Ciuman Pertama Aruna

IV-28. Matahari Menghitam Tertutup Awan



IV-28. Matahari Menghitam Tertutup Awan

0Dia yang sedang menikmati hujan air hangat, tengah merajut komunikasi panjang dengan dirinya sendiri. Menemukan sebuah keyakinan yang belum pernah ia dapati sebelumnya. Keyakinan bahwa kehidupannya tak akan bisa jauh dari gadis yang beberapa menit lalu menatapnya melalui pantulan maya pada bentangan kaca.     

Mata itu menatapnya dengan cara berbeda pagi ini.     

Hatinya berceloteh dan dia menemukan rasa riang yang aneh. Tapi lelaki tersebut sangat suka dengan rasa ini. Memendam sesuatu dan meyakini bahwa hidupnya telah cukup punya alasan untuk terus dijalankan membuatnya bahagia.     

'Mungkin ini seperti bahasa cinta Matahari ke bumi' lelaki bersurai pekat keluar dari ruang shower dengan dentuman hati dan rajutan-rajutan ungkapan jiwa yang unik. Netra hitam legamnya mendapati gadis kurus sudah berganti baju, duduk di depan cermin menghias dirinya dengan satu tangan. Spontan, langkah kakinya tak mampu menambah jangkah. Mengamati dan berdebar.     

'Ya, ini bahasa cinta Matahari ke bumi' seperti yang pernah dia baca pada sebuah buku beberapa tahun lalu. Kakinya melangkah lambat dengan jangkah pendek-pendek supaya anak matanya bisa menatap keasyikan gadis yang tak bersolek selama sebulan penuh —yang kini akan menutup kantung mata hitam yang menjadikannya mirip panda, atau bekas ungu di tepi wajahnya yang ia biarkan.     

Sesampainya di depan almari, lelaki tersebut kehilangan kemampuan memilih baju kerjanya. Dia mengamati semua susunan hem dan mengerutkan dahinya. _Tidak ada yang spesial di lemariku?_     

Ketika hatinya menjadi murung, dia menoleh ke samping berharap menemukan sesuatu dari deretan baju yang tersusun rapi di hadapannya. Dan benar, netra hitam legam itu mendapati sesuatu, akan tetapi bukan pakaian. Sinar sang surya masuk melalui celah kaca. Buru-buru lelaki tersebut mendekat dan dengan sigap membuka jendela, menikmati cahaya matahari pagi yang sempurna.     

"Apakah begini yang dirasakan pria kasmaran?" kalimat lirih yang dia pertanyakan pada cahaya sang surya membuatnya malu sendiri.     

Detik berikutnya dia tinggalkan jendela itu. Akan tetapi, lelaki tersebut menjadi kian ingat potongan kalimat Matahari pada anak muda yang berhasrat berubah menjadi angin, 'Matahari berkata: dari tempatku bertahta, aku bisa melihat jiwa dunia. Jiwa dunia berkomunikasi dengan jiwaku. Bersama-sama, kami menumbuhkan tanaman-tanaman, membuat hewan-hewan berlindung di keteduhan. Dari tempatku bertahta jauh di atas bumi, aku belajar mencintai. Aku tahu, kalau aku sedikit saja mendekat pada bumi, semua yang disana akan mati dan jiwa dunia tak akan ada lagi. Maka, kami saling memandang, saling mendambakan, aku memberi kehidupan dan kehangatan pada bumi dan bumi memberi alasan untuk hidup'.     

Dan pada gerakan tangannya ketika mengaitkan kancing-kancing baju, Gibran menyadari mengapa semua tentang kekacauan ini terjadi. Sebab, dia ingin jadi matahari yang sesungguhnya mencari alasan hidup.     

Dia iri pada adik tirinya yang selalu menatap dengan mata penuh keyakinan, berdiri tegak dengan hati teguh. Walaupun bertubi-tubi ayah mereka melakukan hal buruk pada Gesang dan pada dirinya sendiri. Walaupun wujudnya berbeda -Gesang tidak di pedulikan, sedangkan Gibran dituntun harus jadi nomor satu setiap saat dalam segala hal-.     

Namun, Gesang melewatinya dengan percaya diri. Dia masih bisa melucu, bertingkah sesuka hati, bahkan melakukan kenakalan-kenakalan fatal dengan mata membulat penuh keyakinan.     

Mata adalah cerminan diri seseorang paling kental, dan Gibran mendapati sorot netra menyala dan siap menantang hidup dari adiknya. Sedangkan, dirinya sendiri kosong.     

Lelaki tersebut tahu mengapa dirinya demikian, sebab ia tak punya bumi untuk dijadikan alasan hidup. Kini, saatnya dia berburu untuk mencarinya. Berpetualang sendiri diam-diam. Sayangnya, petualangan itu menjadikannya pencuri ulung. Dengan alasan iba, dia mulai melihat jiwa dunia yang menjadikannya terusik untuk memberi kehangatan yang kemudian dari kelimpahan yang dia miliki, Gibran menginginkan sesuatu yang lebih.     

Sampailah di hari ini, kala dirinya meyakini dia telah siap kapanpun ketika bumi juga siap bersama-sama dengannya menumbuhkan tumbuh-tumbuhan. Dia akan mendamba dengan menjaga keseimbangan dan melihat bumi konsisten bertautan dengannya. Mengitari kehidupannya.     

Tanpa sadar, lelaki tersebut berjalan membawa debarannya menjauhi pintu-pintu almari pakaian sembari mengaitkan sisa kancing bajunya. Dia berdiri di hadapan gadis yang sedang mencari-cari sesuatu di laci-laci kamar tersebut.     

"Ayo kita menikah," urjarnya mantap tanpa keraguan.     

Syakila yang sedang menekuk kakinya —mengais sesuatu di laci nakas, menghentikan kegiatannya. Menoleh dan menatap lelaki yang berdiri di belakangnya dengan senyum jenaka, "Kita memang akan menikah, bukan?" kalimat Gibran terdengar amat sangat aneh di benak gadis tersebut, "Apa kau tahu, dimana tas selempang ku?" ternyata ia mencari satu-satunya benda yang ikut bersamanya dalam penjara kamar ini –selain baju yang menempel pada tubuhnya kala itu-.     

"Aku ingin menikah bukan karena masalah keluarga, aku ingin menikah karena.." kalimat ini menggantung, ada kata 'duniaku' yang disimpan dalam kesunyian yang paling hening.     

"Menikah dengan alasan apapun, ujung-ujungnya tetap disebut menikah, jadi tak perlu memperdebatkan alasan," kaki gadis itu diangkat dan wajahnya yang tirus dengan matanya yang memancar gamang. Gibran terbangun dari dunia fiksi yang sempat dia masuki sejenak.     

Kegamangan itu menjadikannya tak berucap lagi. Gibran keluar dari kamar dan di ikuti Syakila di belakangnya. Dia bahkan tidak bertanya mengapa gadis ini mengikutinya dengan berani pagi ini.     

Lelaki tersebut juga tidak bertanya ketika putri Baskoro makan dengan lahap di meja makan keluarganya, bahkan tatkala gadis itu tiba-tiba sudah duduk di dalam mobilnya saat Gibran hendak berangkat ke kantor.     

Sampai di suatu perlintasan jalan yang padat, serta suasana warna lampu merah yang menjadi sumber masalah terjadinya antrian panjang moda transportasi darat ini merayap, Syakila mengujarkan permintaan ganjil, "Kapan kita fitting baju?".     

Dia benar-benar memikirkan pernikahan rupaya, pikir Gibran.     

"Aku mau pernikahan kita semewah pernikahan-" kalimat Syakila berhenti. Matanya melirik ke sebuah arah, menandakan gadis ini mengais-ngais isi kepalanya, "Pernikahan kak Aruna," lanjutnya, setelah terlintas wajah seseorang yang kiranya menjadi inspirasi dirinya.      

"Siapa Aruna?" Gibran merasa pernah mendengar nama tersebut akan tetapi dia tak ingat apa-apa.     

"Coba cari di laman media, pernikahan Blue Oceans. Aku mau yang seperti itu," lelaki di samping Syakila sempat mengerutkan alisnya, tapi jari-jari Gibran tetap mengalir menuruti permintaan gadis tersebut.     

Netra hitam legam tersebut sontak melebar, selebar-lebarnya. Ini pernikahan keluarga Djoyodiningrat yang sangat eksklusif dan tertutup untuk umum dengan penjagaan berlapis-lapis.     

Gibran ingat betul para tetua atau paman-paman dalam naungan Tarantula membicarakannya sepanjang hari bahkan berniat mengacaukannya. Termasuk dia yang mendapatkan banyak informasi terkait pernikahan ini dari adiknya yang diam-diam menyusup ke dalam keluarga itu, supaya kepulangannya ke negara ini tidak diketahui oleh Rio, ayahnya.     

"Bedanya, aku mau pernikahan kita terbuka dan dilihat banyak orang, termasuk mengundang seluruh keluarga Baskoro. Aku mau seluruh sanak saudaranya hadir dan melihat kemegahan itu," lalu gadis itu mendekat, menarik lengan baju dan meminta tatapan, "Dan aku akan melayanimu dengan baik,".     

Matahari itu menghitam tertutup awan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.