Ciuman Pertama Aruna

IV-29. Kejanggalan Tersembunyi (Menikah +)



IV-29. Kejanggalan Tersembunyi (Menikah +)

0"Kita akan tidur di kamarmu," Lelaki yang mabuk oleh hasratnya merenggangkan himpitan selepas mendengar kan rayuan isterinya. Meluruskan tubuhnya, dan tersenyum santai pada seseorang yang tanpa sengaja melihat kegilaannya.     

Isyarat yang dihantarkan istrinya akan gambaran ranjang, membuat lelaki tersebut bergetar hebat. Menjerat pergelangan dan menarik perempuan yang tersengal-sengal pada langkahnya, "Jalan biasa saja kena— 'ah," Mahendra sudah membopong tubuh mungil tersebut dengan senyum lebar seraya menggigit bibir bawahnya sendiri. Memencet kode pintu dengan gerakan lihai.     

Bahkan tatkala pintu terbuka, Aruna belum diizinkan turun dari dekapan. Lelaki tersebut benar-benar menuju kamar seperti imajinasinya dan wajah tak bersemangat dari perempuan dalam dekapannya sangat kentara, akan tetapi Mahendra tak peduli. Membaringkan istrinya di ranjang, lalu membantunya melepas sepatu dengan suka cita.     

Tatkala Aruna bangkit hendak duduk, tangan besar itu mendorong tubuh mungil di hadapannya supaya kembali berbaring. Sebuah gerakan lincah ditunjukkan lelaki bermata biru ketika melucuti bajunya dan tentu saja kain yang membungkus perempuan yang kini berada di bawah tubuhnya.     

Gerakan menggigit bibir dengan netra biru sayu memandang wajah perempuan di hadapannya, tertangkap mata. Bibir mungil yang tampak ranum tak luput dari pengamatannya.     

Seperti tengah diburu oleh waktu, tangannya bergerak lincah menjelajah, melepas benda-benda yang menjadi penghalang caranya memenuhi naluri. Sayangnya, Mahendra melupakan sesuatu, atau Aruna yang kesulitan memahami suaminya —sehingga perempuan yang detik ini di jelajahi jengkal demi jengkal merasakan ganjalan pada sudut hati tersembunyi. Ada rasa kurang nyaman yang enggan di ungkapkan.      

Kian tak nyaman tatkala tubuh besar dengan bulu-bulu halus di dada datang menindihnya, sekejap kemudian melancarkan penyerangan. Memberinya getaran dahsyat. Terlalu kuat, mungkin orang lain akan mendefinisikannya hebat, akan tetapi benak Aruna tak merasakan hal tersebut.      

Tangan mungilnya perlu mengcekeram bahu kekar suaminya, supaya lelaki tersebut menyadari —dia perlu menurunkan tekanan badai yang diciptakan. Nafasnya tersengal-sengal dan beberapa kali Aruna harus memberi peringatan. Dadanya berdesir hebat tatkala Mahendra merenggut kenikmatannya sendiri. Jatuh berguling di samping tubuh mungil. Mencium pipi dengan semburat merah —berulang-ulang. Dan mengucapkan kalimat terima kasih sebanyak-banyaknya.     

Bibir Mahendra masih menempel di seluruh permukaan pipi yang tak seberapa lebar dengan nafas naik turun, dan kian mengeratkan dekapan pada tubuh istrinya. Terdiam beberapa saat, kecuali nafas yang berisik di seputar telinga Aruna. Sampai kalimat yang memberatkan hati perempuan datang, "Kau sangat nikmat. Aku tahu, kau paling nikmat dibanding apa pun dan siapa pun," ada senyum yang mengudara walaupun mata Mahendra masih setengah terpejam bersama nafas yang terengah, "Sayang," dia konsisten memeluk dan meraba, "Aku mau sekali lagi," suaranya parau, membuat desiran itu datang lagi.     

Lelaki tersebut tak memberi kesempatan berbicara. Bibirnya kembali membungkam perkataan. Sekali lagi, menarik selimut kian dalam dan tubuh mengkilap dengan dengan otot-otot yang mengembang tersebut menjalankan perilaku mendominasi.     

Mahendra mencengkeram kuat pergelangan tangan mungil tak berdaya istrinya. Netra biru itu kembali meredup, membiarkan segala yang ada di dunia menghitam berganti imajinasi yang dia ciptakan bersama rasa yang dia rengkuh sendiri sebanyak-banyaknya. Serakus-rakusnya.     

Ketika tautan bibir mereka terlepas, Aruna berusaha mengutarakan isi hatinya "Berhentilah sejenak, aku kurang nyaman," lelaki di atasnya menggelengkan kepala. Memasang wajah penuh permohonan. Bergerak kian bersemangat, membuat perempuan yang dibawahnya memejamkan mata sedalam-dalamnya. Rasa berkunang-kunang hadir di kepala Aruna.      

Dia merasa Mahendra kali ini melakukannya tanpa cinta. Dia sekedar menyalurkan nalurinya. Itu pikiran terburuk dari yang paling buruk —yang tak ingin Aruna akui. Setiap perempuan butuh merasa dicintai, bukan sekedar menjadi bagian dari adegan hebat semata.     

Aruna menyadari tubuhnya terangkat, dibiarkan menangkupi pinggang Mahendra dan dibawa pergi menjauhi ranjang. Perempuan tersebut merasa tidak punya tenaga lagi untuk melihat kenyataan tatkala suaminya mendudukkan dirinya pada meja marmer yang bersisihan dengan wastafel, lalu pada akhirnya melepaskan tautan.     

Nafas lelah tersebut mengudara berganti dengan rasa lega. Mahendra memberinya gelas berisi air dingin. Menyibak rambut, mengamati dengan rasa bangga sekian detik. Dan saat Aruna mulai menengadahkan kepalanya, meneguk zat cair yang bergulir di tenggorokan —dia kembali tersentak.     

Bibir lelakinya sudah sampai pada sesuatu dibawah sana. Memberi hadiah tempat itu dengan kegilaannya. Dan sang perempuan perlahan-lahan menemukan kenyamanan, walaupun hatinya tetap merasakan kejanggalan.     

Mahendra menurunkan Aruna dari tempat tersebut selepas perempuan bernetra coklat mendapatkan hadiahnya. Mahendra membalik tubuh mungil yang sudah lemas, sehingga keduanya tertangkap pada cermin yang membentang.     

"Peganglah meja ini kuat-kuat," lelaki dengan mata biru secemerlang tetesan embun di tepian gelas kaca tersebut mengelus rambut istrinya. Tangannya yang kiri turut mencengkeram batu pualam, sedangkan tangan kanannya melindungi perut istrinya. Dia datang dan menghentak. Hentakan itu kian kuat ketika Mahendra telah sampai pada limit terdekat dengan ujung ledakan naluri biologisnya.     

"Aku tak sanggup, andai kedepan kau meminta seperti ini lagi," Aruna dengan kakinya yang masih bergetar telah sampai pada titik dimana dia merasa akan roboh kalau saja Mahendra tidak mendekapnya.     

"Iya, aku tahu. Setelah ini kau memasuki trimester terakhir kehamilanmu, aku akan berusaha menahan diriku sebaik mungkin," lelaki bermata biru mendekap kuat. Membawa istrinya kembali ke ranjang dan membiarkan perempuan tersebut melepas lelahnya dengan terbaring, berlama-lama tenggelam di dalam selimut tebal.     

.     

.     

Netra coklat itu mendapati kesadarannya dan seketika itu pula Aruna tahu, suaminya sudah tak berada di hunian mereka. Keberadaan lelaki tersebut digantikan dengan kehadiran Herry. Ajudan yang lekas bangkit dari duduk santainya selepas melihat nonanya menuruni tangga.     

Tubuh mungil yang tampak segar selepas mandi, serta berbincang barang sebentar dengan sahabat yang ia rindukan –melalui telepon, sedikit mengurangi rasa tak jenak tatkala mendapati suaminya sudah kembali sibuk.     

Sahabatnya berkata, dia dan teman-teman kuliahnya telah usai menjalankan magang. Tak ada lagi jadwal di kantor pusat DM group atau kantor-kantor anak perusahaan milik keluarga Djoyodiningrat, walaupun demikian, Dhea akan tetap menemuinya. Suaranya bersemangat mengetahui Aruna bisa ia temui di hotel yang juga tempat suaminya bekerja sampai lupa waktu.     

Menit berganti jam, dan malam menyapa tatkala dua perempuan bertemu dalam temaram lampu restoran. Aruna memesan satu ruangan eksklusif dan meminta Herry menunggu di luar. Ketika pintu telah tertutup rapat, wajah perempuan tersebut mulai memunculkan ekspresi duka.     

"Ada apa denganmu?" Dhea memicingkan mata. Bangkit dari duduknya dan memilih tempat yang lebih dekat.     

"Apakah, em?" kali ini yang terjadi pada Aruna sedikit berbeda, bukan curhatan anak remaja sebab Dhea juga telah menikah. Perempuan bermata coklat yang menatap sahabatnya tersebut, menggali keyakinan.     

"Sesungguhnya," lagi-lagi dia ragu. Budaya orang melayu membangun dinding kuat tentang banyak hal. Ini akan menjadi tabu, saat seorang perempuan mengisahkan keresahan berumah tangga. Perempuan hamil tersebut sedang berada di ambang-ambang kebimbangan. Emosinya tak stabil, berdasarkan hormon yang beriringan dengan kehamilan. Ketidakstabilan ini membuatnya gelisah tiap saat.     

"Lily sampai sini jam berapa?" Aruna tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.     

Ada ekspresi kecewa bercampur sedih tatkala Dhea menjawab, "Dia suka sekali lembur, dia tidak janji,".     

"Oke, baguslah," gumam Aruna merasa lega. Memiliki kesempatan menimbang-nimbang kemungkinan, terkait dirinya yang akan menumpahkan seluruh kemelut di hati, "Apa kau pernah merasakan," dia terdiam lama, membuat lawan bicaranya semakin gelisah.     

Selepas segelas air diteguk habis. Perempuan hamil tersebut mendekati telinga sahabatnya, dan pertanyaan rahasia berhembus di dinding telinga Dhea.     

"Sepertinya kau 'salah', —bertanya padaku," kalimat pertama yang meluncur dari mulut perempuan tersebut, "Umur pernikahanku lebih muda darimu, aku bisa saja menjawabnya. Tapi aku takut salah," lalu matanya berputar sekilas, "Yang aku tahu, apapun alasannya kita tak diperkenankan menolak … …     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.