut, mendorong lawan bicaranya menatap layar yang tengah ia amati.      

"Apa orang-orang kita sudah berangkat?" Ia berbicara tanpa mengalihkan matanya dari monitor.      

"Sudah. Vian memimpin mereka." Jawab Pradita singkat.     

_Raka? Dimana senior Raka_ suara hati ini adalah milik Herry. Ajudan tersebut tidak tahu bahwa seniornya adalah bagian dari rombongan yang menghilang.     

"Jadi, sebenarnya, siapa yang melakukan tindakan gila pada mereka?" Ada nada tertahan tatkala Mahendra kembali bertanya.     

"Mustahil membangun persepsi ketika kita berada di jarak jauh seperti ini. Semoga Vian menemukan jawaban. Tapi malam ini, mau tidak mau, kita harus bertindak" Suara Pradita menegaskan situasi saat ini benar-benar tidak kondusif.     

"Mereka bersenjata?" Dia yang sedang berkelana dalam pikirannya, mencoba menggali informasi lebih.     

"Mereka menyekap, informasi dari tim yang berangkat terlebih dulu," monolog terakhir Pradita sebelum ruangan itu menjadi sunyi.     

.     

.     

Mahendra memilih salah satu tempat duduk, lelaki tersebut berada di sudut ruangan dengan mata yang tertutup rapat. Seolah tertidur, padahal dia tengah berfikir mendalam.      

Tepat satu hari sebelum Surya pada akhirnya berangkat ke sebuah kota di pulau seberang guna menghentikan semua wacana kerjasama dan membayar penalti atas pilihan DM group yakni menghentikan kerja sama, Mahendra mendapatkan informasi bahwa pimpinan daerah yang menjadi mitra bisnis DM construction tersebut tidak melakukan tindakan diluar prosedur. Mereka mengelak dengan keras terkait tindakan yang memicu kemarahan dan penghinaan terhadap Presdir Djoyo Makmur grup tersebut.     

Dan siang tadi, tatkala Surya dan rombongan baru sampai kota di pulau yang mirip dengan huruf K, mobil mereka disabotase. Berhenti di tengah perjalanan dan tak disangka, sekelompok orang menyergap mereka sebelum pertemuan antara DM construction yang diwakili sahabatnya berjumpa dengan pimpinan daerah yang sebelumnya juga rekan bisnis.     

Sejak sore mereka berdebat. Bahkan malam sebelumnya, Mahendra muntab atas tindakan sabotase lokasi pembangunan yang tiada hentinya. Sampai detik ini, mereka masih mengelak.     

Tim pertama yang datang mengirim bantuan malah berakhir ricuh dan tersandera oleh mereka -pimpinan daerah tersebut-. Sedangkan Surya beserta kelompok yang menghilang, sampai detik ini belum ditemukan.     

Satu-satunya alat yang mampu menghubungkan keberadaan mereka adalah keahlian Pradita dalam melacak posisi handphone. Sementara benda elektronik tersebut menjadi simbol terdeteksinya keberadaan Surya dan Raka beserta tim. Sayangan, secara berangsur-angsur, satu-persatu titik itu menghilang.      

Mahendra bangkit pada akhirnya. Selepas lelaki tersebut seolah terbenam masuk di dunianya sendiri, "Herry, sambungkan aku pada pimpinan daerah," pintanya.     

Herry buru-buru meraih handphone tuannya yang berada di meja Pradita dan melangkah cepat menyambut perintah.      

.     

.     

[Aku akan melanjutkan kerjasama kita. Kembalikan CEO DM group -Surya-, dan lepaskan orang-orangku] nada bicaranya kaku, sekaku raut wajahnya saat ini.     

[Anda boleh tak percaya. Tapi sungguh, bukan kami yang melakukan tindakan senekat itu. Penyanderaan? Jelas itu mustahil. Anda bisa membongkar perilaku kelewatan tersebut dan citra saya hancur lebur,] Pimpinan daerah yang diketahui minim bicara, detik ini berapi-api.     

Memberi jeda sejenak supaya lawan bicaranya -Mahendra- berkenan menerima monolognya. Mereka sudah bersitegang sejak beberapa hari ini, [Saya bisa melepaskan orang-orang anda] sebagian orang dari tim Mahendra yang siang tadi bertindak, kabarnya membuat kegaduhan demi menemui pimpinan daerah tersebut, [Sayangnya, CEO anda dan rombongan] dia mendesah [Jujur!] tegasnya, [Tidak ada pada kami].     

[Kalau begitu, beritahu aku isi kepalamu!] hening, [Katakan saja segala kemungkinan!] suara Mahendra semakin menuntut.     

[Tak ada bukti. Bagaimana bisa aku bertindak? Aku hanya pimpinan daerah. Kecuali ada bukti satu saja] selepas pimpinan daerah ini berujar, giliran Mahendra terbungkam.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.