Ciuman Pertama Aruna

IV-26. Tanda-tanda Penafsiran



IV-26. Tanda-tanda Penafsiran

0Gibran buru-buru menutup matanya lagi, selepas menyadari ada gerakan samar dari tubuh gadis malang tersebut. Lelaki bersurai pekat itu berniat pura-pura tidur sampai Syakila terbangun. Dia sangat penasaran dengan tindakan pertama yang akan dia dapati dari gadis tersebut.     

Tak butuh waktu lama, Syakila benar-benar terbangun dan yang disadari Gibran pada caranya mengintip melalui celah yang sempit dari sudut kelopak matanya sendiri, dia mendapati gadis yang baru bangun itu menoleh padanya. Beberapa saat kemudian duduk —sekian menit, seperti tengah mengais kesadaran kemudian turun dari ranjang lalu berjalan menuju kamar mandi dan lelaki bersurai pekat tersebut merasa bodoh sendiri.     

Gibran merasa hanya dirinya yang terlihat berlebih. Terlalu antusias, dimana sang perempuan yang ia amati perilakunya sekedar menjalankan ritual bangun tidur sewajarnya. Sedangkan lelaki tersebut begitu mendramatisir bahwa akan ada sesuatu luar biasa yang terjadi layaknya dia yang tak menginginkan bangun terlebih dahulu, sebab tak tahu apa yang akan dia lakukan ketika dirinya yang lebih dahulu terbangun.     

Lelaki bersurai pekat masih terbaring di ranjang yang sama, menatap langit-langit dan menangkap bahasa purba dari jiwanya sendiri. Bahasa purba akan jantung yang sedang mendorongkan hasrat dan dia akan mempertanyakan ini sepanjang hari ketika debaran itu datang. Apakah ini tentang iba? Atau yang lain?.     

Dia memungut gadis malang itu dari rumahnya selepas adik tirinya yang memiliki masa kecil memprihatinkan, menjelma menjadi lelaki ceria dan disukai oleh banyak perempuan, tentu saja termasuk teman sesama lelaki -ketika masa remaja di sekolah menengah-.     

Walaupun kehidupan di rumah kadang kala tak begitu terlihat menyenangkan akan tetapi Gesang punya sekelompok teman yang sangat kompak dan seorang gadis yang sering di sebut kekasih, dimana mereka berdua akan terus bersama-sama kemanapun mereka pergi. Gadis dengan pembawaan tulus serta sorot mata manja yang hangat. Kehidupan sekolah adik tirinya membuatnya iri hati.     

Berkebalikan dengan dirinya sendiri yang dipenuhi sekelompok remaja menjenuhkan, atau kelompok anak-anak yang tingkah lakunya tak menyenangkan sebab perilakunya cenderung bermental pecundang. Bersembunyi di balik nama keluarga.      

Anak-anak Tarantula, adalah para remaja yang keluar masuk ruang bimbingan konseling dan membuatnya sadar diri, mereka dilahirkan untuk jadi pembuat onar yang memuakkan.     

Tatkala Gesang pergi kuliah ke luar negeri sedangkan dirinya telah usai dengan tugas kuliahnya, suatu waktu —pemuda tersebut meminta Gibran untuk menengok gadis yang jadi kekasihnya termasuk menitipkannya. Diam-diam lelaki bersurai pekat tersebut benar-benar mengamati si manja secara berlebih, lalu menyadari kehidupannya lebih mengerikan daripada adiknya.     

Dia mengalami hari berat tiap saat dan Gibran yang terdorong oleh penasaran dan rasa lain yang belum ia kenali muaranya kemana —yang pasti, hasratnya tak terbendung untuk menyelamatkan gadis malang tersebut. Hingga akhirnya berakhir serumit ini.     

Pagi ini, pertanyaan yang mendebarkan itu datang lagi. Pernyataan-pertanyaan yang enggan ia jawab. Apakah ini tentang iba? Atau ada hal lain?.     

Gibran mulai duduk dari tidurnya, memakai sandal kamar tidur dan merapikan selimut ketika bau harum seseorang yang selesai mandi melintasi hidungnya serta ucapan selamat pagi yang menyapanya dari balik punggung. Dia menyadari jantungnya berdebar lagi. Mungkin perasaannya sudah tak lagi tentang iba, pikirnya.     

"Apa kau bisa membantuku?" dan bahasa-bahasa lainnya. Bahasa manusia tanpa suara yang dia komunikasi kan terhadap Syakila jelas bukan lagi seorang kakak yang menolong adiknya. Ini tentang pergolakan yang mampu menghentikan waktu.     

Gadis itu mendekat dengan tudung handuk tebal di kepalanya dan sebuah ekspresi manja yang serupa dengan raut wajah Geraldine ketika meminta sesuatu kepadanya. Gibran pura-pura tak paham dengan menggerakan bahunya ke atas, serempak dengan alisnya yang terangkat. Sehingga Syakila menarik tudungnya, menunjukkan bahwa rambutnya yang lembut —basah kuyup, dan dia kesulitan mengeringkannya dengan satu tangannya belum pulih.     

Detik ini, jiwa alam semesta benar-benar bergolak di hatinya tatkala netra hitam legam itu melihat rambut basah dan bibir gadis yang mengatakan beberapa kata, namun hilang tertelan debaran jantungnya yang berisik. -Ini bukan bahasa iba- pikirnya memberi penafsiran.     

Gibran meraih handuk, mengikuti Syakila yang berjalan menuju walking closet. Berdiri di depan kaca. Dia yang menggenggam handuk putih tebal, mulai memijatkannya dengan lembut pada rambut gadis di hadapannya dengan senang hati.     

Ini akan jadi berbeda ketika Geraldine memintanya melakukan hal yang sama. Sudah bisa dipastikan handuk tersebut akan dia lempar pada muka adiknya walaupun kedua tangannya sakit sekalipun, putra pertama Rio pasti akan mengumpat kepada si manja dengan mengatakan, 'Apa kakakmu yang mencetak uang ini tidak memberimu asisten? Panggil mereka! Jangan biarkan mereka makan gaji buta,'. Gibran tersenyum kecil membayangkan dia akan melakukan itu pada bungsu.      

Sayangnya, senyum itu malah ditangkap berbeda oleh gadis yang menatapnya dari bentangan kaca. Mata mereka saling memandang dan lelaki bernetra hitam legam tersebut tahu, bahasa purba yang lebih tua dari terbentuknya kota metropolitan ini sedang meletup di dalam hati.     

"Apa ada yang lucu dariku?," Syakila mengerut dan buru-buru Gibran menggelengkan kepala.     

"Tidak," jawabnya singkat.      

"Kau berbohong, jelas dirimu berbohong," Syakila merangkai tuduhan dan tanda itu datang lagi.     

Tanda-tanda yang ia tunggu selama ini. Tanda kunci jawaban dari pertanyaan yang dia pertanyakan sepanjang tahun, semenjak menjalakan akuisisi perusahaan Baskoro sebab kasihan melihat gadis malang tersebut hidup di keluarga yang tak manusiawi.     

Lelaki bernetra hitam legam tersebut sempat menyesal Sebab selalu menyimpan pertanda ini dan berupaya menguburkannya dalam-dalam, lalu secara diam-diam dia memungut pertanda-pertanda itu dengan rakus, "Kau seperti kucing kecil yang tercebur ke dalam genangan air, basah kuyup, tapi menggemaskan,"     

_Ah' aku memungutnya terlalu rakus_ Gibran menyesali kalimatnya. Ini sangat ketara. Mengapa dia harus mengatakan kata 'menggemaskan?', akan tetapi Syakila menyambut kalimat tersebut dengan senyuman yang merekah. Senyum yang menghilang dalam waktu cukup lama, tiba-tiba hadir begitu saja. Gadis tersebut tak terprediksi dan selalu begitu, tak terbaca.     

"Sekarang, kenapa kau yang tersenyum?" lalu dengan enteng gadis bertubuh kurus mengatakan 'aku tak tahu', Gibran sekedar mengangguk-angguk ringan menanggapinya. Padahal jiwanya berkata lain. Dia menginginkan guyonan yang mungkin saja menyatut kata 'gemas' seperti yang dia lakukan.     

Dan komunikasi universal tersebut berakhir begitu saja. Si gadis kurus menyisir rambutnya sendiri sedangkan Gibran menurunkan handuk tebal putih sebab rambut halus itu dirasa telah kering. Lelaki tersebut berjalan gamang menuju kamar mandi, membuka baju tidurnya. Melepaskan kain-kain yang membungkus dirinya lalu mengubur degup itu dengan hujan deras buatan yang hangat dari celah-celah shower.     

Dia yang sedang menikmati hujan air hangat, tengah merajut komunikasi panjang dengan dirinya sendiri. Menemukan sebuah keyakinan yang belum pernah dia dapati sebelumnya. Keyakinan bahwa kehidupannya tak akan bisa jauh dari gadis yang beberapa menit lalu menatapnya melalui pantulan maya pada bentangan kaca.     

Mata itu menatapnya dengan cara berbeda pagi ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.