Ciuman Pertama Aruna

IV-23. Mata Sayu



IV-23. Mata Sayu

0"Tentu," balas Mahendra, membantu istrinya membuka baju yang menutupi perut dan memperhatikan gerakan sang dokter mengoles gel bening sebelum sebuah alat bernama Transducer menyusuri permukaan perut Aruna. Sayang sekali, kesempatan langka ini terganggu oleh suara handphone lelaki bermata biru yang meraung-raung minta disambut.     

Aruna lekas meraih telapak tangan suaminya, "Kali ini, tolong abaikan," perempuan terbaring menyuguhkan senyum yang dipaksakan dengan mata coklatnya yang hangat, Mahendra tak rela untuk menolak permintaan istrinya. Dia benar-benar mengabaikan handphone yang kini volume suaranya di senyapkan, memilih mengamati gambar wajah baby yang sedang terpejam damai.     

Sempat bangkit dari duduknya, Mahendra mengamati lebih dekat. Dengan posturnya yang terlalu tinggi dan sedang berdiri, lelaki tersebut bahkan merunduk supaya bisa melihat wajah baby yang seolah tersenyum padanya.     

"Hidungnya mirip denganmu," kata Mahendra melebarkan senyum, "Dan, apakah ini rahangku?" kembali dia berujar, mengamati wajah mungil pada layar.     

"Jangan berkhayal, sudah cukup," suara Aruna menimpali. Bayi lima bulan belum menunjukkan gambaran yang sempurna, akan tetapi lelaki tersebut menjalankan analisisnya yang sering terdengar berlebih.     

"Kalian ingin tahu jenis kelaminnya?" sang dokter menanyakan hal yang paling umum ditanyakan oleh pasangan suami istri ketika melakukan USG.     

"Tidak!" spontan pasangan suami istri tersebut menjawab dengan nada yang sama dan serentak. Sang dokter sempat tersentak beberapa saat sebelum melempar gelengan.     

.     

.     

"Yang terpenting minum suplemen dengan rutin dan makan makanan yang sehat. Oh' iya—" kalimat sang dokter terputus sebab Mahendra kembali berdiri, selepas salah seorang ajudan dengan wajah terpaksa mengetuk pintu memberitahu ada panggilan mendesak.     

Melihat sang ibu hamil menyajikan raut muka kurang bahagia, sang dokter mencondongkan tubuhnya pada pasiennya, "Apakah anda sering terlihat murung seperti ini?," tebaknya.     

"Dia sangat sibuk," suara Aruna bersama suara nafasnya yang berhembus.     

"Itu tidak baik untuk anda," kata sang dokter seolah menakut-nakuti. Tangannya lincah menulis resep.      

Disaat tulisan tak estetik itu sampai di tangan Aruna, ia tak mendapati nama obat —melainkan sebuah saran, 'Kelebihan perempuan hamil adalah bisa berbuat sesuka hati terhadap suami. Manfaatkan kelebihan itu sebaik mungkin, yang penting bahagia'. Ketika kepala perempuan tersebut mendongak menatap sang dokter. Lelaki berkacamata tersebut berusaha membuat kedipan dengan satu mata, walaupun kenyataannya gagal total.     

Tatkala lelaki bermata biru kembali duduk di kursinya, sang dokter membual membantu pasiennya, "Saya rasa, anda harus memberi perhatian lebih pada istri dan bayi di perutnya," wajahnya serius dan langsung disambut tatapan yang sama seriusnya oleh Mahendra pada Aruna. Tentu saja perempuan tersebut lekas memasang wajah memelas yang super sempurna.     

"Saya dengar, istri anda sering berdebar jantungnya. Sebuah indikasi yang sangat memprihatinkan," alis Mahendra mengerut. Matanya mengerjap —tanda bersalah, dan Aruna memegangi dadanya yang berdegup dengan kesungguhan yang palsu.     

Melihat ekspresi yang ditunjukkan Mahendra, sang dokter kembali berucap, "Apakah anda pernah dengar, suasana hati seorang ibu hamil bisa berpengaruh terhadap kesehatan janin dan—"     

"Sudah cukup! Beri tahukan saja aku harus bagaimana? Tak perlu prolog panjang lebar," singkat Mahendra yang sejujurnya memang tak punya banyak waktu lagi.     

"Turuti permintaan istri anda, membuat dia bahagia amat sangat penting," ujarnya dengan raut wajah meyakinkan.     

"Entah mengapa aku pernah mendengar omelan ini?" netra biru tersebut berputar, mengingat seseorang dan lekas mendapatkan tepukan dari istrinya.     

"Terimakasih sarannya, dok!" dan Aruna membuyarkan wajah oma Sukma di pelupuk mata Mahendra, "Suamiku lebih suka dengan pekerjaannya, dari pada saya dan baby," lanjutnya, sembari berdiri dari duduknya.      

"Kata siapa?" Mahendra berdiri mengikuti berdirinya Aruna —masih dengan melempar kalimat protes, dia menyajikan ekspresi tak setuju.     

"Kataku! Bibirku yang baru saja berucap," kalimat Aruna menyikat pernyataan Mahendra.     

"Itu pernyataan yang salah besar," mereka pergi dari ruang pemeriksaan dengan percekcokan khas suami istri.      

Sang dokter menggelengkan kepala di akhir perpisahan ketiganya dan tanda dari Aruna, yakni sebuah ungkapan terimakasih berupa gerak tangan ujung telunjuk menyentuh ibu jari membentuk tanda OK.     

***     

Tak menghiraukan, Syakila kembali berucap, "Aku ingin tahu. Benar-benar ingin tahu" dia gigih mengucapkan kalimat ini. Penuh keyakinan menghadapi Clara dan seorang pria yang mematikan cerutunya dengan menekan kuat benda berasap tersebut pada meja makan keluarga.     

Suasana meja makan sedang tak baik-baik saja ketika putri terbuang Baskoro menuntut pengetahuan yang gamblang. Dengan enteng Rio bangkit, menghilang sejenak kemudian meletakkan kumpulan berkas di atas meja makan. Jelas pernikahan ini bukan tentang membentuk keluarga, atau bahkan keluarga Diningrat tak akan memperlakukan dirinya layaknya menantu. Yah, kecuali Syakila bermental baja untuk menghadapinya.     

Mata sayu itu naik ke atas menatap Rio yang kembali bermain dengan cerutunya, dan perempuan tua yang memandangnya dengan lamat-lamat —termasuk Gibran yang membuang tatapan. Kekacauan keluarga yang ditutupi telah terbuka lebar, selebar-lebarnya.     

Syakila mengamati berkas-berkas tersebut dan menyadari betapa hebatnya keluarga ini. Entah bagaimana, mata gadis tersebut berbinar-binar di tengah kemelut yang tersaji di hadapannya.     

Lima perusahaan yang dimiliki Baskoro ada di tangan Diningrat. Keluarga tersebut hanya menyisakan sebuah perusahaan kecil yang tak bernilai. Sebab, tak layak disebut perusahaan dan lebih mirip wisata perkebunan yang tak memiliki nilai.     

Melihat keterpurukan pria sialan yang membuat ibunya mati sia-sia dan seumur hidupnya menjadi anak yang tidak dianggap di keluarga —hanya menumpang hidup, tidak menjadikan aliran darah Syakila berdesir hebat.     

"Apakah aku akan menikah secara legal dengan Gibran?" pertanyaannya di luar prediksi siapapun.     

"Tentu saja," jawab Gibran buru-buru.     

"Bagaimana dengan kemungkinan aku bisa melunasinya? Andai suatu saat aku mampu melunasinya dengan usahaku, apakah perusahaan ayahku akan menjadi milikku? Atas namaku?" pertanyaan kedua dari Syakila menjadikan Clara tertawa.     

"Buat apa kau menanyakan itu? Ketika kita menikah, pasti kau berhak atas semua milikku," Gibran meredam tawa neneknya yang terdengar misterius.     

"Aku suka semangatmu," suara Clara mendapatkan tatapan yang lain, "Balas dendam adalah energi terbaik untuk bangkit dari keterpurukan. Layani cucuku dengan baik, dan akan aku berikan apa yang kau inginkan," pernyataan yang sangat ambigu disambut Syakila dengan gerakan menutup berkas, sangat mantap.     

Sepertinya gadis tersebut mengetahui banyak hal. Padahal, Gibran berupaya keras menutup segala informasi tentang keinginannya menikahi pacar adik tirinya tersebut.     

"Yang membekukan seluruh aset perusahaan papamu adalah cucuku," Clara menatap Gibran dengan bangga. Walaupun perempuan tersebut tak lagi muda, tapi gaya bicara dan penampilannya masih sangat energik dengan kesan wanita angkuh yang masih abadi membalut dirinya.     

"Jadi, selama kau bisa merayunya —kenapa tidak?" dan kalimat ini menjadikan Syakila menatap Gibran dengan tatapan menelisik yang berpadu dengan wajah tirusnya, pemandangan yang disukai lelaki tersebut.     

Rahasia yang tidak diketahui Syakila, bahwa lelaki bernetra hitam legam yang kadang mempunyai kesan meneduhkan tersebut lah —yang meminta secara langsung pada Baskoro untuk mengambil gadis malang tersebut.     

"Jadi ini yang membuatku —bahkan tak di cari Baskoro, ketika kau menyekapku?" dia masih menatap netra hitam legam tatkala mengucapkan kalimat berikut, "Menyedihkan sekali," lirih Syakila, "Tapi aku suka," tidak ada yang tahu apa yang disukai gadis malang tersebut, termasuk seorang pria yang detik ini menautkan alis hitamnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.