Ciuman Pertama Aruna

IV-33. Gaun Berwarna Gading



IV-33. Gaun Berwarna Gading

0"Iya aku memang aneh," Dia memasang wajah memelas, "Sudah, jangan marah terus, kasihan sama baby. Bagaimana kalau nanti baby terpengaruh, jadi tidak sayang padaku?".     

Bibir mungil perempuan tersebut terdiam pada akhirnya, dan perlahan memalingkan wajah, "Aku sangat mencintaimu, dan aku lelaki yang tak banyak berinteraksi dengan orang lain. Aku berharap kau mengerti," netra biru menatap hangat keberadaan istrinya. Menjulurkan tangannya, menyentuh pipi dengan sentuhan terlembut yang ia bisa.     

"Lain kali, mari kita saling jujur, seandainya ada kejadian buruk yang terjadi pada kita lagi," perempuan hamil membaringkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamar. Hal yang sama juga dilakukan sang lelaki.     

"Aku akan usahakan," ucapnya dengan nada rendah, "Kau lah yang lebih sering memendam," netra biru menerawang kosong.      

"Itu dulu, dan sekarang aku rasa —kau lebih banyak rahasia dibandingkan aku," kalimat Aruna membuat lawan bicaranya terdiam cukup lama, hingga akhirnya perempuan tersebut datang memeluk dadanya, "Apakah menggantikan tugas kakek sangat sulit?" ia bertanya sesuatu yang sudah lama ditahan.     

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Semakin kesini, perlahan-lahan aku bisa memahami posisi kakekku. Si pria tua yang keras kepala itu. Sekarang aku merasa beberapa hal yang ia lakukan tak seburuk dulu. Walaupun dulu, aku amat sangat membeci semua tindakannya yang sepihak," mendengarkan keluhan yang jarang diucapkan Mahendra, perempuan bernetra coklat kian mengeratkan dekapan.     

"Semua orang pasti pernah merasakan apa yang kau rasakan," kepala Mahendra menoleh mengamati keberadaan Aruna. Detik berikutnya, perempuan tersebut mendongakkan wajah. Menangkap netra biru sayu tengah mengamatinya.     

"Dulu, ketika aku belum hamil, aku selalu membayangkan kehamilan adalah agenda menghancurkan mimpi-mimpiku yang paling sempurna, sekarang yang terjadi padaku malah sebaliknya. Aku merasa puluhan kali lebih kuat dan lebih bahagia dengan adanya baby," ada kecupan hangat yang diberikan lelaki bermata biru pada kening Aruna, "Padahal, sebelumnya aku sangat sedih dan merasa aneh saat mendapati kak Alia meninggalkan karier dan menghancurkan hari wisuda strata duanya demi kelahiran baby Alan. Sekarang, aku bisa memahami itu. Dan aku menjadi bangga dengan pilihan kakakku," senyum manis tersaji, seolah memberi tahu suaminya bahwa mereka bisa memahami dan melewati setiap kejadian apabila mau berdamai dan ikhlas dengan keadaan tersebut.     

"Ketika suatu saat tanpa aku sadari —aku perlahan berubah, percayalah, semua yang aku lakukan karena aku mencintai kalian. Seperti yang terjadi pada kak Aliana atau dirimu, semua ini tentang berusaha yang terbaik," lelaki bermata biru memiringkan tubuhnya, mendekap perempuan mungil di dadanya. Tangannya memainkan rambut lembut yang telah memanjang.     

Beberapa detik berikutnya ia membuka pelukan dan memberi tatapan penuh, "Bagaimana kalau besok kita pergi kerumah ayah?" Aruna spontan tersenyum lebar sampai barisan gigi rapinya tertangkap, "Anggap ini permintaan maaf dariku, mau?," ada anggukan dari lawan bicaranya.      

"Tentu saja aku mau. Tak perlu di tanya lagi," netra coklat berpendar terang, menyalurkan kehangatan bagi Mahendra.     

***     

Gibran terus mengarahkan tatapannya kepada buku di pangkuannya. Dia belum siap memandang ke arah lain. Belum. Terlalu banyak perbedaan yang ditunjukkan gadis yang bergerak di ujung sana. Dayanya terlalu kuat. Isi kepalanya pergi kemana-mana dan berusaha ia singkirkan sejak dua jam terakhir.     

Gadis di atas ranjang tidurnya tak biasanya duduk santai dengan gaun yang kini membalut tubuh kurusnya. Dia menekan-nekan remote guna mengganti saluran televisi. Menggeliat beberapa kali hingga pakaian yang ia kenakan tersentak naik ke atas. Menjadikan dahi Gibran dipenuhi keringat. Akan tetapi, lelaki tersebut pura-pura tidak menyadari apapun kecuali gumpalan ketegangan yang membakar dadanya.     

Biasanya membaca membuatnya tenang, tapi kini ia menatap kumpulan kata yang sama sekali tak mampu dipahami otaknya. Bahkan, meski sebagian dirinya mengharapkan bangkit dan mengambil buku-buku lain yang berbaris di rak buku —yang tersaji di sisi tempat duduknya. Lelaki bersurai pekat tahu, itu tak akan mampu membuat perbedaan.     

"Kau bisa melepas bukumu sekarang. Apa kau tidak lelah?" gadis yang duduk di atas ranjang terlihat bangkit dan menuruni tempat tidur empuk tersebut. Berdiri di hadapan Gibran. Membuat lelaki tersebut bisa mengamati punggung kaki putih polos tanpa alas, "Aku mengikutimu sepanjang hari dan aku tahu sekeras apa kau berkerja," Syakilla menarik buku tebal di atas pangkuan.     

Tatkala netra hitam legam perlahan terangkat, ia sempat menyusuri kaki yang besarnya bisa jadi tak lebih dari lengan di bawah bahunya. Lututnya pun tak seberapa. Barulah di atas lutut tersebut, gaun berwarna gading melayang anggun membalut tubuh kurus yang kini beradu pandang dengan Gibran.     

"Apa kau bahkan tak punya rasa lelah?" suaranya kembali menyapa gendang telinga lelaki yang seharian ini berada dekat dengannya.     

Ya, gadis tersebut telah mengikuti Gibran sepanjang hari dan bahkan terkesan menggeser posisi sekretaris lelaki tersebut.      

"Ya, begitulah. Kadang aku kehilangan rasa kantuk," ujar Gibran beralasan.     

"Kau punya insomnia?" ia kembali bertanya. Bergerak menuju sudut ruangan.     

"Aku belum pernah berkonsultasi dengan dokter, aku tidak tahu," tiba-tiba saja lampu utama kamar tersebut padam. Dan perempuan bergaun gading kembali mendekat.     

"Aku minta maaf, kau tahu kan? Aku tak suka tidur dengan lampu menyala terang," Syakilla kembali meraih buku-buku yang tergeletak di meja. Dengan satu tangan, gadis tersebut mendekap dua buah buku yang sempat berperan sebagai bahan bacaan Gibran. Ia berjalan menuju rak di samping keberadaan mereka, dan mengembalikan benda tersebut hanya bermodal lampu tidur yang menempel pada dinding sisi kanan dan kiri kepala ranjang.     

"Kau akan tidur di sofa lagi?" selepas mendorong pintu kaca, menutup rak buku di hadapannya. Syakilla kembali menatap Gibran di antara warna temaram yang tersaji.     

Lelaki bersurai pekat bangkit dari duduknya, "Buat apa aku harus menyiksa diriku, kalau tidur di ranjang bersamamu lebih nyaman," ia berjalan mendahului Syakilla. Gerakan menepuk tempat tidur sekilas ditunjukkan, sebelum menyusup pada selimut maroon.     

Gadis tersebut juga menjalankan aktivitas yang sama. Di mana pada terakhir kesibukannya sebelum berbaring, Syakilla menambahkan guling di antara mereka.     

Gibran tahu, Syakilla berusaha mengambil tempat paling tepi yang masih bisa ia gunakan, "Mengapa tak kau matikan saja televisinya?".     

"Aku suka suara televisi," jawab Syakilla, berkilah.      

"Bukan kah cahayanya bisa mengganggumu?" ada kerutan samar di antara dua alis tebal.     

"Sejujurnya, iya. Tapi aku menyukai suaranya," kembali Syakilla mengurai pendapatnya untuk mempertahankan nyala televisi.     

"Aku tidak bisa tidur dengan suara televisi, kau tahu kan?" Gibran menolehkan wajahnya pada Syakilla dan mendapati gerakan mata mengerjap-ngerjap, tanda tak jenak yang disuguhkan gadis tersebut.      

Entah bagaimana, timbul perasaan senang di hati lelaki bersurai pekat. Bukan hanya dirinya yang resah dengan situasi ini, gadis di sampingnya pasti juga merasakan apa yang ia rasakan. Walaupun kadarnya tentu saja berbeda.     

Dengan lambat, gadis yang terlihat ringkih duduk kembali. Memungut remot di atas nakas, kemudian mengarahkan benda berwarna hitam tersebut ke arah televisi menyala.     

Hening dan gelap meliputi keduanya. Yang tersisa hanyalah warna kuning temaram yang dihantarkan dua buah lampu.     

Malam ini kenyataanya Gibran tak mampu memejamkan mata, berbeda dengan kemarin ketika diminta berpindah tempat saat sudah sempat tidur sebelumnya.     

Lelaki bersurai pekat kembali menolehkan kepalanya pada gadis yang terbaring tak jauh dari tubuhnya. Ia perlahan mendekat. Menatap dan mengamati dalam gelap, tatkala secara mengejutkan mata Syakilla terbuka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.