Ciuman Pertama Aruna

IV-34. Tertangkap Basah



IV-34. Tertangkap Basah

0Lelaki bersurai pekat kembali menolehkan kepalanya pada gadis yang terbaring tak jauh dari tubuhnya. Ia perlahan mendekat. Menatap dan mengamati dalam gelap, tatkala secara mengejutkan mata Syakilla terbuka. Membuka selebar-lebarnya dan mendapati wajah Gibran berada di atas kepalanya kemudian lekas menjauh, "Apa yang kau lakukan?".     

Ada gerakan merapikan selimut yang disajikan lelaki tersebut, "Kau bisa melihatnya," hanya itu yang putra sulung Diningrat utarakan, sebelum kembali membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dan menyadari gadis tersebut bangkit meninggalkan pembaringannya. Gibran mengamati gerakan berputar yang ditunjukkan Syakilla.     

Gadis bergaun kuning gading tersebut mengitari separuh ranjang dan mendekati sisi dinding kemudian memencet tombol lampu. Detik berikutnya ia menatap ke arah Gibran sejenak, "Aku rasa ini lebih baik,".     

"Bukankah kau sulit tidur ketika lampu menyala?" tanya Gibran. ia tahu kebiasaan Syakilla.     

"Tidur dengan lampu menyala lebih menenangkan daripada suasana temaram yang memungkinkan seorang lelaki tiba-tiba menatapku dengan mata gelapnya," Syakilla mengucapkan kalimat tersebut bersama gerakan menyibak selimut maroon kemudian menenggelamkan dirinya sekali lagi pada benda tebal tersebut.     

"Sungguh, aku tadi hanya merapikan selimut mu," dia yang bicara sedang berbohong.     

"Aku bukan tipe orang yang tidur dengan banyak gerak," sangkal Syakilla.     

"Mana ada orang yang menyadari apa yang terjadi, ketika sudah terlelap?" kilah lelaki bersurai pekat.     

Dan gadis bergaun kuning gading memutar kepalanya, menangkap keberadaan Gibran, "Mengapa kau tidak mau berterus terang? Kau sudah tertangkap basah," kalimat ini mengakibatkan seorang laki-laki tak mampu berkutik lagi. Ia membeku sekian detik —sesaat, sebelum kepalanya menoleh menyambut tatapan Syakilla.     

"Aku penasaran denganmu," pada akhirnya lelaki tersebut mengaku, "Apakah kau juga pernah memberi ciuman yang sama, seperti siang tadi pada Gesang?" tanya Gibran dengan raut wajah polos.     

"Kau menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya," Syakilla kembali merapikan selimutnya dan menggeser guling yang tak kokoh beberapa ceti naik ke atas, mengharapkan segalanya lebih aman. Tindakannya jelas sia-sia.     

Tatkala netra sayu gadis bergaun kuning gading mulai terpejam, keheningan yang terasa kembali terusik, "Aku mencari tahu banyak hal terkait pernikahan yang kau inginkan," suara Gibran lah penyebabnya.     

"Bisakah kau mengatakan ini besok saja?!," nada bicara balasan tersebut terdengar kesal.     

Tak menghiraukan, Gibran kembali berucap, "Aku tahu dimana mereka memesan gaun, dan besok, aku berencana mengunjungi butik itu," ia berbicara sembari menatap langit-langit kamar, "Kau bisa memesan sesuai keinginanmu dan aku akan memenuhi semuanya. Tapi, ada sesuatu yang membuatku merasa janggal".     

"Janggal?" suara Syakilla membuat mereka saling menatap satu sama lain, pada sela guling yang tersaji di tengah keberadaan keduanya.     

"Iya," jawab Gibran singkat. Matanya menatap lekat.     

"Apa yang janggal?" ada kerutan pada dahi gadis bergaun kuning gading.     

"Aku," netra hitam legam memperhatikan titik tertentu pada wajah gadis di hadapannya, "Aku memenuhi keinginanmu dengan tuntas, tapi kau balas dengan membayarnya setengah-setengah," ujarnya, mengutarakan isi hati.     

Syakilla menarik bibirnya. Sebuah senyum menggantung pada wajah tirus gadis tersebut. Ia konsisten tertangkap memiliki keteguhan yang kuat dengan matanya yang berkilat dan senyuman yang menimbulkan kesan mencela. Ia bangkit melewati guling yang menjadi pembatas keduanya.     

"Apa ini yang kau inginkan, tuan?" katanya menyindir. Menyibak rambutnya yang panjangnya. Ujung-ujung surai yang sempat menyapu wajah Gibran.     

Kedatangan Syakilla menjadikan Gibran bergerak lambat untuk bangkit dari tidurnya. Tubuh lelaki tersebut bersandar pada kepala ranjang tatkala gadis dengan pinggang rampingnya duduk di atas pangkuan putra tertua Diningrat.     

Matanya mengembara menatap wajah Gibran, dan hal yang sama juga dilakukan lelaki tersebut. Detik berikutnya dengan mata terpejam rapat, Syakilla menarik leher kokoh dengan satu tangan dan menautkan bibir mereka.      

Gibran mengamati bagaimana mata itu terpejam rapat dan bibir gadis tersebut menyentuh dingin pada bibirnya. Ini bukan gerakan melumat penuh hasrat sebab ia sekedar menempel dan menjalankan tugasnya.     

Gerakan mendorong ringan tubuh yang terlihat ringkih tertangkap mata. Lelaki tersebut mengamatinya dengan tatapan nanar, "Aku tidak mau yang seperti ini," ujar Gibran, "Aku mau, kau memberiku yang terbaik, sama seperti yang kau berikan pada Gesang!" ada nada suara menuntut yang diujarkan putra Diningrat. Netra hitamnya mengkilat.     

"Syakilla yang itu sudah mati. Semenjak berada di kamar ini, dia mati secara perlahan-lahan," kalimatnya menorehkan sayatan imajiner di hati lelaki di hadapannya, "Aku tidak ingat lagi apa-apa yang aku lakukan dulu," tangan kanannya terlepas dari leher Gibran.     

"Kau bilang akan memberikanku pelayanan terbaik," Gibran memiringkan kepalanya, mengintip gadis yang menunduk menutup dirinya.     

Syakilla terdiam. Membiarkan tangan ringkih yang masih menggantung di dada Gibran. Dia tak bersuara walaupun tatapannya sempat naik ke atas dan tangannya meremas ringan piyama yang dikenakan lelaki tersebut.     

"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan," ujar Syakilla, "Kesepakatan pertama, tidak ada yang boleh menyebutkan nama 'nya' sekali lagi," ia menatap lamat-lamat wajah Gibran.     

"Siapa?" tanya Gibran, berpura-pura.     

"Adikmu!" penuh penekanan kata ini di ujarkan, dan sebuah remasan kuat hadir di dada Gibran, "Atau aku benar-benar menelan racun. Bukankah kau takut aku mati?" Dia yang bicara memasang senyum aneh yang janggal, "Aku tahu, kau terobsesi denganku. Dan kita sama-sama tahu bahwa —kau, aku manfaatkan untuk membelaskan dendam ibuku. balas dendam pada Baskoro dan keluarganya." nafasnya naik turun ketika basa dendam terdengar, "Ada satu hal yang terlarang dalam hubungan simbiosis mutualisme ini," gadis bergaun kuning gading kian berani menatap putra pertama Rio, dan lelaki tersebut menikmatinya. Tapi entah mengapa yang tersaji berikutnya adalah ekspresi berbeda. Syakilla benar-benar menampilkan suasana hati yang berubah-ubah tak terkendali.     

"Aku setuju," jawab Gibran, mencoba mengendalikan suasana.     

"Aku belum menyebutkan permintaanku?"  alis syakilla hampir menyatu sempurna, "Aku rasa ada yang salah, aku belum menyebutkan kesepakatan kita sepenuhnya," ia menegaskan ungkapannya.     

"Tidak perlu. Apapun yang kau inginkan, aku setuju," ringan suaranya terdengar. Tangannya terbuka di antara tubuh rentan yang berada di atas kedua pahanya.     

"Semuanya?," Syakilla coba memastikan sekali lagi.     

"Semuanya. Semua yang kau inginkan akan aku penuhi," lelaki bersurai pekat mengangguk menyakinkan. dan bibirnya. ada senyum samar di sana.     

"Kenapa kau menjadi manusia seperti itu?" gadis ini masih mengerutkan dahinya sambil bertanya-tanya. Selama ini Gibran menggambarkan pribadi yang baik, simbol seorang kakak sempurna, bagi siapa pun. putra terbaik tarantula, semua tahu itu.     

"Kau sudah tahu jawabannya, kenapa bertanya?" Gibran memberanikan diri menyentuh rambut gadis di pangkuannya, "Terobsesi. Kata yang menarik. Kau membantuku memahami situasi ini," lelaki dengan netra hitam legam tersebut berakhir membelai pipi tirus dengan ujung ibu jarinya. Syakilla merasakan gerak-gerik tersebut dengan tatapan awas, "Tak perlu menciumku kalau kau belum siap. Aku akan menuntutmu. nanti. selepas kita menikah,".     

Ada mata mengerjap bersama nafas kebas yang disajikan gadis yang detik ini membenci perasaan rentan yang perlahan menyergapnya.     

"Kita bisa memulai semuanya dari tidur tanpa pembatas, itu saja dulu," Gibran yang secara tidak terduga mulai menampakan wujud aslinya, menjadikan gadis di pangkuannya tak bisa menyembunyikan perasaan campur aduk yang asing.     

Putra pertama Rio selama ini cenderung tenang, tak banyak bicara, dan lebih suka bersembunyi dalam keterdiaman, dan detik ini berubah dan mengakui beberapa hal sehingga dia terlihat sebagai sosok yang bertolak belakang.     

"Turuh lah dari pangkuanku, kita butuh istirahat," kalimatnya menutup percakapan di malam yang kian larut. bersama suasana hati perempuan yang kian kalut.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.