Ciuman Pertama Aruna

IV-39. Sedang Mencari Perhatian



IV-39. Sedang Mencari Perhatian

0Tatkala Aruna menghabiskan waktu dengan membantu bunda Indah memasak di dapur, perempuan hamil tersebut lebih banyak duduk sembari mengupas kentang dan membicarakan hal-hal sederhana terkait persiapan kelahiran yang sudah saatnya dipenuhi. Manik mata coklatnya mendapati Mahendra datang membawa bayi laki-laki di punggungnya.     

Alan meringkuk di punggung lelaki bermata biru dengan tangan kiri sebagai tumpuan beban, dan sisi kanannya memegang dua buah botol susu yang telah kosong termasuk mainan gigit -teether-. Matanya terpejam erat, pipi gembil yang menggemaskan, dan bibirnya yang berliur membasahi jas di bahu Mahendra.     

Tatkala langkah kakinya mendekati keberadaan istrinya, segera bunda Indah dan mbak Linda membersihkan tangan mereka. Menatap penuh rasa terima kasih sembari berhati-hati mengambil Alan dari gendongan Mahendra. Termasuk meminta benda dari tangan kanannya.     

Perempuan hamil pun tak kalah tangkas membersihkan tangannya. Mahendra yang melirik ke arah bahunya dengan ekor mata, membuat Aruna memasang senyum tertahan, "Berikan padaku," dan lelaki tersebut melepaskan jasnya.     

"Herry dan aku akan pergi sejenak, tapi nanti aku akan tidur di rumah ini," dia berujar sembari menyerahkan jas.     

"Kau tak boleh melewatkan makan malam, lihatlah," Aruna menatap mini bar pantry di sekitarnya. Semuanya penuh dengan bahan makanan. Tentu saja itu semua demi menyambut kedatangan mereka berdua.      

Lelaki tersebut terlihat berpikir sejenak, mengusap kepala istrinya dan dia melirik ke arah kanan tapi tak berkata apapun.     

"Oke," pada akhirnya Aruna bisa mendengar persetujuan yang dia tunggu sekian detik sembari mengerutkan keningnya, "Kau butuh sesuatu?" tawar lelaki tersebut.     

"Tidak ada, kecuali kedatangan lelaki yang sekarang sedang berbicara denganku," ada bibir miring mendengar kalimat tersebut. Tanpa berkata lagi, ia membalik tubuhnya kemudian berjalan begitu saja. Aruna melipat tangannya sembari memandang punggung yang menjauh. Akan tetapi, tiba-tiba saja punggung tersebut terhenti, kemudian berbalik. Melangkah mendekati perempuan hamil sekali lagi.     

"Kau akan memakai jasmu?" tanya Aruna.     

Akan tetapi, bukan hal itu yang Mahendra inginkan. Lelaki tersebut menunduk dan mengecup perut beberapa centi di atas pusar sembari matanya naik ke atas, "Aku harus mencium dua orang sebelum pergi," dia berkata sebelum mendaratkan bibirnya di pipi perempuan yang berekspresi kesal akan di tinggal.     

***     

Lantai kedua gedung bertingkat perkantoran Tarantula. Tidak ada yang percaya dengan apa yang terjadi saat ini tatkala lelaki dengan tinggi 184 cm yang memiliki rambut pekat, garis wajah tegas dengan kulit putih bersih dan manik mata hitam legam yang kini menyorot tajam tengah berdiri dan berteriak. Dia membentak untuk pertama kalinya.     

Gibran. CEO. Putra terbaik. Penerus yang tak perlu diperdebatkan lagi. Si bijaksana, tenang dan berwajah ramah pada semua karyawannya —kecuali beberapa yang sering bermasalah. Akan tetapi lelaki tersebut tak pernah berteriak, apalagi membentak dengan suara keras.     

"Tiara! Hentikan!" beberapa pasang mata membulat seperti bola yang akan copot dari waadahnya. Mulut mereka juga ternganga. Siapa yang tak akan menganga atau mungkin detik ini syok tatkala mendapati betapa keras dan hebatnya lelaki yang berjalan cepat mencengkeram tangan putri Salim yang masih tersangkut di lengan Syakilla, lalu membuangnya sampai perempuan berbaju putih itu memekik hebat.     

"Bagaimana tanganmu? Kau tak apa," Gibran meraih hati-hati tangan Syakila yang terbungkus hem lengan panjang berwarna pink, dimana di dalamnya masih melingkar balutan perekat untuk membantu pemulihan lengannya yang retak.     

"Aku yang disiram air panas! Bagaimana kau bisa membelanya?!" suara kekecewaan putri bungsu Salim menggelegar.     

"Bagaimana lagi? Kau berjalan terlalu cepat dan aku tak bisa menghindari gerakan hebatmu dengan satu tangan yang berfungsi," Syakilla mencari alibi terbaik.     

"Tidak! Tidak! Bukan begitu!" kalimatnya berapi-api dan bersiap melakukan serangan lagi. Menyadari hal tersebut, entah dari mana datangnya, Bianca sudah memegang perempuan yang kembali akan menyerang Syakilla dengan bantuan yang lainnya.     

"Aku rasa kalian menyingkir dulu," lalu Gibran menyeret Syakilla pergi dengan menarik tangan kanannya yang baik-baik saja. Meninggalkan lantai yang di atasnya sudah dipenuhi oleh bekas pecahan gelas serta genangan air kopi bercampur teh, "Dan kau Tiara, tenanglah! Ayo ke dokter, kita pastikan kulitmu tak bermasalah," ucapnya, coba meredakan kegaduhan.      

"Dia gila! Dia sungguh gila! Gadis aneh yang pernah aku temui. Kau pasti meyakini aku berbohong. Tapi sungguh, dia menumpahkan kopi dan teh itu dengan sengaja," sepanjang perjalanan menuruni lift menuju lobi, Tiara tak henti-hentinya menggerutu.     

"Aku percaya padamu," Bianca menatapnya dan telah mengatakan kalimat tersebut lebih dari tiga kali supaya si baju putih yang ujung dressnya bernoda hitam, menghentikan keluhannya.     

Sialnya, Tiara tak mau keluar dari lift. Pintu sudah terbuka akan tetapi perempuan tersebut malah membeku sekian detik, kemudian bersembunyi di balik tubuh Bianca, "Kita naik ke atas," pintanya dengan nada berbisik.     

"Ada apa? Kau butuh dokter," Bianca yang tak paham melempar pertanyaan.      

"Aku tinggal memanggil dokter, tak perlu keluar dari tempat ini," dari balik punggung Bianca, tangan kirinya menjulur memencet tombol supaya pintu lift lekas tertutup.     

Putri bungsu Adam masih tak mengerti hingga dari celah pintu yang mulai menutup, Bianca tahu seseorang yang paling tak ingin disebutkan namanya di antara putra-putri Tarantula kini sedang menatap tajam ke arah mereka sembari mengumpat nyaring sebelum lift benar-benar tertutup sempurna, bergerak naik ke atas dan meninggalkan lantai satu.     

"Aku rasa, kau punya masalah besar dengan berusaha menghindarinya," suara Bianca bergetar memandang gamang Tiara.     

"Aku lebih tahu darimu!" jawab Tiara ketus, dan dengan demikian tak ada lagi percakapan di antara mereka berdua hingga lift berhenti di lantai tujuan, lalu kedua perempuan tersebut melangkah menuju ruang kerja putri Salim.      

"Sebenarnya, aku ingin menemui Gibran, —tadi," sekian menit selepas keduanya duduk di ruang kerja Tiara. Gerakan mengoleskan salep terbakar di tunjukkan oleh putri Adam kepada perempuan tersebut, "Dia benar-benar dibutakan gadis gila itu.     

"Kau ingin memintanya menghentikan Key?" sahut Bianca, dengan gerakan hati-hati mengoles luka bakar Tiara.     

"Kepada siapa aku meminta bantuan, selain pada Gibran?" desah Tiara. Baru pertama kalinya wajah perempuan tersebut menunjukan ekspresi tidak percaya diri.     

***     

[Hen,] suaranya terdengar lemah.      

[Tenanglah. Aku sudah di jalan, sebentar lagi sampai] dia yang bicara menatap jalanan padat.     

[Bukan begitu. Aku,] ia yang bicara terbata sedang berbaring di ranjang. Pintu baru saja ditutup, akan tetapi bunda Indah masih berada di dalam kamar tersebut. Memijat kaki mungil dengan ekspresi resah khas seorang ibu. Ayah Lesmana dan dokter yang menangani pemeriksaan Aruna beberapa detik lalu, sudah tertelan benda penghubung ruangan berbahan kayu yang ditutup perlahan, [Em, pulanglah lebih cepat]     

[Bicaralah yang jelas] suara Mahendra menuntut.      

[Hipertensi. Tapi dokter sudah datang. Jangan khawatir. Semua baik-baik saja. Aku menunggumu] dan lelaki di ujung panggilan terdiam.     

[Matikan handphonenya] dia tahu perempuannya pasti mendapati sakit kepala hebat.     

.     

.     

"Aruna baik-baik saja," tidak ada makanan di meja makan, beberapa pasang mata yang tertangkap duduk di ruang tengah spontan berdiri. Bahkan Aditya yang sudah pulang dari kantor dan sedang memeluk bayinya, ikut serta beranjak. Ayah Lesmana segera mendekat. Beliau tak tahu harus berkata apa dan hanya menyajikan bibir yang ditarik, seolah segala kalimat tertahan di tenggorokan.     

Menangkap ekspresi mertuanya, ia bergegas menaiki tangga. Berjalan tergesa menuju kamar istrinya -kamar masa remaja Aruna-. Menggosok dadanya sebelum memutar handle pintu.     

Netra biru cemerlang kini sayu mendapati seorang wanita duduk di tepian ranjang tengah memberi pijatan lembut pada kaki si bungsu yang telah menutup matanya, dan seorang kakak perempuan segera bangkit dari kursi milik meja belajar yang digeser mendekati pembaringan.     

Aliana berjalan ringan dan menyentuh lembut pundak ibunya. Tanpa kalimat, keduanya menyadari sudah saatnya keluar. Mahendra menunduk sekilas mengujarkan terimakasih. Mereka hening supaya yang beristirahat tidak terganggu.     

"Aku pernah mengalaminya, em," bunda Indah masuk kembali ke kamar, suara ini diujarkan dengan nada lembut dan bervolume rendah, "Dokter bilang belum sampai preeklampsia[1]," Mahendra tak mampu bersuara. Ada sesuatu yang menekan dadanya, "Hipertensi kadang kala menyerang ibu hamil. Bayi kalian sedang mencari perhatian. Jangan khawatir," gaya bicara wanita di ambang pintu mirip sekali dengan Aruna. Walaupun warna suaranya berbeda.     

Mahendra melipat bibirnya. Tak ada yang mampu ia ujarkan sampai bunda Indah menghilang.     

[1] Preeklampsia adalah sindrom yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, kenaikan kadar protein di dalam urin (proteinuria), dan pembengkakan pada tungkai (edema). Pre-eklampsia dialami oleh ibu yang sedang hamil, terutama para ibu muda yang baru pertama kali hamil.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.