Ciuman Pertama Aruna

IV-31. Pertengkaran Dua Bocah



IV-31. Pertengkaran Dua Bocah

0"Siapa bilang? Itu kebiasaan Surya, bukan kebiasaanku. Aku mau mengelap bibirku sendiri. Lihat!" Mahendra dengan nada congkaknya yang khas.     

"Apa kau lupa? Aku punya kebiasaan itu karena hidup dibawah pengaruhmu selama bertahun-tahun?" Surya melempar tisu begitu saja di atas meja.     

"Jadi kau merasa hal-hal buruk yang menjadi kebiasaanmu, kau dapatkan dariku?" matanya memicing berbahaya.     

"Ya, semua orang tahu itu," Tangan Surya bergerak terangkat. Dan hal tersebut menjadikan suasana permusuhan kian kentara.     

"Hah! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu? Aku datang dengan baik-baik dan menjadikan kehidupan sekolahmu lebih mudah. Kau tak boleh melupakan sisi itu," kalimat balasan Mahendra mulai bernada kesal.     

"Ya, terkait charity aku menyadari kehidupan sekolahku jadi lebih mudah. Tapi, kehidupan sosialku kian buruk. Kau tak punya satupun teman dan memohon padaku. Jangan lupakan poin yang itu," balasan Surya menjadikan dua perempuan di meja makan saling menatap. Tercengang.     

"Siapa yang memohon? Kalimatmu perlu diralat," tuan muda yang selalu mendapat apa yang dia mau, kian tak mau kalah.      

"Kau bilang siapa yang memohon? Ayolah! Kau yang menawariku jadi teman dengan iming-iming Charity perusahaan kakekmu, ingat-ingat kembali kalimatmu di atas gedung sekolah kita," dan Surya yang biasa tampak lebih tenang ikut tersulut.     

"Hais' hari itu juga kalau aku mau, aku bisa mendepak mu dari sekolah. Kau lupa aku cucu siapa?" ada gelengan dari dua perempuan yang menyaksikan perdebatan ini. Tak habis pikir dengan suami mereka masing-masing.     

"Harusnya kau melakukannya detik itu," si mantan ketua kelas memasang wajah menantang.     

"Tapi aku pria baik. Wajahmu memelas, aku jadi tidak tega. Selain kaya, aku punya sisi kemanusiaan yang sempurna," inilah Mahendra, congkak adalah salah satu sifatnya.     

"Cih! Sisi kemanusiaan kau bilang? Perempuan yang dekat denganku selalu kau usir, karena takut aku tak punya banyak waktu untuk melayani tuan muda angkuh sepertimu. Kau bilang itu sisi kemanusiaan?" Dan mereka terus saja mempertengkarkan masa lalu seperti dua bocah memperebutkan kemenangan imajiner terkait 'siapa yang lebih baik dari 'siapa'?'.     

"Jadi salah satu dari kalian beneran pernah gay?" Dhea mempertanyakan kalimat terakhir yang membuatnya bingung.     

"Tidak!" dua pria serempak menjawab. Dhea tak pernah tahu PTSD yang di idap Mahendra.     

"Mana mungkin itu terjadi, dia-," Aruna memandang keberadaan Mahendra, "-sangat suka bercinta. Itu Mustahil," ada gerakan telapak tangan mengibas udara, diperlihatkan perempuan tersebut.     

"Biseksual?" Dhea yang masih pusing dengan pertengkaran tersebut, menjadikan neuron-neuron di kepalanya bergolak carut marut.     

"Tidak, Humaira," Surya meluruskan. Humaira panggilan sayang lelaki tersebut pada istrinya.     

"Aku juga tahu itu tidak mungkin, tapi kenapa kalian tiba-tiba bertengkar hebat??" Perempuan berhijab menangkupkan salah satu telapak tangannya pada dada yang berdetak kencang.     

"Hendra, minta maaflah. Kau yang lebih muda," ada suara lirih yang diujarkan Aruna.     

"Tapi-," dan netra coklat Aruna menggelap. Menatap tajam ke arah suaminya yang berencana menolak saran tersebut, "Aku minta maaf," kalimat ini diucapkan dengan nada lemah dan terburu-buru.     

"Huuh," nafas Surya mengudara, "Aku juga minta maaf, tak seharusnya masalah pekerjaan kita bawa ke meja makan," ujarnya terdengar pasrah sekaligus penuh penyesalah.     

"Untuk diskusi kita yang sebelum ini, aku menutupnya. Jadi, sebenarnya kita tak punya masalah pekerjaan," Mahendra kembali meraih sendoknya.     

"Kita sudah memulainya Hendra. Ketika sebuah proyek pembangunan telah dimulai, tiba-tiba tanpa angin —tanpa hujan dibiarkan terbengkalai, coba bayangkan citra macam apa yang akan kita terima?" Surya meraih gelas dan meneguknya.     

Dan sepertinya perdebatan akan berlanjut dengan topik yang berbeda, "Lebih baik dihentikan saat semuanya masih tahap permulaan daripada dilanjutkan dan ujung-ujungnya menjadi kendaraan politik-,"     

"Stop! Ucapanmu sampai di situ," Surya menunjuk ke arah Mahendra, dua pria ini kembali melenyapkan keberadaan perempuan di sekitar mereka. "Dengarkan sudut pandangku-,"     

"Kau yang mendengarkanku lebih dahulu-," potong Mahendra.      

"Sudah lah, sudah!" ini suara kekhawatiran Dhea.     

Sedangkan Aruna meraih garpu, lalu menancapkan daging pada benda tersebut kemudian memasukkan potongan dadu menuju mulut suaminya. Anehnya, malah mendapati balasan, "Terima kasih, sayang," Mahendra merasa diberi energi tambahan.     

"Hahh'," Aruna menepuk keningnya sendiri mendapati reaksi tak terduga dari Mahendra. Matanya mengembara, mencari potongan makanan yang ukurannya lebih besar.     

"Entah mereka akan menjadikan proyek ini kendaraan politik atau apa, itu bukan bagian dari urusan kita. Tolong dengarkan hasil meeting para direksi DM construction. Bisnis adalah bisnis. Realistis dalam dunia bisnis sebatas sebuah proyek menghasilkan benefit dan perusahaan kita menyelesaikannya tanpa kendala. Mereka sudah menjamin keselamatan pekerja kita, jadi kurang apa?" Surya membangun komunikasi dengan nada berapi-api.     

"Lalu kita dengan entengnya, lepas tangan terhadap kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi setelahnya? Dampak bagi masyarakat? Kau tak terketuk untuk memperhitungkannya? Ayolah, visi misi kita memulai Dream City bukan sesederhana itu kawan. Kita sedang membangun peradaban kota, indeks kebahagiaan," sama berapinya, Mahendra membalas pernyataan panjang yang di lempar surya.     

"Tapi berhenti di tengah jalan akan memberi dampak buruk pada saham DM construction," ada tangan yang meremas tisu.     

"Lebih baik saham turun sekarang!" final keputusan Mahendra.      

"Trust kolega kita di pembangunan dua kota yang lain bakal berimbas," Detik ini, dua perempuan kembali diam membeku, tak ada yang mau mengalah dari perdebatan di meja makan.     

"Aku yang akan turun tangan menyakinkan mereka," tuan muda Djoyodiningrat dengan keras kepalanya.      

"Kau amat sangat keras kepala Hendra! Kau pikir, kau bisa mengatasi segalanya? Bagaimana dengan pemberitaan media? Pinalti yang harus kita bayar ke mereka, aku yakin kau belum memikirkannya sejauh itu," Surya menatap Mahendra penuh kekecewaan.     

"Iya, kau benar!" Mahendra mengakui ketidak jeliannya kali ini, "Tapi, keputusanku tak akan berubah," lelaki tersebut meraih garpu yang akan dilayangkan istrinya kepadanya –garpu yang di ujungnya tertancap makanan berukuran besar-.     

"Lihat lah, sekarang kau tak ada bedanya dengan kakekmu," nada suara Surya menurun namun hal tersebut jelas mengusik hati lawan bicaranya.     

"Sudahlah, aku mohon," Dhea cenderung tak tahan mendengarkan kalimat-kalimat bernada kemarahan. Perempuan tersebut bukan lagi gelisah. Wajahnya mulai memerah.     

"Apa kau bilang?!" ia meletakkan garpu begitu saja membentur piring dan menimbulkan suara nyaring. Dhea menutup telinganya spontan, wajahnya dipenuhi ekspresi resah bercampur tegang.     

Ada amarah yang kembali tersulut, "Kau membuat istriku takut!".     

Mengabaikan Surya, Mahendra berujar dengan lugas, "Kau berlebih dengan mengatakan aku tak ubahnya kakekku!," Dia tidak sadar ada dua perempuan yang mengerut di sekitar mereka. Nadanya tajam dan jelas ini kemurkaan. Dulu keduanya sama-sama muak oleh cara kepemimpinan tetua Wiryo yang otoriter, dan detik ini tuan muda Djoyodiningrat merasa terhina di samakan dengan sosok otoriter yang cenderung kaku dan kuno tersebut.     

"Sudahlah, Hendra! Aku sudah lelah menghadapimu," Surya merengkuh pundak istrinya, "Tenang Humaira, tak apa," ada gerakan mengelus ringan lengan perempuan. Dhea tetaplah gadis yang sama sedari dulu paling tak sanggup menahan air mata.     

"Hah! Aku tak sama dengan kakekku, tarik kembali kata-katamu," Ia memalingkan wajahnya. Kesal luar biasa.     

"Tapi kau tak punya alasan mendasar yang bisa orang lain terima, itu cara kakekmu memimpin kita dulu," kenyataannya Surya sama saja. Dia kali ini tak mau kalah berdebat sebab argumennya sesungguhnya adalah bagian dari hasil meeting para direksi DM construction. Lelaki tersebut punya tanggung jawab untuk meneruskan hasil rapat tersebut. Membuka mata Mahendra atas keputusan yang amat sangat tidak masuk akal.     

"Sejujurnya, aku punya alasan yang mendasar, akan tetapi-" lelaki itu kembali menatap mata lawan bicaranya, "Ada beberapa hal yang kadang tak perlu diketahui," Nadanya terdengar serius.     

"Ah," Surya menderu seolah telah menemukan kata kunci, "Tepat, seperti yang sering kakekmu lakukan dulu, sama persis yang terjadi hari ini. Menutup beberapa informasi dan menekan orang lain supaya mengikuti kehendaknya," Ia melempar ucapan kebas.     

Kelopak mata Mahendra menelan netra biru cemerlang, menahan kejengkelan dan gagal, "Aku belum pernah menemui kolega bisnis seburuk mereka!!"      

"Buruk??" Surya mengerut tak paham.      

"Mereka menghina martabatku dengan mengirim wanita setengah telanjang di hadap-,"      

'Klontang!'     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.