Ciuman Pertama Aruna

IV-27. Please, Satu Kecupan



IV-27. Please, Satu Kecupan

0"Jangan munafik" Dia memasang senyum manis, "Semua orang tahu, perempuan mungil dengan perut membesar itu tak akan bisa memenuhi kebutuhan anda," Nadanya terdengar mencemooh, "Anda bisa memegang kulit saya dan menjadikan saya teman anda sepanjang hari. Saya yang akan bekerja keras, anda tinggal menikmatinya," mata berbulu lentik itu mengerling.     

Mahendra tertawa kecil. Kakinya melangkah satu langkah, semakin dekat dengan si gaun merah di hadapannya dan benar-benar menyentuh kulitnya. Tangannya bergerak menjamah pipi perempuan yang detik ini menatapnya dengan berani dan penuh hasrat bersama bibir merah yang terbuka —sekian mili, seperti memberi tahu bahwa bibirnya siap mendapatkan sambutan. Akan tetapi, netra biru tersebut tak meneduh sayu seperti kebanyakan lelaki yang ia temui.     

Perempuan tersebut hampir menyatukan alisnya tatkala tangan yang menyentuh pipinya dengan manik yang cemerlang menyala-nyala, kini berpindah memegang dagunya lalu perlahan menegang memamerkan cengkeraman pada rahang.     

"Apa kau sudah mempelajari siapa diriku, sebelum datang ke hadapanku," lelaki bermata biru menegakkan kepalanya dengan pandangan jatuh ke bawah. Sedangkan perempuan itu mendongak dengan ekspresi kesusahan. Berupaya mengangguk.     

"Bagus," kata Mahendra, memasang senyum di bibirnya, "Aku tahu, kau penyedia jasa yang profesional," tangan yang mencengkram erat dagu bergerak memiringkan ke kanan dan ke kiri, seperti sedang mengukur tingkat kecantikan atau membuat ancaman. Dua hal tersebut berpadu menjadi satu di kepala si perempuan, "Jadi kau pasti pernah dengar, aku dituntut si mungil itu?".     

Perempuan tersebut memutar anak matanya, mencari jawaban terkait pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sekian detik, dia buru-buru mengangguk. Dia, si gaun merah tahu, lelaki di hadapannya bernama Mahendra dan pernah hampir bercerai. Sebuah sidang perceraian yang mencuat selepas ditutup rapat-rapat dan berita tersebut bertengger di berbagai laman berhari-hari.     

"Oh' aku senang kau tahu," sahut Mahendra. Detik berikutnya ia menyajikan senyum aneh dengan gigi rapi yang terlihat, lalu cengkeraman itu kian terangkat, "Artinya kau tahu, tuntutan yang menjadi perdebatan adalah tentang penganiayaan, bukan?" lelaki bermata biru diam beberapa saat, memastikan perempuan di tangan kanannya menelan informasi yang dia ucapkan, "Sayang sekali, aku lolos dan tak harus membebaskan istriku. Kau tahu karena apa? Karena aku punya banyak uang untuk membungkam mulut mereka. Akan tetapi, penganiayaan itu nyata adanya. Aku pernah mencekiknya sampai hampir mati. Mengurungnya seharian tanpa memberinya makan, atau melukai punggungnya dengan benda-benda tajam. Aku suka bercinta dengan cara itu," ia melepaskan cengkeramannya. Mundur satu langkah, kemudian membuat pengamatan menyeluruh.     

"Kira-kira, bagian mana dulu yang perlu aku lukis dengan benda tajam?" dia yang berbicara melipat tangannya, "Cobalah berbalik!" perintah Mahendra, dan perempuan tersebut membeku tak berkutik. Wajahnya pucat pasi menatap lelaki di hadapannya dengan tatapan kengerian.     

Mengabaikan ekspresi wanita tersebut, Mahendra kembali berujar, "Aku suka punggung," ia menyajikan senyum aneh di akhir kalimat, "Boleh aku mengukir namaku di punggung yang indah itu?" ada mata bulat mengerjap. Membuang tatapan, mengembara mencari sesuatu, dan lelaki bermata biru menyadari perempuan di hadapannya diam-diam mencari mantelnya.     

"Istriku punya banyak luka di punggungnya. Dia tak berani mengenakan pakaian terbuka sepertimu, mungkin dia—" Mahendra belum selesai berbicara ketika perempuan itu turun dari meja lalu meraih mantel bulu dan buru-buru mengenakannya.     

"Saya minta maaf. Saya akan menemui anda lain waktu," dan Mahendra tertawa terbahak-bahak. Tawa yang aneh dan terkesan sinting. Membuat perempuan tersebut lekas berlari menuju pintu lalu menutupnya dengan gerakan cepat sampai suara benturan memenuhi ruangan.     

Selepas kepergian perempuan tersebut, Mahendra menghembuskan nafas lelah. Mengumpat lirih. Meraih berkas tak jauh dari jangkauan. Dia mencengkeram benda tersebut sambil berjalan keluar ruangan. Menyusuri lorong lalu membuka beberapa pintu dan berakhir di depan meja Surya, "Andai kau bukan teman baik ku, sudah aku lempar berkas ini ke wajahmu,".     

Ada mata menutup sejenak selepas mendengarkan kata-kata berintonasi tajam dengan ungkapan yang sedikit menyakitkan, "Mari kita bicara," Surya berdiri.     

"Aku tidak punya waktu," jawab Mahendra sembari membanting berkas di atas meja. Melempar tatapan penuh ke arah Surya.     

"Oke," Surya menggenggam jari-jarinya sendiri, "Kau kecewa dengan kinerjaku?" berhati-hati ia berkata.     

Mahendra hanya terdiam. Memasang tubuh kaku mengamati sahabatnya. Tanpa berkata dia membalik tubuhnya, menuju pintu.     

"Kalau kau pergi begitu saja, kita akan berakhir dengan buruk. Mari bicara baik-baik," tawar Surya, mencoba meredam kemungkinan terburuk.     

"Kalau aku memaksakan diriku berkomunikasi denganmu," Mahendra berujar sembari memegang gagang pintu, memunggungi Surya, "Hal buruk lebih mudah terjadi," lalu melangkah pergi. Menyisakan sahabat sekaligus rekan kerja yang menyadari sesuatu terkait lelaki bermata biru sedang dalam suasana hati yang lebih buruk dari yang terburuk, tatkala Hendra berada pada tahap berupaya menghindari orang lain —pastinya dia punya masalah pengendalian diri.     

.     

.     

Anehnya, sesampainya di pintu resto selepas meninggalkan lift lalu berjalan cepat mendatangi istrinya. Wajahnya yang suram berubah total menjadi cerah. Menyapa ramah dan sempat memberi kecupan hangat di ubun-ubun Aruna, sebelum duduk di hadapan perempuan yang telah menyisakan separuh makanan di atas piringnya.     

"Aku sudah memesan untukmu," perempuan itu menatap Mahendra sekilas, lalu menancapkan garpu pada steak daging di atas piring sajinya.     

"Steak?" pertanyaan ini sejujurnya sebuah basa-basi. Lelaki itu punya minat lain.     

Aruna mengangguk, mengiyakan. Netra coklatnya berpendar hangat dan bibir mungilnya mengunyah dengan lamat-lamat.     

"Aku akan menyelesaikan makan ku dengan cepat," benar saja, Mahendra memotong-motong secara bringas daging di hadapannya. Gerakannya cepat sembari mengunyah potongan-potongan dadu yang kali ini tak presisi, seperti orang sedang diburu sesuatu. Lelaki tersebut bahkan menyelesaikan makannya sebelum Aruna memasukan suapan terakhirnya.      

Disaat perempuan bernetra coklat berhasil membersihkan piringnya, lalu menyambar gelas dan meneguknya. Mahendra menatapnya seperti sebuah boneka yang tak butuh berkedip. Mungkin kelopak matanya tengah rusak atau ada tombol pause, sehingga pergerakannya terhenti?. Entahlah. Hal tersebut membuat Aruna mengerut tak suka melihat netra biru cemerlang itu, memperhatikannya dengan lamat-lamat.     

Perempuan tersebut sontak terkejut tatkala gelas di tangannya baru sekian inci menyentuh permukaan datar di hadapannya -tanda perempuan tersebut menyelesaikan makan siangnya-, tangan Mahendra menyambar dengan gerakan kilat. Menggenggam telapak mungil istrinya hingga wadah minuman berbahan kaca yang sudah kosong tersebut, tergeletak dengan posisi terjatuh di atas meja. Untung saja tidak menggelinding dan pecah di lantai.     

Mahendra berjalan menarik pergelangan tangan dengan langkah buru-buru menuju lift. Memasukkan istrinya ke dalam angkutan transportasi vertikal khusus yang hanya dipakai orang-orang tertentu. Seperti setengah melempar, lelaki tersebut membuat perempuan mungil menempel di dinding kaca.     

Akhirnya, Aruna tahu apa yang diinginkan lelaki di hadapannya.     

"Malam ini, bagaimana kalau kita menginap di rumah kedua ku?" Mahendra menawarkan sesuatu yang sudah diduga Aruna. Rumah kedua adalah hunian pada lantai tertinggi di gedung pencakar langit ini.     

"Kau akan membuat kita berdua menarik perhatian penjaga CCTV," ujar Aruna yang merasa sesak ketika lelaki di hadapannya menjadikan dirinya terperangkap oleh dua hal sekaligus. Kaca pada dinding lift dan tentu saja tubuh tinggi besar yang menghimpitnya, seolah akan menjalankan serang di tempat ini juga.     

"Satu ciuman tak akan membuat kita malu," kepala Mahendra merunduk, mendekati wajah perempuan yang hanya setinggi bahunya.     

"Sayangnya, satu ciuman bisa membuatmu kalap dan aku bisa berakhir tanpa pakaian," netra coklat itu berkilat memberi peringatan.     

"Please, satu kecupan," dia mendekat dan mendesak.     

"Jangan pegang bajuku!," Aruna membuang tangan yang bersemayam gelisah di dadanya. Mahendra dengan tangannya yang meremas ujung kancing lebih berbahaya.     

"Sayang, satu kecupan. Aku mohon," lelaki tersebut benar-benar menempelkan bibirnya dan membuat penyerangan. Tak ingat apapun, kecuali dorongan di kepala dan desiran hebat di dadanya yang menjadi-jadi.     

"Hendra, Ah!" dan nafas itu tertelan, habis terlumat, "Tanganmu! Singkirkan tanganmu dari rokku!"     

"Ting"     

Kode tanda lift terbuka membuat Aruna tersentak dan berusaha keras mendorong tubuh suaminya yang membatu mirip patung yang berdiri kokoh dan tak mungkin bergeser lagi.      

"Kita akan tidur di kamarmu," pria yang mabuk oleh hasratnya merenggangkan himpitan selepas mendengarkan rayuan istrinya. Meluruskan tubuhnya, dan tersenyum santai pada seseorang yang tanpa sengaja melihat kegilaannya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.