Ciuman Pertama Aruna

IV-40. Jaket Punya Ayah



IV-40. Jaket Punya Ayah

0Berhati-hati Mahendra menaiki ranjang mungil dengan seprai motif Shabby Chic bunga-bunga keunguan cerah, membaringkan setengah tubuhnya dan mencari posisi nyaman. Menjulurkan tangan dan meletakkannya pada dahi yang dapat dipastikan hangat. Manik mata biru itu kini kemerahan. Merunduk, meringkuk beberapa menit di atas bantal di samping istrinya.     

"Kau sudah datang?" suara ini di iringi dahi mengkerut dan mata yang memicing. Sedangkan lelaki di sampingnya lekas menghapus sesuatu lalu menegakkan diri, tersenyum. Wajah Mahendra seolah berkabut hingga Aruna perlu memfokuskan matanya beberapa kali sampai perlahan-lahan bisa melihat dengan jelas lesung pipi yang tersaji.     

"Mandilah, segarkan dirimu. Makan, baru temani aku," Aruna tidak tahu kenapa suaminya tak bersuara, tak bergerak dan tak bicara. Hanya tangannya yang detik ini memegang jari-jari mungil. Memainkannya dalam keheningan.     

"Tutup kembali matamu, aku akan melakukannya ketika kau sudah tidur lagi," kalimat inilah yang mampu diucapkan Mahendra. Duduk di tempat yang sama memandangi istrinya, akan tetapi pikirannya melayang kemana-mana. Sesuatu yang besar sedang terjadi dan lelaki tersebut seolah enggan peduli. Yang paling penting dalam dunianya hanya satu, istrinya dan baby mereka.     

.     

.     

"Kau butuh sesuatu?" ada yang bergerak di sampingnya hingga membuat Mahendra sedikit berjingkat. Kenyataannya, Aruna masih tertidur dalam keheningan. Dia mendapati suatu getaran dan ternyata berasal dari layar handphonenya yang menyala.     

Lelaki tersebut bangkit hendak duduk, lalu meraih benda persegi empat tersebut. Di waktu-waktu ini merupakan jam dimana dirinya akan di tunggu sekelompok orang di ruang kerja lantai pertama rumah induk. Herry kemungkinan lupa mengabarkan bahwa dirinya tak akan datang.     

Mahendra mengangkat panggilan dari salah satu pimpinan divisi lantai D, dan dia tahu, ini bukan perkara mudah ketika layar handphonenya menyajikan nama Pradita.     

[Ada perkembangan?] Mahendra menyingkir sejauh mungkin dari ranjang. Berdiri di dekat jendela dan membuka pengait. Detik berikutnya, netra biru cemerlang mengembara menatap langit yang menghitam.     

[Keberadaan mobil Surya dan rombongannya sudah terlacak] jawab Pradita.      

[Lalu?] suaranya terdengar menuntut.     

[Malam ini yang lain akan terbang kesana menyisir lokasi, tapi orang kita belum banyak] terdengar dari nada bicaranya, pimpinan divisi tersebut seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu.      

[Gunakan jet ku. Kirim sebanyak mungkin!] dia menekan suaranya agar tetap rendah akan tetapi nada perintah Mahendra tak terbantahkan.     

[Saya,em' sedang membutuhkan masukan] suara ini masih terdengar ragu.     

[Katakan Pradita?!] seperti inilah Mahendra, to the point.      

[Istri Surya, dan keluarganya. Aku rasa mereka—] kalimat ini belum usai ketika terdengar suara lain yang berisi nada peringatan di luar komunikasi mereka, [Sinyalnya menghilang,] gaduh, [Ada berapa handphone yang sinyalnya masih menyala?] suara pimpinan divisi tersebut kembali terdengar, sayup-sayup, [Tidak. Ini tidak hilang. Ada yang berhenti. Ada yang bergerak, dan mungkin saja beberapa dihancurkan,] Mahendra coba mendengarkan dengan seksama hingga Pradita kembali menyapa, [Maaf, Presdir]     

[Tak apa ,fokus pada tugasmu. Kerahkan semua. Aku tak akan bisa memaafkan diriku jika hal buruk terjadi pada Surya] suara Mahendra sedikit berat, [Keluarga dan istrinya, sementara jangan beri tahu terlebih dahulu. Dhea tak akan sanggup mendengarkan ini,] lelaki bermata biru lebih dari paham bahwa istri sahabat sekaligus rekan kerjanya bahkan tak sekuat perempuan yang detik ini ia tatap selepas membalik badan. Aruna tak akan menangis seburuk apapun keadaan kecuali perempuan bermata coklat tersebut menginginkan air matanya.     

Selepas mematikan handphone dan kembali ke atas ranjang. Mata biru yang sayu menatap raut wajah perempuan yang detik ini mengerut gelisah, _apakah kau bermimpi buruk?_ benaknya resah, mendekatkan wajahnya, _atau kau kesakitan?_ meletakkan telapak tangan di atas dahi Aruna, dan betapa terkejutnya dia. Suhu tubuh istrinya meningkat, sangat hangat.     

Spontan Mahendra bangkit. Setengah berlari ia membuka pintu dan menuruni tangga dengan gesit menuju ke dapur di lantai pertama. Menyalakan lampu. Sesaat kemudian mulai membuka-buka laci. Mencari panci dan mendidihkan air suam-suam kuku.     

Lampu yang menyala serta suara air kran, ternyata menarik perhatian seseorang. Bunda Indah nyatanya tak mampu tidur malam ini. Wanita tersebut mendekati Mahendra yang panik menyiapkan baskom dan terlihat pergi sekilas mencari handuk kecil yang sedang ia butuhkan.     

"Jangan panik. Tenang lah," wanita tersebut menatap putra menantunya yang terlihat tak baik-baik saja. Dia tidak bisa diajak bicara.     

"Sa-saya butuh thermometer," terbata suaranya, "Please," tampak jelas Mahendra dilanda cemas luar biasa.     

"Oke," bunda Indah menatap tangan setengah bergetar tengah mendekap baskom berisi air dan handuk, "Kau bisa membawanya sendiri?" Mahendra mengangguk dan beranjak pergi.     

Wanita tersebut sempat terpaku tatkala menangkap kepanikan menantunya dan punggung yang bergerak menjauh, "Hendra," ia coba memanggil sekali lagi. Akan tetapi, si empunya nama tidak mendengarkan panggilan tersebut.     

Wanita tersebut menghela nafas sesaat. Mendapati handphone Mahendra yang terjatuh dari sakunya. Ada sebuah panggilan hadir di sana, 'Bro Surya', coba mengabaikan, bunda Indah membiarkan benda persegi empat itu tetap berbunyi dan mulai mencari thermometer.     

Tatkala telah sampai pada kamar si bungsu, bunda Indah sudah mendapati dahi putrinya mendapatkan kompresan. Selimutnya dibuka dan lelaki bermata biru tertangkap melonggarkan kancing baju istrinya. Ia menyerahkan thermometer dan meletakkan handphone yang kembali berdering di atas nakas begitu saja.     

Gerakan memegang pelipis, Mahendra tunjukkan tatkala ia memasang alat ukur suhu di ketiak istrinya, 39.7 derajat.     

Dengan enggan ia bersuara "Bunda, maafkan saya. Bolehkah saya meminta anda memanggil Herry?," ajudan tersebut pastinya sudah terlelap di kamar tamu.     

"Iya, tentu," Tepat ketika bunda Indah keluar kamar dan mulai menuruni tangga, handphone Mahendra kembali berdering.     

_Tidak jangan sekarang_ batinnya, tapi matanya mengarah pada benda yang tengah bergetar, "Oh' Tuhan!" pekiknya mendekati nakas dan begitu terkejut ketika dia tahu ada tiga panggilan yang tak terangkat atas nama Surya.     

Lelaki tersebut tampak kalut tatkala membuat panggilan balasan. Sayangnya, tak terangkat. Wajahnya semakin suram hingga tak menyadari ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya sedari tadi.     

"Ada yang bisa ayah bantu?" Lesmana datang lebih dahulu dan memperhatikan raut wajah lelaki yang tengah mengamati handphone dan sesekali menempelkan benda tersebut di telinganya.     

"Ayah," dia menatap istrinya lalu beralih ke handphonenya —sekian detik, terlihat hilang konsentrasi. Hal tersebut pun tak luput dari pengamatan Lesmana yang belum pernah mendapati Mahendra demikian.     

"Kau dibutuhkan? Ada sesuatu yang menunggumu?" pertanyaan ini datang seiring kedatangan Herry disusul bunda Indah terselip di belakang. Kecil mungil tertelah perawakan ajudan tersebut, dan Lesmana yang kini berjalan mendekat.     

"Pergilah, sekarang!" Ujar Lesmana, seolah memahami semua kemelut tanpa Mahendra suarakan.     

Mahendra menggeleng, akan tetapi juga terlihat bimbang, "Herry, bawa handphone ku ke lantai D. Tunjukkan panggilan terakhir,".     

Mendengar lantai D, spontan sebuah tangan besar menepuk bahu menantunya dua kali, "Pergi lah, sekarang!" seperti tengah menggugah kesadaran, "Putriku dan cucuku, kami berdua bisa kau andalkan," ia menatap istrinya -Indah- dan raut wajah bingung spontan tersaji oleh wanita tersebut . Namun, ia mengangguk juga pada akhirnya, sebab nampaknya suaminya menginginkan tersebut, "Pergi lah!" Lesmana meyakinkan sekali lagi.     

Mahendra membatu sekian detik, matanya mengembara kemudian menatap gelisah perempuan yang terbaring. Dia mendekati tubuh Aruna, meraih tangan mungilnya dan mencium punggung telapak tangannya. Tanpa diperintah, Herry tahu keputusan tuannya. Ajudan tersebut pergi terlebih dahulu memastikan mobil telah siap.     

Netra biru semakin sayu tatkala memandang ayah mertua sekaligus mantan ajudan kepercayaan kakeknya, "Aku benar-benar minta maaf, aku berhutang-,"     

"Jangan katakan apapun," Lesmana konsisten menatap menantunya penuh keyakinan. Mahendra mengangguk gamang dan terkesan kehilangan daya.     

Tatkala hendak keluar melintasi pintu, ayah Aruna kembali bersuara, "Jangan berkecil hati selepas kau memilih pekerjaan. Ini bukan pilihan, akan tetapi tanggung jawab. Tak banyak yang bisa memahaminya, tapi aku paham," Langkah kaki Mahendra terhenti, membalik tubuh menghadap Lesmana, "Itu kelebihan menikahi putri ajudan. Aku meminjam kalimat kakekmu, dia mengatakan ini ketika diam-diam menyeleksi keluarga ajudan-ajudannya. Termasuk aku," tanpa berkata, lelaki bermata biru melanjutkan langkahnya. Keluar ruangan dengan lebih percaya diri.     

Mulai menyadari pria tua itu istimewa, dan kian sadar makna istimewa yang disandang kakeknya tatkala tanpa diduga seorang wanita menunggunya di ujung tangga, Mahendra tidak sadar kapan bunda Indah menyelinap pergi. Ia berdiri memegang jaket hangat dan menyerahkannya pada menantunya, "Gunakan ini, ini punya ayahmu," ujarnya dengan senyum menenangkan khas seorang ibu, sebelum menaiki tangga.     

Andai wanita tersebut tahu apa yang terjadi pada menantunya detik ini, Indah akan ikut terenyuh. Lelaki bermata biru menghapus sesuatu di sudut matanya tatkala mengenakan jaket ayah Lesmana sembari berjalan menuju mobilnya. Hanya karena satu kalimat penutup selepas rangkain kalimat-kalimat istimewa keluarga istrinya, 'ini punya ayahmu,'.     

"Punya ayah," bisiknya. Menundukkan kepala, menatap jaket yang membungkus tubuhnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.