Ciuman Pertama Aruna

VI-37. Rumah Yang Hangat



VI-37. Rumah Yang Hangat

0Aruna ingin melompat rasanya tatkala melihat lily berpakaian rapi dengan rok sedikit di bawah lutut dan ID card yang menggantung sempurna pada lehernya. Gadis tersebut juga mengenakan hem yang sama sempurnanya sebagai atasan. Perempuan hamil dengan manik berbinar masih ingat bagaimana sahabatnya selalu punya mimpi akan menjadi salah satu top leader perusahan dibawah naungan Djoyo Makmur grup —dulu sekali, bahkan ketika tak ada satupun yang tahu dunia akan berputar menjadi demikian.     

Lily melirik Aruna dengan hati-hati, berbeda dengan perempuan hamil tersebut. Dia bergerak ringan dan berakhir dengan menculik sahabatnya. Menyeretnya ke ruangan lain, menepi di salah satu sisi rumah keluarga ayah Lesmana, "Kamu-" dia tersenyum, "-terlihat beberapa tahun lebih dewasa," binar netra coklat semakin terang.     

"Hehe" gadis itu hanya tertawa dan tawanya menghilang menyadari seseorang datang.     

"Ayo kita temui ayah," suara Mahendra mampu melenyapkan tawa Lily sebab keduanya pernah saling bermusuhan, "Hai kacamata," panggilnya santai, "Kamu sudah bisa menggunakan lensa kontak," dan gadis yang mendapat pernyataan menarik bibirnya ternganga.     

Aruna sedari tadi menimbang-nimbang, apa yang berbeda dengan gadis bersemangat di hadapannya. Ternyata, suaminya lebih jeli. Mata sahabatnya terlihat lebih lebar bukan sekedar karena kacamatanya di tanggalkan, melainkan ada sebuah lensa kontak yang menghiasi matanya.     

"Kau harus menemui ayahmu, Aruna," Lily berbisik. Dia sedikit alergi dengan suami sahabatnya. Masih ingat betul, gadis tersebut pernah dijahilin habis-habisan tatkala tanpa sengaja membuat goresan pada mobil mewahnya.     

"Kita bicara lagi nanti," jawab Aruna dengan berbisik pula, meninggalkan Lily.     

***     

"Apa kau butuh bantuan?" lelaki yang pada hakikatnya telah rapi berdiri sempurna di hadapan cermin. Mengatur rambut hitamnya yang sudah sama rapinya dan beberapa detik berikutnya kerutan pada dahinya tertangkap. Dia melangkah menuju lorong kamar mandi. Memasuki walking closet dan menggedor pintu sebanyak dua kali.     

"Aku baik-baik saja, tunggulah di luar," jawaban ini terdengar nyaring, "Bisakah kau memanggilkan nanny?" kembali gadis itu bersuara.      

Di balik pintu, Gibran memutar bola matanya, "Apa bisa aku saja yang membantumu?" tawar lelaki tersebut.     

"Aku belum bisa mengenakan pakaian dengan benar menggunakan satu tangan," dan lelaki bersurai pekat segera mungkin mencari bantuan.     

Tatkala gadis bertubuh kurus dan terlihat rentan hadir di hadapan Gibran, lelaki tersebut telah menyelesaikan separuh makannya. Duduk di meja makan dan benar-benar mengenakan gaun senada. Putra pertama Rio baru menyadari, Syakilla terlihat penuh hasrat ingin mengikutinya bekerja hari ini atau mungkin hari-hri berikutnya.     

Syakilla meletakkan tas selempang di atas meja. Ada kekusaman yang tertangkap mata pada benda yang dibawanya sejak pertama datang ke rumah sakit sebagai pasien percobaan bunuh diri yang gila.     

"Makan lah dengan cepat," Gibran berucap dengan mata yang masih mengarah pada sudut tas Syakilla.     

"Akan aku usahakan," jawab gadis itu sembari membalik piring. Dengan bantuan nanny, Syakilla mendapati roti tawar dengan olesan mentega yang masih menguarkan bau harum bekas panggangan, di atas piringnya. Gerakan makan dengan satu tangan yang diupayakan cepat, tak luput dari pengamatan Gibran.     

Lelaki tersebut menyingkirkan piring kosong di hadapannya yang lekas diraih oleh nanny. Sejalan kemudian, tangannya menjulur sempurna menyisihkan rambut gadis yang dibiarkan terurai dan sebagian jatuh di atas piringnya, "Kau akan mengunyah rambutmu sendiri kalau makan dengan cara seperti ini," Gibran mendesah lembut. Kalimatnya terdengar lebih akrab dari sebelum-sebelumnya.     

Syakilla mendongakkan wajahnya. Menatap awas lelaki yang detik ini menggenggam sebagian rambutnya. Detik berikutnya ia mendorong bahunya ke belakang, menyisihkan telapak tangan besar Gibran, "Kita bukan pasangan yang romantis, aku rasa ini terlalu berlebih," ia mencibir perbuatan lelaki di hadapannya.     

"Tindakanku bukan upaya menjadi kita terlihat romantis. Aku hanya membantu gadis konyol yang melukai tangannya sendiri," suara Gibran sama mencemoohnya. Meraih handphone di atas meja dan mulai berjalan meninggalkan meja makan tersebut.     

"Nanny, bungkus sarapanku," Syakilla berdiri tergesa. Takut lelaki tersebut meninggalkannya sendirian di rumah ini.     

***     

Aruna masih belum yakin dengan apa yang dia lihat. Sisi kolam renang yang dulu berupa taman keluarga sekarang menjadi sorum perabotan kayu ayahnya. Benda-benda ukir tergeletak disana dan dengungan alat pemotong kayu timbul tenggelam seiring punggung yang ia kenal tertangkap dari kejauhan.     

Ayah lesmana membuka pelindung wajah dan spontan melepas dua sarung tangan tebal yang membungkus kedua belah telapak tangannya, "Kalian sudah datang," pria itu meninggalkan bengkel mininya. Berjalan pada jalan setapak tepian kolam dan berhasil menyambut tangan menantunya, Mahendra.     

"Semoga ayah selalu sehat," sapa Mahendra ramah. Sebuah gerakan menepuk ringan lengan kanan lelaki bermata biru tertangkap.     

Dua laki-laki saling berpandangan sekilas, sebelum seluruh perhatian ayah Lesmana jatuh pada perempuan mungil di balik punggung Mahendra yang dengan sengaja mendorong tubuh tinggi menantunya untuk mengamati putrinya, "Masih cantik," ujarnya menggoda. Dan putri bungsunya tersipu malu. Pipinya memerah.     

Ayah Lesmana adalah cinta pertama terbaik sepanjang masa, dan Aruna merindukannya setengah mati. Setiap saat. Pria ini tempatnya berlari ketika dia tak tahu harus berbuat apa.     

"Bagaimana perjalanan putriku ke lereng Bromo?" Lesmana memilih duduk di kursi yang tersaji pada teras samping rumahnya, yang menghadap ke kolam renang ketika mereka mulai bercakap.     

Ada mata melebar, "Ayah tahu kami-".     

"Tentu saja," Lesmana melengkapi kalimat putrinya. Pria tersebut terlihat membasuh peluh dengan ujung telapak tangannya.     

"Ayah masih suka membuat ukiran? apakah tidak sebaiknya, em ayah menikmati masa pensiun?" pertanyaan Aruna terdengar hati-hati.     

"Apakah aku sudah setua tetua Wiryo?" Lesman bicara sambil tertawa. Akan tetapi, tawanya tertahan ketika Mahendra memutuskan bangkit dari duduknya, berpamitan menerima panggilan.     

Mata Aruna menatap kurang suka melihat suaminya yang memilih menerima panggilan dari pada sejenak bersama ayah dan dirinya.     

"Apa dia sangat sibuk?," Lesmana bertanya seiring caranya memberi senyum pengganggu.     

"Kadang," jawab Aruna sembari mengangkat bahu.     

Bibir Lesmana membentuk huruf O sembari mengangguk ringan, meraih minuman dan meneguknya, "Ada yang berbohong pada ayah,"     

"Maksud ayah, aku?," si putri bungsu menunjuk dirinya sendiri.     

"Siapa lagi?," kalimatnya kembali menggoda.     

"Ya, Hendra, dia hanya tidak pandai mengatur jadwal," kilah Aruna.     

"Dia dipersiapkan untuk hidup seperti itu," teh datang di bawa mbak Linda yang di belakang langkahnya terlihat lelaki kecil berjalan tertitah-titah dibuntuti perempuan yang memekik.     

"Jangan ke sana!" larinya kian cepat berusaha menangkap lelaki kecil yang berjalan sempoyongan lincah sambil tertawa. Aruna lekas bangkit dan menangkapnya. Hal yang sama juga di upayakan ayah Lesmana tapi kalah cepat dengan si bungsu yang posisinya lebih leluasa, "Ah syukurlah," perempuan yang detik ini mengenakan daster rumah warna hijau dengan rambut tergulung ke atas, mengurai nafas lelah.     

Mbak Linda masih berdiri terpaku dengan wajah tegang sekian detik, selepas itu buru-buru meletakkan minuman di atas nampan pada meja.     

"Turunkan dari gendonganmu, Aruna. Kau sedang hamil," Alan di rengkuh ibunya. Belum genap rengkuhan perempuan berdaster hijau tersebut, tangan besar dari arah belakang menangkap lelaki kecil yang tak punya rasa takut.     

"Apa aku sudah pantas?" Mahendra mengayun-ayunkan bayi lelaki yang detik ini menjatuhkan air liur pada jasnya.     

"Dia harus bermata biru supaya pantas," ibu bayi itu menjawab spontan dengan tatapan khawatir melihat jas yang melekat di tubuh Mahendra mulai terlumuri air liur putranya, akan tetapi sepertinya lelaki tersebut tak peduli. Mendekap dan menghadiahi Alan ciuman di pipi.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.