Ciuman Pertama Aruna

IV-36. Jiwa Yang Meledak-ledak



IV-36. Jiwa Yang Meledak-ledak

0Jalanan yang padat berpadu bisingnya kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang sangat kontras dengan suasana hening yang tersaji di dalam mobil hitam, dimana terdapat perempuan hamil beserta lelaki yang tengah memangku sebuah tab empat belas inch serta dua orang ajudan.     

Mata Aruna memandang sekilas apa yang dibaca suaminya. Portal bisnis dan grafik-grafik yang tidak ia mengerti begitu menarik perhatian Mahendra sehingga perempuan dengan manik coklat tersebut yakin, andai saja pagi ini ada petir yang menggelegar pun —netra biru lelaki tersebut tak akan berpindah dari laman yang tengah ia amati.     

"Herry, kau tahu kemana kakekku mengirim Thomas?" suaranya memecahkan keheningan. Perempuan di sebelahnya pun merasa turut larut dalam rasa penasaran terhadap lelaki yang pernah ia temui sekali itu. Thomas si pria dengan rambut sebahu dan penampilannya yang dinamis beserta bibirnya yang merah alami. Aruna masih ingat kalimat permintaan maafnya yang begitu mendalam dibumbui dengan gerak-gerik gelisah.     

"Saya dengar, dia diberi kesempatan untuk mengambil kuliah lanjutan," ujar Herry sembari mengamati jalanan.     

"Hah! Ini akan membuatku sulit," Mahendra kembali mengamati grafik yang naik turun menampilkan beberapa warna berbeda.     

"Belum ada kandidat penggantinya?" kembali lelaki tersebut berujar. Mahendra mengatakan hari ini dia akan membawa istrinya kerumah ayah Lesmana, akan tetapi baju yang ia kenakan bukan sesuatu yang serasi untuk pergi bersantai dirumah keluarga Aruna. Lelaki tersebut mengenakan setelan jas lengkap dengan dasi.     

"Bukankah anda memutuskan untuk menjadikannya supir pribadi dan kekosongannya diganti senior Vian?" kalimat Herry tak mendapatkan balasan.     

"Mengapa tren departemen store memburuk sekali bulan ini?" lelaki bermata biru menggerutu seorang diri dan tidak ada yang menanggapinya. Dulu sekali, Aruna akan mendengarkan suara pak Surya mengimbangi ungkapan yang keluar dari mulut Mahendra, "Ini masih kuartal satu, bukan? Aku rasa ekonomi tidak buruk. Cukup stabil," dahinya mengerut. Bicara sendiri seperti orang yang sedang menonton drama series hebat dan melihat pemain utama melakukan tindakan bodoh.     

"Tidak ada yang suka pergi ke toko baju dan jalan-jalan di mall, lebih baik belanja sambil rebahan atau sambil duduk santai di meja-meja cafe," Aruna menimpali kalimat-kalimat yang tak bersambut tersebut. Dan spontan Mahendra menolehkan wajahnya ke arah perempuan itu, "Kalau aku. yaa, aku akan memilih berbelanja dengan cara seperti itu. Sayangnya, rumah induk bahkan tidak bisa dilacak aplikasi pengantar paket online," dia seolah menjawab pertanyaan tak terucap yang tergambar dari wajah suaminya.      

_tentu saja_ gumam Aruna, menyadari rumah induk berdiri kokoh sendirian di lereng bukit, membuat pengantar pesan online memilih membatalkan orderannya.     

Mahendra menggerakkan kepalanya kian dekat. Selepas melakukan pengamatan pada istrinya beberapa saat, dia mengangguk ringan. Lalu matanya berputar, dan kembali mengamati tab-nya.     

"Kau benar," ujarnya kemudian. Mengangkat benda persegi empat tersebut lalu menunjukan grafik yang perlahan-lahan naik. Aruna memicingkan matanya, "Tren tempat nongkrong ala cafe shop sedang merangkak naik,".     

"Oh, begitu," Aruna tak menyangka kebenaran dari sekedar asal bicaranya.     

"Kemarilah, lihat ini," suara Mahendra bersemangat merasa memiliki teman bertukar pikiran.     

"Kau tahu -kan, aku alergi dengan angka," Aruna melempar pandangan ke sisi jalanan dan bibirnya sempat tersenyum sekilas. Perempuan muda ini senang kalimat randomnya dapat dibuktikan.     

"Andai bukan istriku, aku bisa mempertimbangkan perempuan berbakat sepertimu untuk mengawal mentari plaza. Ah' perusahan itu seperti gudang tua yang hampir musnah," enteng lelaki ini berkata. Salah satu perusahaan departemen store di bawah naungan DM grup yang tak pernah terlihat peningkatannya.     

"Kenapa kau bicara seperti itu?" senyuman yang sempat terbit tersebut hilang begitu saja.     

"Karena aku tak mau melihat istriku kelelahan, supaya dia terus sehat dan melahirkan lebih banyak anak untuk kami," senyumnya mengembang dan amat sangat percaya diri. Merapikan kancing jasnya dan menegakkan punggung. Mahendra merapatkan punggungnya di kursi dengan satu tangan menyentuh rambut Aruna dan mengusapnya pelan.     

Tidak sadar perempuan muda yang detik ini kepalanya ia pegang tengah memandang kesal padanya, "Boleh aku memintamu meralat kata-katamu?".     

"Apa ada yang salah denganku?" Ada alis berkerut, tak paham dengan maksud istrinya.     

Aruna memalingkan wajahnya dan melihat jalanan yang kini telah lenggang, "Kau berjanji akan memberiku kebebasan lebih dan mengabulkan permintaanku, kalau aku kembali ke rumah induk. Dan ternyata-" perempuan ini menoleh kepada lelaki di sampingnya. Menciptakan raut muka mengancam yang di tangkap berbeda oleh si mata biru. Istrinya mirip kucing kecil yang hobi mengeong protes, "-aku hanya diminta melahirkan banyak anak? Lebih baik aku jadi istri orang biasa," suaranya terdengar ketus di gendang telinga lawan bicaranya.      

"Apa ada kata-kataku yang menunjukkan aku tak akan menuruti permintaanmu?" Mahendra melemparkan pertanyaan yang ia kutip dari monolog Aruna.     

"Secara implisit ada," perempuan hamil mulai menunjukkan keras kepalanya.      

"Hai, sudah aku katakan berulang kali, kontrol emosi. Kau sedang mengandung, sayang," ia menaruh perhatian penuh, sejenak mengabaikan tab di pangkuan.     

"Karena aku sedang mengandung, aku tak bisa meredam emosiku. Di tubuhku ini ada benih lelaki keras kepala," Aruna bersuara sembari mengusap pelan perutnya.     

Netra biru mengerjap polos, "Jadi, ketika kau marah-marah itu pun juga salahku?".     

"Tentu saja!" tangan yang mengusap perut, berubah jadi kian energik seiring dengan nada bicaranya yang emosional. Perempuan ini banyak berubah dengan kondisi kehamilannya yang kian membesar.     

Lelaki di sampingnya sekedar tersenyum, lalu bergerak maju meraih tab yang sempat ia letakkan pada tempatnya. Aruna yang masih berapi-api menarik benda persegi empat tersebut.     

"Kembalikan. Aku mau menunjukkan sesuatu padamu," dia yang bicara membuka telapak tangannya, "Sungguh, aku tidak bohong," netra biru cemerlang menatap hangat, kemudian mengerjap pada satu sisi, "Kau benar-benar tak ingin melihat surel pengaktifan kuliah mu di semester ini?".     

Dan serta merta benda persegi empat tersebut turun dari tangan Aruna -yang semula naik ke atas-, "Tunjukkan padaku!" dia mendominasi layar sentuh. Menarik jemari Mahendra kemudian menempelkannya pada sensor pembuka kunci smartphone tersebut.     

Lelaki bermata biru mendekat. Jemarinya bergerak lincah menyusuri beberapa laman, dan tersaji lah apa yang menjadi keinginan Aruna.     

"Ini belum final," ujar mahendra.     

"Maksudnya?" netra coklat kembali berkilat.     

"Kita akan mendiskusikannya dengan keluarga," senyum menenangkan hadir dari lelaki bermata biru.     

_Oh' jadi Hendra punya niat tertentu kerumah ayah_ tentu saja, Aruna merasa bodoh seketika.     

"Kak Aliana paling bisa memberimu masukan, bunda Indah juga," Mahendra ternyata sudah memperhitungkan ini semua. Mommy Gayatri dan oma Sukma tak akan mampu memberi gambaran umum untuk keadaan Aruna. Keduanya hidup dengan cara sedikit berbeda.     

"Kenapa arah rumah ayah, arahnya-" Aruna mengamati jalanan dan menyadari ini bukan jalan kerumah ayah yang seharusnya.     

"Apa kau lupa, di mana kau menghabiskan masa anak-anak dan remaja?" mata Aruna mengerjap sekian kali sebelum rasa haru menyerangnya. Dia memeluk lelaki di sampingnya secepat kilat selepas neuron-neuron di kepalanya mampu menggali informasi dari pertanyaan suaminya.     

Ayah dan bunda tampaknya telah luluh dan mereka kembali kerumah masa remaja Aruna. rumah yang diberikan keluarga Djoyodiningrat pada mantan ajudan terbaiknya.     

"Hendra, kau yang terbaik," senyum manis menyajikan deretan gigi rapi.     

"Dan kamu-" ucap Hendra memberi penekanan pada pipi Aruna menggunakan ibu jari dan telunjuk, "kurangi marah-marah," lembut tutur katanya, akan tetapi dalam penekanannya.      

.     

.     

"Kakak," orang pertama yang keluar dari pintu rumah adalah Anantha, akan tetapi ia tak memberikan sambutan berarti pada si bungsu yang siap menerima pelukan. Putra sulung Lesmana malah menjabat tangan Mahendra.     

"Timku sudah menunggu di dalam," suara Anantha terdengar formal. Herry dan Alvin tertangkap mengeluarkan barang-barang bawaan dari bagasi mobilnya.     

"Apa itu seorang kakak yang baik, kau tidak memeluk adikmu?" Aruna melengkingkan suaranya. Berkacak pinggang menatap punggung kakak lelakinya.     

Anantha menoleh sejenak mengamati si bungsu dengan ekspresi aneh, "Apakah ini adikku?" Aruna sedikit berbeda, mungkin itu yang detik ini ada di kepala si sulung. Gadis kecil di keluarga Lesmana adalah perempuan yang tenang dan tak meluap-luap seperti saat ini.     

"Dia bilang, separuh genku masuk di dalam tubuhnya, jadi setiap hari jiwanya meledak-ledak. Teori yang sedikit aneh. Tapi kenyataanya, dia semakin berisik sejak hamil," Mahendra ikut memutar pandangan menatap istrinya yang sempat tertinggal di belakang sebab fokus mengiringi langkah Anantha.     

"Oh, jadi begitu," Anantha mengayunkan telapak tangannya, "Kemarilah nona. Aku sedang bekerja sebagai bawahan anda. Kenapa anda mempersulit saya?," sarkas ini adalah awal dari pelukan hangat kakak lelaki pada adik bungsunya.     

Mereka berjalan memasuki rumah ayah Lesmana. Tatkala langkah kaki sampai pada ruang tamu, Aruna sempat tercengang mendapati teman-teman kakaknya dan satu temannya. Satu-satunya gadis dengan kacamata tebalnya berdiri menyambut kedatangan suaminya, "Lili?".     

"Hehe," gadis tersebut melambaikan tangan.      

_Pantas saja Hendra berpakaian rapi hari ini_     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.