Ciuman Pertama Aruna

IV-25. Perempuan Slavia



IV-25. Perempuan Slavia

0"Aku akan menunggumu di resto, lantai tujuh," Aruna turun dari mobil, mengangkat pandangan ke arah atas. Gedung menjulang tinggi seolah tengah diamati dengan seksama tiap-tiap incinya, mengabaikan suaminya yang tertinggal di belakang.     
0

Membuka pintu kemudi dan berdiri sejenak —terpaku, tatkala melihat cara istrinya memandangi gedung Djoyo Rizt hotel. Lamunannya tergugah oleh seorang pelayan yang bertugas memarkir mobil para tamu VVIP. Jelas sekali, lelaki tersebut adalah seseorang yang istimewa sebab petugas yang meminta izin membawa mobil Mahendra tersenyum lebar, selebar-lebarnya hingga membuat pria berseragam tersebut seolah tengah memerankan parodi iklan pasta gigi.     

Mahendra segera bergerak cepat memburu langkah kaki istrinya yang tak memberi celah menoleh kepadanya, "Ada apa lagi? Bukankah kau sedang ditunggu?" dan lelaki tersebut tak bisa berkata-kata, walaupun dia sudah berhasil meraba jari-jari mungil bak bayi.     

Lelaki bermata biru terbungkam, mulutnya terkatup tak bersuara. Padahal hatinya sedang meronta-ronta meminta supaya dirinya minimal mengatakan, 'selamat makan siang sayang,' kenyataannya, dia memilih berjalan menuju lift khusus. Naik ke lantai lima kantor pusat Djoyo Makmur group. Kantor yang cukup aneh sebab tersusun di sela lantai kamar-kamar dan fasilitas hotel bintang lima.     

Sesampainya di lantai lima, kakinya bergerak gesit, ekspresinya berubah dingin, tatapannya kaku, dan jalannya cepat. Mahendra melewati ruang-ruang kaca para karyawan dengan langkah seperti seekor singa hendak berburu, pelan, tenang, dan siap menerkam siapa saja. Ketika bilik-bilik terlewati, ada beberapa yang menunduk dan sekali lagi dia tak peduli.     

Baginya, formalitas tersebut adalah budaya kakeknya yang menjengkelkan. Dia ingin menghapuskannya beberapa tahun lalu namun sepertinya itu lebih sulit dibandingkan meminta petugas kebersihan membersihkan kumpulan bukunya -satu persatu-, yang tersusun di ruang kerjanya seperti deretan rak perpustakaan yang memanjang dan membuat para tukang bersih-bersih jenuh tanpa ampun.     

Mahendra lekas mendapati Tita yang menjadi resepsionis khusus ruang kerjanya berdiri lincah sembari memasang wajah super cerah. Lelaki tersebut masih belum mengerti, bagaimana gadis itu bisa mengabaikan ekspresi kakunya dan tetap ramah?. Mungkin itu namanya hukum tarik menarik, tapi bukan ilmu yang dipelajari para fisikawan dengan mengamati benda magnetik.     

Melainkan, The Law of Attraction (LoA) yakni, hukum ketertarikan atau tarik menarik, dimana apapun yang kita fokuskan dalam pikiran dan rasakan adalah yang akan ditarik dan hadir ke dalam kehidupan, secara sadar atau tidak sadar, positif atau negatif, diinginkan atau tidak diinginkan.      

The Law of Attraction sebenarnya selalu bekerja. This Law uses us. Menariknya, pada akhirnya kita pun bisa menyadari bahwa kita menarik bukan apa yang diinginkan, melainkan menarik atas apa yang diyakini akan terwujud.     

Untuk berlatih LoA dengan kesadaran, hadirkan diri dalam keadaan yang tenang dan damai. Kemudian perlahan menghadirkan perasaan bahagia, misalnya perasaan ketika sedang berlibur. Sejenak, barulah kita mengolah keinginan-keinginan yang ingin kita wujudkan. Dan tak lupa, kehidupan yang kita jalani membuat diri ini perlu senantiasa meminta pada Sang Maha Sumber.     

Mahendra tersenyum kecil sampai lesung pipinya tersaji manis membayangkan salah satu buku yang tersaji di rak bukunya terkait hukum LoA. Dan lelaki bermata kristal ini menduga, resepsionisnya mungkin saja telah membacanya sehingga dengan senyumannya yang tetap sama setiap saat mampu membuat atasannya alias dia sendiri ditarik berdasarkan hukum tersebut.     

"Dimana tamu pembuat onar tersebut?," senyum Tita berubah menjadi kerutan seperti gadis yang sedang membenci sesamanya. Dengan nada bicaranya yang sebal dan bibirnya yang miring ketika menceritakan ketidak sopanan dan ancaman-ancaman yang dilayangkan tamu aneh bin tidak masuk akal tersebut, membuat Mahendra menyadari bahwa orang yang datang kali ini adalah seorang perempuan.     

"Saya membuangnya ke ruang orange," Tita berjalan mendahului jalannya Mahendra, masih sigap bercerita terkait sang tamu yang sepertinya bukan dari kota yang dia sebutkan sebab wajahnya jauh berbeda dengan kebanyakan perempuan dari pulau berbentuk huruf K yang di kunjungi tuannya kemarin.     

Perempuan ini bertubuh seksi dan seolah dikirim pejabat tinggi. Mahendra mengangguk-angguk ringan mendengar setiap kalimat Tita, sebelum memasuki ruangan dan menyadari omongan resepsionisnya benar adanya.     

Perempuan yang hadir di hadapannya memiliki perawakan khas etnis Slavia Timur. Rambutnya berwarna seperti madu —lembut menjuntai lurus, kulitnya putih namun tak seputih pucat orang bangsa nor atau sebagian darah yang mengalir di dirinya –Mahendra-. Bulu matanya lentik dan bibirnya merah, keduanya tampak alami. Matanya yang bulat dan lebar detik ini menatap minat pada Mahendra.     

Lelaki bermata biru dengan ketenangannya menyambar berkas yang dipegang si Slavia Timur, Mahendra merasa tak perlu mengenalnya lebih dalam termasuk namanya. Dia hanya ingin memahami tujuannya datang ke kantor pusat DM Group dan memutuskan apa yang akan diperbuat pada perempuan yang detik ini menatapnya dengan netra yang membulat lebar di tengah-tengah barisan bulu mata yang lentik.     

Sebagian besar celotehan Tita sepanjang lorong menuju ruangan tersebut benar adanya. Perempuan itu dikirim pejabat yang kemarin Mahendra temui. Salah satu pemimpin yang ia tolak permohonannya, dimana detik ini jelas tengah sedang merayunya dengan kompensasi nyata. Sejumlah uang di lembar penawaran.     

Kelompok orang yang diumpat dalam benaknya, menaikkan harga proyek sepersekian dari kesepakatan awal —termasuk siap menangani kisruh yang terjadi dengan cara akan membekukan lawan politiknya sampai akar-akarnya.     

Mahendra tidak menyadari ada kompensasi lain yang bergerak mendekat. Menyebarkan bau wangi menyengat yang menusuk hidung, sehingga lelaki tersebut mengerutkan dahinya sembari masih tenggelam pada lembaran berkas yang ia amati. Dia enggan mengamati yang lain —lebih tepatnya terganggu. Kian terusik tatkala mengetahui perempuan di hadapannya sengaja melempar mantel bulu yang semula memanjang, menutupi tubuhnya sampai lutut.     

"Anda bisa menggunakan saya kapan saja," ucapnya ringan, menawarkan kompensasi.     

Mahendra yang duduk santai dengan kaki kanan menggantung di udara selepas di tumpukan dengan yang kiri —detik ini, menyandarkan siku tangan kirinya di meja. Memejamkan mata dan memijat pelipisnya.     

"Aku lebih suka kau keluar dari tempat ini. Akan aku urus berkas ini!" suara Mahendra terdengar seiring dengan giginya yang mengerat. Tuan muda Djoyodiningrat berada di puncak kemarahan pada sekelompok orang di ujung sana. Rasanya, kalau saja kumpulan orang-orang bodoh tersebut ada di hadapannya bakal ia tembak tepat di kepalanya satu-persatu. Sampai darah segar keluar dari kepala kotor mereka yang menganggap dirinya sama kotornya dengan otak mereka.     

Perempuan Slavia itu tampak tak gentar dengan suara Mahendra yang penuh penekanan, atau mungkin dia tak menyadari bahwa tuan muda tersebut tengah marah. Dia berjalan mendekati meja rapat yang berbentuk U, masuk ke tengah-tengah dan berdiri di hadapan Mahendra.     

Netra biru secemerlang kristal menatapnya dengan tatapan jengkel bercampur kasihan. Jika perempuan tersebut sadar, dia pasti tahu lelaki di hadapannya tidak menginginkan dirinya.     

Sayangnya, si perempuan berbalut pakaian merah menyala selepas mantel bulunya di lepas dan duduk agak jauh dari Mahendra lalu semakin mendekat. Kini dengan percaya diri hadir di atas meja —tepat di hadapan lelaki bermata biru, berpose layaknya manekin yang tengah memamerkan seri baru pakaian bikini. Jelas ini pelecehan terhadap dirinya.     

"Pergilah dengan terhormat! Sebelum aku memanggil satpam dan menyeretmu keluar. Jelas itu sangat memalukan," Mahendra menutup berkas dengan santai.     

Tatkala lelaki tersebut hendak berdiri, tiba-tiba saja kerah bajunya ditarik sehingga wajahnya spontan berdekatan. Sangat dekat dengan perempuan berbibir merah dan warna gaun serupa yang mempertontonkan perut serta dada bagian secara terang-terangan.     

"Saya tahu, istri anda sedang hamil," suaranya terdengar sangat jelas mengganggu. Desahan yang dibuat-buat.     

Mahendra meraup jeratan tangan yang menyajikan kuku-kuku putih bening —supaya terlepas. Detik berikutnya, gerakan merapikan baju, menebah kerah yang baru di pegang perempuan berbaju merah, dipertontonkan lelaki tersebut. Itu adalah gerakan-gerakan implisit yang menjadi pembatas antara seseorang yang memiliki kehormatan sedang menunjukkan keangkuhannya.     

Perempuan yang tadinya setengah berbaring, kini duduk tegap di atas meja. Menggantung kakinya. Kaki bersepatu hak tinggi dengan warna merah berayun-ayun. Jelas dia punya level kelas tertentu pada profesinya dan terlihat profesional pada gerak-geriknya.     

"Jangan munafik" Dia memasang senyum manis, "Semua orang tahu, perempuan mungil dengan perut membesar itu tak akan bisa memenuhi kebutuhan anda," Nadanya terdengar mencemooh, "Anda bisa memegang kulit saya dan menjadikan saya teman anda sepanjang hari. Saya yang akan bekerja keras, anda tinggal menikmatinya," mata berbulu lentik itu mengerling.     

Hendra tertawa kecil . . .     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.