Ciuman Pertama Aruna

IV-35. Warna Sinar Matahari



IV-35. Warna Sinar Matahari

0Aruna tidak mengerti mengapa ia selalu terbangun di tengah malam dan ketika hal tersebut terjadi, kenyataan yang sama akan berlaku. Dia tidak menemukan suaminya. Pembaringan di sampingnya selalu kosong. Dengan keyakinan yang sama, perempuan tersebut meyakini lelaki bermata biru sekedar pergi ke kamar mandi dan kemudian ia mencoba tertidur lagi.     

Mencengkeram selimut tebal dan menciptakan angan-angan bahwa suaminya akan datang dengan senyum serta lesung pipi yang mahal, lalu mengecup pipinya, _ayo, Aruna! Tidurlah_ ia berguman meneguhkan hati. Seolah mengucapkan mantra sihir supaya lekas tertidur kembali.      

Kenyataannya, kali ini perempuan tersebut tidak mampu menahan gejolak hatinya. Bukan hanya sekali atau dua kali ia menemui hal demikian, hampir setiap malam suaminya hilang tatkala matanya terlelap sehingga membuatnya penasaran kemana lelaki tersebut pergi.     

Melempar selimut di atas tubuhnya, perempuan tersebut memijakkan kakinya yang mungil ke atas selasar yang dingin. Mengabaikan alas kaki yang tersedia di bawah ranjangnya, Aruna berjalan lambat menuju kamar mandi. Kosong. Ia sudah dapat menduga hal tersebut bakal terjadi.     

Gejolak di dada menuntun langkahnya berpindah ke tempat berikutnya. Sebuah ruangan besar yang menyimpan deretan outfit dirinya dan suaminya menjadi tujuan kedua. Dan tentu saja tak perlu di tanyakan lagi apa hasilnya.     

Kini Aruna menyadari dugaannya benar adanya, bahwa Mahendra berada di lantai dasar. Ruang kerja di samping ruangan pertama yang dulu ia datangi tatkala masih menjadi calon menantu di keluarga ini.     

Mengencangkan tali piyama dan meraih sepasang alas kaki berbulu yang hangat, nona mungil Djoyodiningrat menuruni tangga lantai dua dan berjalan mencari tahu pembenaran dari asumsi yang tercipta di kepalanya.     

Aruna masih belum begitu yakin akan keputusannya, dan perempuan tersebut kian merasa aneh ketika geraknya dirasa perlu mengendap-endap tatkala semakin dekat dengan ruang kerja Mahendra.     

Rumah yang dihuni lima anggota keluarga dengan para asisten yang entah berapa jumlahnya -tak ia ingat-, belum lagi para petugas keamanan dan kebersihan. Malam ini semuanya tak terlihat, sebab jam menunjukkan pukul dua dini hari. Terlalu larut untuk beraktivitas dan mayoritas orang tidur terlelap.     

Langkah kaki mungil kian dekat dengan ruang kerja suaminya. Memutar handle pintu dengan perlahan, akan tetapi perempuan tersebut tak mendengar apapun yang terjadi di dalam ruangan hingga benda yang terbuat dari kayu tersebut terbuka sepenuhnya. Sosok tinggi tegap yang ia cari berada di tengah-tengah sekelompok orang yang tak asing, tetapi tak ia kenal pula.      

Mereka yang tadinya berdiskusi hebat dengan kalimat-kalimat desakan yang keluar dari keangkuhan suaminya berpadu dengan tatapan tajam yang mengintimidasi, lekas hening seketika.     

Mahendra spontan berdiri, ia belum menoleh ke arah Aruna sampai kalimat, "Kenapa tidak ada yang mengunci pintu," suaranya parau, dingin, dan mengintimidasi, bersama genggaman tangan tertangkap mata.     

Ada rasa tak jenak tatkala mendapati Mahendra berbicara seperti itu, "Aku minta maaf. Aku pikir, kau sendirian di sini, aku-"     

"Tak apa sayang," potong Mahendra bersama sebuah ekspresi bertolak belakang yang ia tunjukkan. Sesaat kemudian lelaki tersebut berjalan, mendorong ringan tubuh Aruna. Menoleh sejenak pada kumpulan orang-orang yang duduk di sofa depan meja kerjanya. Kemudian menutup pintu.     

"Kenapa mencariku?," suaranya hangat, seolah tidak ada kejadian tertentu sebelumnya. Tangannya mendekap punggung mungil dan bibirnya sempat menyesap rambut di bagian ubun-ubun. Menggiring kembali Aruna yang terdiam seribu bahasa ke kamar mereka.     

"Aku bisa kembali sendiri, kalau ada kesibukan lanjutkan saja. Sejujurnya, aku khawatir dengan kesehatanmu. Kau manusia yang butuh tidur, ingat itu," Aruna melepaskan diri. Membalik tubuhnya dan mundur beberapa langkah dengan senyuman yang menggantung di bibirnya. Senyum lurus yang dipaksakan.     

"Aku manusia, aku butuh istirahat, mari kita istirahat, sayang," dan dia yang berperawakan tinggi berjalan di belakang perempuan yang tengah memimpin langkah menaiki tangga.     

Sepanjang malam menuju pagi, perempuan hamil menemukan suaminya benar-benar tidur sedangkan dirinya sendiri tak bisa menutup mata barang sesaat saja.     

***     

Pagi di dalam selimut maroon. Tangan besar seorang lelaki hadir menyelangkupi tubuh kurus si manja yang tersabda sebagai si malang. Sungguh, amat sangat di luar dugaan. Ia yang bersurai pekat menunjukkan segala kemustahilan. Laki-laki yang terlihat layaknya dewa penolong dan tak banyak bicara atau menunjukkan tanda-tanda akan meminta imbalan, telah berada tepat di sisi kanan gadis yang membuka matanya lebar-lebar sebab menyadari dirinya tengah dipeluk erat. Tangannya berada di perut Syakilla, meringkuk seperti melindungi boneka berharga.     

"Kau sudah bangun?" sepertinya Gibran baru sadar dari tidurnya. Mengangkat sedikit wajahnya. Tersenyum layaknya seorang suami pada istrinya di pagi hari. Dan sebuah kecupan mendarat di pelipis Syakilla.     

Syakilla spontan memicingkan mata awas mengamati lelaki tersebut, "Aku akan mandi terlebih dahulu," dia berkata sembari menyingkirkan selimut maroon. Detik berikutnya gerakan mematikan lampu tidur ia perlihatkan.     

Sepertinya malam tadi, Gibran juga telah mematikan benda yang jadi pencahayaan utama dan menyisakan dua buah penerangan yang temaram ketika Syakilla benar-benar telah terlelap.     

"Bisakah kau membantuku memilihkan baju?" sempat menoleh pada Syakilla yang masih terbaring kaku -syok- mengingat kegilaannya semalam –duduk di pangkuan lelaki tersebut-, dan tentu saja tindakan gila yang berkaitan dengan pelukan berani Gibran pada tubuhnya, yang ia dapati pagi ini.      

_Apakah dia iblis yang bersembunyi dalam jiwa malaikat?_ bagaimana bisa dalam waktu semalam, lelaki yang selama ini terlihat tenang tersebut memeluknya bahkan mencium pelipisnya. Ataukah dia sedang menjalankan kalimatnya, di mana perlahan-lahan menjadikan Syakilla terbiasa oleh dirinya.     

Lelaki bersurai pekat membuka gorden-gorden yang tersaji pada ruangan. Menarik sebuah benda berupa tali, sehingga sinar matahari hadir menyapu wajahnya.     

Syakilla terduduk, dengan satu tangan menciptakan gerakan menggenggam seluruh rambutnya dan memutarnya berulang-ulang. Selepas merasa cukup, gadis tersebut membiarkan rambut yang kini berupa gulungan panjang jatuh di sisi kanan bahunya.     

Jari-jari yang terlihat ringkih mengais penjepit rambut sebesar bola golf, lalu menekan tuasnya sehingga cengkeraman tersebut terbuka. Gadis tersebut kian lihai melayani dirinya sendiri dengan satu tangan yang berfungsi. Rambutnya yang memanjang kini tertangkap naik ke atas dengan jepit rambut yang mencengkeram di kepalanya sisi belakang.     

Tatkala ia bangkit dan mulai berjalan, matanya masih melihat Gibran yang tengah asih menikmati udara pagi atau mungkin sinar matahari dari jendela yang terbuka.     

"Kau menginginkan baju bernuansa apa pagi ini?" tanya gadis tersebut. Berdiri tidak jauh dari punggung lelaki yang masih asik dengan dunianya sendiri.     

"Kau tahu warna sinar matahari?," dia menjawab dengan melempar pertanyaan yang aneh.     

"Kuning?" ada gelengan kepala dari Gibran, "Merah?" menggelang lagi, "Putih?".     

"Bukan," dan wajah itu berbalik menatap keberadaan Syakilla, "Apa warna yang kau suka?" bukan jawaban yang ia berikan, melainkan sebuah pertanyaan lagi.     

"Mungkin, pink," jawab gadis itu asal.     

"Mungkin juga, itulah warna sinar matahari pagi ini," dia tersenyum sembari berucap.     

"Sial," umpatan ini terlempar lirih dari mulut sang gadis, dan senyum di bibir Gibran kian lebar.     

"Gunakan warna yang sama kalau kau ingin ikut aku bekerja," ujar lelaki bersurai pekat.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.