Ciuman Pertama Aruna

IV-38. Sisi Ramah Mahendra



IV-38. Sisi Ramah Mahendra

0"Dia harus bermata biru supaya pantas," ibu bayi tersebut menjawab spontan dengan tatapan khawatir melihat jas yang melekat di tubuh Mahendra mulai terlumuri air liur putranya, akan tetapi sepertinya lelaki tersebut tak peduli. Mendekap dan menghadiahi Alan ciuman di pipi.     

Masih enggan menyerahkan Alan pada ibunya, Mahendra yang mendekap tubuh kecil dan sesekali tertangkap mata mencium gemas pipi gembil tersebut —melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah sembari membawa bayi yang baru bisa berjalan setengah berlari tersebut. Kabarnya, putra pertama Aliana cenderung aktif sehingga perempuan berdaster itu tak henti memasang ekspresi khawatirnya tatkala melihat adik iparnya bersikukuh membawa anaknya.     

"Kakak, mandi sana. Aku bantu jaga Alan" untuk menghilangkan kekhawatiran Aliana, Aruna mengekor Mahendra yang sedang mendekap tubuh bayi tersebut menggunakan tangan kirinya, sedangkan sisi kanannya lebih banyak digunakan untuk menggoda Alan sehingga kekeh tawa baby Alan mengudara, terdengar nyaring.     

Mahendra melintasi ruang tengah, menuju sebuah ruangan yang dulu adalah ruang kerja ayah Lesmana.     

Sepertinya, si sulung -Anantha- telah merombak total ruangan tersebut. Ruang kerja ini tak lagi didominasi meja kayu jati mengkilap serta kursi hitam yang dulu menemani ayah tiap kesempatan.     

Ruang kerja ayah Lesmana kini tampak modern minimalis, dengan sebuah meja panjang terhampar di tengah ruangan bersama kursi-kursi ringan yang melingkarinya.     

Aruna memutuskan menyingkir sesaat, menemui mbak Linda yang tengah menyiapkan susu untuk Alan di dalam botol dan mainan kecil berwarna hijau yang bisa digigit bayi tersebut -teether-.      

Tatkala perempuan tersebut datang dan memasuki ruangan, betapa terkesimanya dia terhadap apa yang detik ini memenuhi pandangannya. Mahendra mendudukan Alan pada salah satu pahanya dan menempatkan tangannya yang besar di perut bayi mungil tersebut. Lelaki bermata biru terlihat duduk santai, menyandarkan punggungnya pada kursi yang penampilannya sedikit berbeda dari yang lain sembari menikmati presentasi lily.     

_Ah' lily terlihat luar biasa_ gumam perempuan yang terkesima melihat penampilan sahabatnya. Gadis yang dulu tak berani menggantikan Aruna untuk melakukan presentasi, kini sudah berdiri di depan dinding yang disorot proyektor. Menjelaskan prosedur pemasaran yang mampu mendorong senyum bangga Aruna.     

Kaki mungilnya berjalan mengamati sahabatnya sekilas, kemudian berpindah memandang suaminya dengan raut memerah. Lelaki tersebut sesekali mendapat bisikan dari Anantha. Mengangguk ringan sembari mengayunkan pelan kakinya sehingga bayi di pahanya terlihat menikmati perlakuan khusus tersebut.     

Aruna datang menyentil ringan pipi gembil Alan, menyerahkan mainan sembari merundukkan tubuhnya. Benak perempuan tersebut melayang, membayangkan suatu saat baby mereka lah yang menemani Mahendra kerja.     

Selama ini, Aruna tak pernah sekalipun melihat sisi Mahendra yang ramah seperti detik ini. Manik mata coklat perempuan tersebut terakhir kali melihatnya tatkala Mahendra bermain bola dengan anak-anak, dan hal itu sudah sangat lama.     

Dan Aruna tidak tahu, Mahendra bisa membuat bayi kecil nyaman bersamanya.     

"Apa Alan sudah waktunya minum susu?" suara berat khas suaminya menggugah lamunan Aruna. Tanpa sadar, botol susu di tangan perempuan tersebut sudah berpindah pada telapak tangan lelaki bermata biru. Mahendra tersenyum, mengejapkan matanya seolah memberi tahu bahwa ia bisa dipercaya untuk menjaga bayi aktif tersebut dan istrinya tak perlu khawatir.     

Aruna mengangguk ringan, meninggalkan ruangan.     

***     

"Oh' anda sangat rajin. Tugas seperti ini, saya rasa bisa didelegasikan pada yang lain," suara itu menguar dari ujung pintu. Syakilla belum melihat wajahnya, tatkala dengan nada sedikit kesal dia kembali mengutarakan sebuah kalimat sarkas, "Pelayan harus rajin!" perempuan tersebut memencet mesin kopi. Menunggu suara air yang tengah mengisi cangkir dan perlahan-lahan penuh.     

"Apakah anda kesal pada saya? Saya minta maaf, jika kata-kata saya salah," mendengarkan jawaban bernada kekhawatiran tersebut, Syakilla spontan berbalik. Air kopinya sempat tumpah. Menjadikan perempuan di ujung pintu lekas berjalan gesit meraih tisu untuk membantunya.     

Syakilla mengangkat bahu dan telapak tangannya bersamaan. Ekspresi penyesalan ia tunjukan mendalam, sebelum akhirnya berfokus mengeringkan tumpahan kopinya.     

"Em, aku pikir tadi-" Syakilla mengerjakan beberapa hal dengan satu tangannya. Termasuk menyajikan teh di nampan yang telah ia siapkan.     

"Anda memikirkan orang lain ketika mengatakan itu pada saya?" Bianca mengamati gerak cekatan gadis tersebut. Putri Adam tampak penasaran dengan satu tangan Syakilla yang tak banyak bergerak.     

"Tepat sekali," suara Syakilla menimpali. Tepat tatkala gadis bertubuh langsing tersebut telah usai meletakkan secara sempurna dua cangkir di atas nampan, "Aku pikir anda tadi," melirik ke sebuah arah, seolah mengais ingatan, "Entahlah, aku lupa namanya," lanjutnya, setelah tak mendapatkan apapun di kepalanya..     

Bianca tersenyum, "saya Bianca," menyodorkan telapak tangan dengan jemari lentik dipenuhi ornamen gliter yang sama menawannya. Wajah perempuan di hadapan Syakilla mirip dengan seorang artis Bollywood. Rambutnya tergerai hitam dan indah, bibirnya penuh, berwarna merah dan seperti menciptakan bentuk hati ketika terbuka sedikit, "Dan aku rasa, orang lain yang membuatmu kesal bernama Tiara,".     

"Oh, benar sekali," barulah Syakilla mengingatnya. Mengingat perempuan yang beberapa menit lalu menjadikan telinganya panas.     

"Aku, Syakilla," dia menyambut tangan perempuan tersebut. _high heels nya tinggi_ benak gadis tersebut.      

"Saya tahu," dia tersenyum manis, sedikit memiringkan kepalanya dan sekali lagi mengamati nampan Syakilla. "Semua orang di gedung ini membicarakan anda," dia kembali berucap. Mendekati gadis di hadapannya dan mengarahkan telunjuknya pada benda berisi dua buah cangkir minuman, memberi penawaran, "Saya melihat ada sesuatu di tangan anda," Belum sempat lawan bicaranya menanggapinya, perempuan tersebut sudah menambahkan pernyataan lain, "Saya rasa, anda bakal butuh bantuan,".     

"Jangan khawatir, aku bisa. Tenang saja," Syakilla menggerakkan lengannya, memberi tahu nampan tersebut akan aman. Gadis tersebut merundukkan punggungnya dan mencengkeram benda dengan dua buah gelas minuman di antara sisi perut bagian atas serta tangan kanannya.     

"Woo, berhati-hatilah," ucapnya memberi semangat. Masih berada di ruang yang sama, Syakilla memutuskan membalik tubuhnya. Menatap sekali lagi gadis bernama Bianca.     

"Apa yang di katakan orang-orang tentangku?" sepertinya selipan kalimat Bianca sebelumnya menggelitik hati Syakilla.     

"Calon istri bos, tentu menarik perhatian," Bianca menghentikan kegiatannya sejenak, "Apapun yang dikatakan, tutup saja telinga anda. Fungsi tangan kita, salah satunya untuk menutup telinga," kalimatnya terdengar bijak.     

Tanpa bertanya lagi, Syakilla tahu mayoritas berita tentangnya bukan sesuatu yang positif. Menutup telinga, kalimat itu tergolong penjelasan yang berbelit, akan tetapi nyata adanya. Gadis ini sadar, dia bukan orang suci yang harus dimengerti dan diterima keberadaannya. Jadi, dia putuskan dirinya tidak akan peduli. Kecuali pada perempuan yang kini berjalan menuju pada dirinya dari arah berlawanan.     

Tiara salim. Matanya mengumbar senyum merendahkan yang khas. Perempuan yang sempat mengatakan sesuatu buruk tentang dirinya, amat sangat tak menjenakkan hati sehingga gadis yang kini tengah membawa nampan, ingin sekali melempar gelas di atas nampannya.     

'Apa kemampuanmu di atas ranjang sangat hebat?, sampai kau bisa berpindah-pindah dengan mudah,' kalimat itu terngiang kembali.     

"Sial! Aku tak bisa menahannya," Syakilla menabrakkan diri pada Tiara, dan perempuan tersebut menjerit hebat tersiram air kopi yang masih panas. Sekejap kemudian kegaduhan hadir dan keduanya menjadi tontonan ketika tangan putri Salim meraih rambut si malang Baskoro dan menjambaknya.     

Sesingkat apa pun gerakan Syakilla menumpahkan dua cangkir di atas nampan, Tiara bukan perempuan bodoh yang tidak sadar bahwa gerakan itu di sengaja.     

"Tiara! Hentikan!"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.