Ciuman Pertama Aruna

IV-30. Bibir Kelu Dan Membeku



IV-30. Bibir Kelu Dan Membeku

0Matahari menghitam tertutup awan.     

Gibran, sang putra terbaik dan dicintai telah menunggu hari ini datang selama enam tahun semenjak dia menatap si gadis bertubuh kurus yang suka menunggunya di cafe sebelah gedung bertingkat milik keluarganya berdiri.     

Syakilla akan duduk di sana untuk memperbincangkan adiknya yang di paksa ayah Rio menempuh kuliah di luar negeri. Hal yang paling rumit dan tak ingin dia sampaikan pada gadis ini adalah kenyataan bahwa kepergian Gesang bukan lah sebuah tugas kuliah semata.     

Adik tiri Gibran diminta untuk pergi selamanya dan menghilang dari keluarga. Sudah cukup bagi ayah mereka menampungnya hingga dewasa. Gesang mendapatkan bonus kuliah ke luar negeri dan diizinkan melanjutkan hidup disana, sehingga aib keluarganya terkait kehancuran keluarga Diningrat akibat datangnya orang ketiga selalu tertutup rapat. Akan tetapi putra pertama Rio tersebut tak tega mengutarakannya. Menemani gadis itu makan seminggu sekali menjadikan rutinitas indah yang membuatnya bahagia.     

Dan di hari ini, di tahun keenam, bulan kedua ketika matahari bersinar terik, untuk pertama kalinya dia merasa resah. Syakilla datang di iringi gelombang badai yang menderu dan menghantam keberadaan kapal yang berusaha ia jalankan. Dia, dengan segala kekerasan hatinya menolak semua kenyataan dan memilih menghancurkan diri sendiri. Akan tetapi, tatkala kewarasan gadis tersebut datang, ada ekspresi duka yang terpancar dari wajah dan mata sayu itu.     

'Tapi kenapa dia berduka?' Lelaki dengan manik mata pekat menatap jalanan. Melihat lalu lalang orang yang berdesakan —berebut, oleh karena tuntutan waktu. Seketika gerbang hatinya terbuka dan matanya melayang-layang memandang gadis di sampingnya. Menggali sesuatu dari dalam keheningan jiwanya. Mengais-ngais memori dan perlahan susunan kalimat yang dia ingin dengar, 'Tidak, tidak mungkin hatiku tidak terluka jika aku memilih meninggalkan kehendak Syakilla. Berapa banyak hari yang aku rasakan dalam kesedihan di antara dinding-dinding penolakan yang di bangunnya? Berapa banyak kesendirian yang membuatku tersiksa, dan siapakah yang dapat pergi dari penawaran yang mungkin saja menguntungkan?'.     

Gibran menemukan sebuah keputusan. Dia akan mengabaikan segala jiwa manusiawinya yang sadar akan dimanfaatkan gadis di sampingnya. 'Siapakah Syakilla? Selain perempuan kurus berwajah manis dan keras kepala? Apa yang dia bisa lakukan?' tentu saja terlihat lemah dan tak berbahaya.     

Mungkin saja hati manusianya akan terluka, sebab ikatannya dengan Syakilla kedepan bukan tentang Matahari dan jiwa dunia yang dia baca pada sebuah buku petualangan seorang anak muda yang mempercayai mimpi-mimpinya.     

"Baiklah, akan aku turuti kehendakmu," Gibran bersuara selepas keheningan menghantam keduanya, "Beritahu aku, seperti apa pelayanan yang akan kau berikan? Mungkin itu akan membuatku-" Pupil lelaki tersebut melebar dan mulutnya berhenti berbicara ketika tubuh kurus tersebut mendekatinya. Memejamkan mata dan menarik kerah bajunya. Jantungnya berderu tak terkendali dan hampir-hampir meledak, tatkala bibir gadis tersebut membasahi bibirnya.     

Sayangnya, ketika Gibran siap menyambut dengan ikut serta dalam denyutan yang diciptakan sang perempuan. Syakilla melepaskan diri, memisahkan tautan tersebut dan memandanginya dengan tatapan menantang, "Itu permulaan," ungkapannya menggetarkan jiwa paling dalam seorang lelaki.     

Sepanjang perjalanan hingga kaki Gibran menyentuh lobi gedung perkantoran Tarantula Grup, bibirnya kelu dan membeku. Berbeda dengan detak jantungnya yang belum menunjukan tanda-tanda mau diam. Terlebih, ketika gadis yang baru saja memberi rasa basah nan lembut tersebut dengan sengaja menautkan tangan kanannya pada lengan kiri. Lelaki bersurai pekat tersebut tak punya alasan untuk menolak rasa berbangga di hatinya.     

Apapun alasan Syakilla melakukan ini semua, dia tak akan peduli. Dia akan fokus menikmati permainan ini. Seperti matanya yang jatuh pada mata gadis tersebut, lalu disambut senyuman hangat. Gibran tahu, putri Baskoro punya misi tersendiri dan hal tersebut bukanlah sesuatu yang berbahaya —pikirnya. Membalas senyum gadisnya, keduanya dengan sadar mencuri perhatian banyak pihak.     

.     

.     

"Apa mereka sering terlihat di kantor?" Dia yang menaruh perhatian bertanya pada gadis di sampingnya.      

"Setahuku tidak," perempuan dengan lekukan tubuh yang tersaji indah oleh gaun berwarna putih setinggi lutut menjawab pertanyaan bernada kesal.     

"Aku pernah dengar pernikahan yang akan mereka jalani sekedar rekayasa, bukan begitu?" alis tebal mengerut bersama bulu mata lentik yang mengerjap-ngerjap.     

"Iya, itu tak salah. Tapi, siapa yang bisa mengabaikan pesona lelaki bergelimang harta dengan sikapnya yang tenang dan misterius?" suara perempuan bernama Tiara mendesah tepat di dekat telinga Bianca. Sangat disengaja. Putri kedua Salim memang paling jago mengganggu si bungsu Adam, "Ken, berwujud manusia. Gibran memang paling cocok," lalu tawa tertahan mengudara, membuat gadis penggemar fanatik boneka Barbie meluncurkan tatapan menghunus pada perempuan yang bajunya konsisten terlihat sesak di pandang.     

"Setidaknya, aku pengagum Ken yang dingin dan misterius, daripada menjadi pengagum berandal," Bianca melipat tangannya. Mengerlingkan mata memberi tanda, "Lihatlah, berandal mu sudah datang," seorang lelaki dengan wajah suram terlihat di ujung lobi. Serta merta raut muka Tiara memucat.     

***     

"Sepertinya kau 'salah', —bertanya padaku," kalimat pertama yang meluncur dari mulut perempuan tersebut, "Umur pernikahanku lebih muda darimu, aku bisa saja menjawabnya. Tapi, aku takut salah," lalu matanya berputar sekilas, "Yang aku tahu, apapun alasannya kita tidak diperkenankan menolak permintaan suami kita, kecuali dengan alasan yang jelas sehingga dapat diterima dengan baik oleh mereka," dia mengamati wajah sahabatnya yang detik ini menaruh perhatian penuh, "Ah' entahlah, aku tak bisa memberimu jawaban. Bertanyalah pada seseorang yang lebih lama berumah tangga, jangan aku," kalimat ragu kembali diutarakan Dea.     

***     

Dia lantai berbeda, seorang lelaki telah usai dengan kesibukannya. Memasuki hunian dan tidak mendapati apapun. Segera membuat panggilan dan buru-buru menuju tempat yang disebutkan ajudannya.     

Mahendra mendapati Herry yang lekas memberinya bantuan. Mengetuk pintu ruang eksklusif yang dihuni nona dan temannya.     

Pintu belum sempat terbuka ketika suara langkah kaki hadir di antara keduanya. Surya dan Mahendra berdiri terpaku. Saling menatap canggung dalam keheningan. Keduanya sempat mengalihkan pandangan tatkala tanpa sengaja bertemu mata.     

Saat dimana pintu terbuka dan dua orang perempuan duduk berhadap-hadapan melempar senyum pada masing-masing pasangan, kedua pria tersebut berjalan dengan ketenangan yang ganjil.     

"Ayo kita pulang," suara Surya pada Dhea.     

"Apa makannya sudah selesai, sayang?" pertanyaan Mahendra pada istrinya.     

Aruna menggeleng, "Kami belum sempat memesan apapun kecuali minum. Bagaimana kalau kita makan malam bersama?" dia memasang senyum permohonan.      

"Ide bagus Aruna, biar aku minta pelayan datang," Dhea bangkit mendekati telepon yang menggantung di dinding. Dua pasang mata lelaki saling memandang enggan.     

Aruna menarik ujung lengan baju Mahendra penuh harap, sehingga lelaki tersebut tak kuasa selain meraih kursi dan duduk di dekat istrinya. Demikian juga dengan Surya yang mengamati kembalinya Dhea pada kursinya dan mengiringi perempuan berhijab tersebut kembali duduk.     

Saat piring-piring saji mulai menyentuh meja berbentuk lingkaran di hadapan keempatnya, dua di antara mereka belum bicara sepatah kata pun. Padahal, kedua perempuan di samping masing-masing lelaki tersebut berisik sekali. Melempar pertanyaan-pertanyaan random dan menjawabnya dengan gelak tawa, tak menyadari suami mereka tengah canggung satu sama lain.     

"Aruna, maaf, aku belum sempat memberikanmu kado selamat atas kehamilanmu," suara Dhea dengan ekspresi penyesalan yang dibuat menggemaskan.     

"Kau bicara apa sih! Malam ini kadonya," Aruna menatap Dhea dengan tatapan kesal khas sahabat.     

"Selesaikan makannya dulu, baru bicara," barulah suara Surya terdengar. Meraih tisu dan tanpa sengaja gerakan itu senada dengan tindakan Mahendra.     

Entah apa yang terjadi, dua perempuan ini tertawa geli secara serentak. Mengakibatkan wajah kedua pria memandangi perempuannya dengan tatapan bingung.     

"Bapak Surya, jika anda sedang berniat merapikan cara makan saya. Tolong hentikan," Dhea mendorong tangan kanan Surya yang tengah memegang tisu supaya lekas kembali tergeletak di atas meja.     

Dan Aruna menatap Mahendra, "Jangan sampai hal yang sama juga ada di benak anda, tuan," perempuan hamil tersebut mengumbar sarkas.     

"Siapa bilang? Itu kebiasaan Surya, bukan kebiasaanku. Aku mau mengelap bibirku sendiri. Lihat!" Mahendra dengan nada congkaknya yang khas.     

"Apa kau lupa? Aku punya kebiasaan itu karena hidup dibawah pengaruhmu selama bertahun-tahun?" Surya melempar tisu begitu saja di atas meja.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.