Ciuman Pertama Aruna

IV-24. Selimut Maroon



IV-24. Selimut Maroon

0Malam semakin larut tatkala seorang gadis membiarkan matanya tetap menyala. Dia mengamati dengan menyeluruh ruangan yang mendingin, di kala sang rembulan berpendar semakin terang. Temaram lampu di sisi tempatnya terbaring menampakkan wujud seorang lelaki —dengan kakinya yang panjang, memaksakan dirinya tidur di sofa yang sama selama satu bulan.     

Dia, si gadis malang dengan tubuh kurus, terduduk di tengah malam. Jam dinding telah menunjukkan pukul 12.45 dan matanya sama sekali belum terpejam. Ada aliran darah yang tengah mengalir deras, seolah memompa rasa untuk bangkit dari keterpurukan yang ia alami.     

Kekasihnya yang paling berharga tak mungkin menoleh ke belakang sebab dia telah menemukan ibu yang diduga telah tiada. Mendekati dirinya sama halnya menyerahkan daging segar untuk dimakan singa. Gadis malang tersebut sadar, kekasih yang selalu menjadi tumpuan harapannya tak akan datang lagi sebab semua demi kebaikan dirinya, ibunya, dan pemuda itu sendiri.     

Hal pertama yang dia renungkan adalah tentang keikhlasan. Sebuah ungkapan yang terkesan munafik tatkala dipikirkan, akan tetapi harus dirinya tuntaskan dan kalau perlu malam ini juga. Atau sekarang, minimal dirinya harus bersabar sampai takdir berbicara lain.     

Dari makna kata ikhlas terkait kekasihnya, pikirannya jadi mengembara ke segala arah. Ternyata, ada kemunafikan yang lebih dangkal dari semua kisah cinta panjang dan indah yang dia perjuangkan selama ini —yaitu memperjuangkan dirinya sendiri.     

Gadis kurus berdiri melangkah pelan, mendekati lelaki berambut hitam pekat. Saking pekatnya, mata sayu tersebut seolah bisa melihat tinta cumi-cumi laut dalam sedang tumpah di tangannya ketika dia menyentuhnya perlahan. _sungguh mengesankan_ batinnya sejenak teralihkan.     

Mata yang terpejam itu menampilkan bulu mata panjang yang sama pekatnya. Alisnya yang juga pekat berpadu dengan kulit langsat, sungguh perpaduan yang sempurna. Lelaki tersebut sangat mirip dengan kekasihnya, semua orang akan mengakuinya. Mereka bersaudara.     

Masih tentang kemunafikan yang menggelitik hatinya. Dia yang detik ini menekuk kakinya, mengamati wajah lelaki yang nafasnya mulai terdengar nyaring, seperti memberinya dorongan tentang hasrat kebangkitan.     

Gadis malang tersebut tak mengerti, kenapa lelaki di hadapannya gigih mengambilnya dan menjadikan dirinya berada disisinya? Dia tahu, dirinya sangat menyusahkan, akan tetapi Gibran tak sekalipun gentar untuk mengabaikannya. _Ini bagus_ Hatinya berbicara.      

'Kau adalah gadis yang dibuang seluruh keluargamu. Ibumu meninggal setelah memohon-mohon pada Baskoro supaya berkenan menerimamu ketika ia mengetahui menderita kanker, dan lelaki sialan yang juga ayahmu —hanya memberikan tunjangan pengobatan tanpa peduli bagaimana kau melalui hari berat merawat ibu sendirian. Pulang pergi ke rumah sakit, sekolah sepanjang hari -hampir dua tahun-, dan lelaki hidung belang tersebut tak pernah menengoknya sekalipun. Disaat ibumu meninggal, kau diizinkan tinggal di rumah itu dengan syarat hanya tinggal dan diperkenalkan sebagai saudara jauh —semacam sepupu bagi kakak dan adikmu sendiri. Bahkan Baskoro mengenalkanmu sebagai anak angkat yang dipungut dari panti asuhan', Gadis itu mendesis selepas batinnya berbicara gamblang.     

Syakila berakhir duduk di atas lantai pualam yang dingin, mengamati lelaki yang bakal menjadi bahan bakar sempurna untuk membalas keluarga yang tidak tahu diri itu. Yang memberinya kamar setara pekerja rumah tangga. Yang meninggalkan meja makan ketika dirinya akan makan bersama dan menutup mata seolah dia tak ada. Kemudian dengan enteng memintanya menjadi jaminan hutang.     

Tangan kirinya yang lumpuh sebab menjadi korban kecelakaan yang dia sengaja -ingin bunuh diri-, dan menjadikan dirinya seperti gadis bodoh perlahan-lahan mulai terangkat.     

Jemari mungil yang terlihat ringkih sempat tergenggam, sebelum akhirnya naik ke atas dan membeku. Syakila tak kuasa menahan rasa ngilu yang muncul dari keberaniannya mengangkat tangan kirinya. Dia mengaduh. Dan tanpa diduga, lelaki yang berada tepat enam puluh centi di hadapannya membuka netra hitam legam yang luar biasa cemerlang.     

Sekian detik, lelaki tersebut tampak bingung mengamati gadis di hadapannya. Melihat kebingungan tersebut, spontan Syakila memamerkan kemampuannya menahan rasa sakit dari tangannya yang diangkat.      

"Kenapa kau duduk di lantai? Dingin. Kau bisa sakit nanti," suara parau itu menyapa gendang telinga gadis yang kemudian bermonolog dalam keterdiamannya, 'Dia selalu seperti seorang kakak', benak Syakila membenarkan.     

"Aku akan bangun, tapi butuh bantuan. Em' apa kau tidak ingin mengatakan selamat karena aku, Auh'," gadis tersebut mengeluh lagi dan perlahan kemampuannya mengangkat tangan kiri hilang.     

"Jangan terlalu dipaksa -kan," lelaki bersurai hitam pekat tersebut bangkit, menanggalkan sofanya. Mengangkat tubuh ringkih layaknya memegang sebuah boneka dengan satu tangan —saking ringannya.     

Tangannya masih terasa sakit, tatkala Gibran melingkarkan jari telunjuk dan ibu jari —merapat pada pergelangan kaki gadis tersebut. Lengan kokoh lelaki bersurai hitam pekat mengangkat ringan tubuh Syakila, dan mengembalikan pada tempatnya. Duduk di atas ranjang dengan selimut tebal berwarna maroon gelap.     

Ketika si pemilik surai hitam pekat bak tinta cumi-cumi hendak meninggalkan ranjang, Syakila menarik bajunya. Membuat lelaki tersebut terkejut, "Kau butuh sesuatu?" ujarnya.     

"Tidurlah di ranjangmu, kau terlihat tersiksa di sofa pendek itu," spontan Gibran menampilkan ekspresi bingung. Mungkin dia pikir malam ini dirinya tengah bermimpi. Sudah sebulan lamanya, lelaki tersebut menatap lamat-lamat tubuh ringkih gadis di hadapannya sebelum akhirnya tertidur. Pasti mimpi ini hadir karena ritual tersebut —begitulah benaknya bermonolog.     

Akan tetapi cengkeraman tangan itu tak mau lepas menariknya, hingga akhirnya lelaki bersurai hitam pekat terduduk di ranjang yang dia tinggalkan sebulan.     

"Ini adalah tempatmu, bukan kah kita akan menikah? Mulai sekarang, akan aku terima takdirku. Aku akan jadi pelayan yang hebat," kalimat Syakila sangat ambigu sehingga membuat Gibran masih meyakini dia sedang bermimpi malam ini. Sampai sinar matahari mengintip di celah jendela yang tertutup tirai, memberitahunya tentang pagi dan dunia nyata.     

Anehnya, mimpi semalam bukan sekedar imajinasi dari ritual yang ia jalani selama sebulan ini. Tubuhnya benar-benar membujur kaku di atas ranjang dan hanya dibatasi oleh guling yang terlihat lebih besar daripada tubuh yang hilang tertelan selimut maroon.     

Gibran buru-buru menutup matanya lagi selepas menyadari ada gerakan samar dari tubuh gadis malang tersebut. Lelaki bersurai pekat itu berniat pura-pura tidur sampai Syakila terbangun. Dia sangat penasaran dengan tindakan pertama yang akan dia dapati dari gadis tersebut.     

***     

Matahari meninggi dan perlahan merayap ke arah barat. Seorang lelaki dengan mata sebening kristal beberapa kali menunjukkan gerakan menggaruk pelipisnya, menyibak rambut ke belakang, dan matanya merajai seluruh jalanan seolah dia sedang menghitung satu persatu mobil yang sedang berdesakan bersama kendaraannya.     

Hari yang padat tak terhindarkan. Kian lengkap ketika istrinya tak bersuara barang sekecap, selepas dengan sangat berat dia harus melontarkan kalimat permintaan yang membuat bibirnya kelu sendiri, 'Ada seseorang yang memaksa dan membuat keributan di kantor sebab ingin menemuiku,"     

'Baiklah, aku ikut denganmu,' kalimat tersebut keluar paling akhir, dan selepas itu, perempuan yang duduk santai memainkan handphone tersebut tak lagi menanggapi pertanyaannya selain gelengan dan anggukan.     

Bahkan monolog panjangnya terkait seorang utusan dari kota nan jauh di timur yang baru dia datangi semalam lah —yang hadir hari ini, seolah tak mengusik jemari mungil untuk terus bermain smartphonenya.     

Kehadiran orang asing yang belum diketahui Mahendra secara pasti tersebut, kemungkinan besar sebab dia pulang lebih cepat dari dugaan rekan bisnis yang menginginkan proyeknya berjalan lagi.     

"Aku,akan menunggumu di resto lantai tujuh," Aruna ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.