Ciuman Pertama Aruna

IV-22. Pesan Kehati-hatian



IV-22. Pesan Kehati-hatian

0Mobil hitam legam terparkir sempurna di depan outlet Surat Ajaib, dan "Hehe," yang keluar dari bibir Mahendra untuk pertama kalinya adalah kekeh tawa yang mencurigakan dan sudah dapat dipastikan apa alasannya.     

Aruna hanya bisa membuka mulutnya dengan ekspresi tercengang, bagaimana tidak? Tiga orang yang dikenal sebagai ajudan suaminya tengah memegang sapu, kemoceng, dan peralatan pel.     

Herry, Wisnu dan Alvin masih memegang peralatan-peralatan tersebut disaat Aruna menggali pemahaman, bagaimana mungkin para lelaki berperawakan atletis tersebut dengan suka rela menjalankan perintah suaminya membersihkan Surat Ajaib. Bukankah hal tersebut sangat kontras? Perempuan bermata coklat menggeleng kepalanya.      

"Maaf," Mahendra menggaruk sudut lehernya, matanya menatap tiga orang ajudannya dengan kode tertentu. Kepalanya bergerak meminta mereka untuk lekas pergi dan menghilang dari tempat tersebut.     

Perlahan-lahan dan dengan gerakan sangat lambat, para lelaki tersebut memundurkan peralatan kebersihan dan bersembunyi di balik display, minimal tidak terlihat oleh nonanya.     

Mahendra tidak menduga, tatkala netra coklat istrinya melotot dan tangannya bergerak menarik pipi lelaki tersebut, "Keluarlah kalian! Aku ingin bicara. Tidak perlu sembunyi!," teriakan Aruna membuat satu persatu ajudan suaminya keluar dengan menahan tawa, mengamati tuannya yang sangar akan tetapi berakhir dalam jeratan tangan mungil nona mereka yang malah melempar sorot mata hangat kepada ketiga pemuda tersebut.     

.     

.     

Empat orang lelaki dan satu perempuan dengan dua mobil hitam berakhir di kedai makan yang menjadi favorit Aruna.     

Perempuan hamil tersebut mengurangi konsumsi makanan cepat saji, akan tetapi tidak dengan tiga ajudan yang makan dengan lahap dan seorang lelaki dengan mata biru secemerlang kristal yang menyala-nyala sebab tersiksa dengan hukuman istrinya. Makan mie pedas yang sama sekali bukan seleranya, namun harus dihabiskan.     

Mahendra tidak menyukai dua hal, sesuatu yang kotor serta berdebu dan satunya ialah makan makanan sembarangan tanpa sertifikat kesehatan.     

Sungguh menyenangkan melihat lelaki tersebut tersiksa, mengaduk makanan dengan enggan dan memalingkan pandangan ketika akan menelannya memang terlihat dramatis dan itu cara terampuh untuk memberi hukuman kepada seseorang yang menyebalkan.     

"Apakah aku boleh tahu?" Aruna memperhatikan jarum jam di tangan suaminya.     

Banyak orang masih belum percaya bahwa perempuan tersebut adalah seorang gadis yang sama —yang sering makan mie pedas dengan penampilannya yang masih bersahaja. Perhiasan dan seluruh aksesorisnya berjejer di ruang display pakaian, akan tetapi terkadang dia masih setia mengenakan gelang buatan tangannya tanpa menambah jam tangan mewah untuk melengkapi penampilannya.     

Aruna memahami waktu yang mereka miliki 40 menit lagi, dua puluh menit perjalanan menuju klinik kandungan dan sisanya bisa digunakan untuk bercakap-cakap dengan ajudan-ajudan tersebut.     

"Iya nona," suara Alvin yang selalu prosedural dan membuat Aruna sedikit malas mendengarnya.     

"Bisa -kah, kau bicara biasa saja?," pemuda yang disindir sempat meletakan sendoknya ketika mengatakan 'iya nona' dan gelagat Aruna menjadikan dua lelaki lainnya tertawa ringan –menertawakan Alvin-, berbeda dengan Mahendra yang masih mengamati mie yang menjuntai dari garpu yang menggantung di udara.     

"Mengapa Rolland terlihat sangat kurus?," spontan tawa mereka terhenti seperti tombol pause pada alat elektronik. Mereka benar-benar terdiam bahkan mulai meletakkan makanannya. Aruna sedikit kecewa melihat tingkah ketiganya yang jelas-jelas enggan menjawab.     

Mahendra yang awalnya tak berminat mendengarkan komunikasi ke empat orang di meja yang sama dengannya, mencoba mencairkan suasana, "Hal buruk telah menimpa Rolland, karena kurang hati-hati," jawabnya, memilih bermain aman.     

"Semua orang —bahkan anak taman kanak-kanak pun tahu, kecelakaan terjadi ketika hilang kehati-hatian. Aku mau jawaban yang lebih detail," desak Aruna, menyadari jemari kelingking Rolland yang tak lagi sempurna dan rasa penasarannya membumbung tinggi.     

"Sebab kami gagal melindunginya," Wisnu meraih soda dingin dan lekas menegaknya. Ketika minuman kaleng tersebut berhasil diletakkan kembali di atas meja, gerakan tangannya jelas terlihat akan meremas habis benda berbentuk tabung tersebut.     

"Karena Rolland sempat disekap sekelompok orang yang anti keluarga Djoyodiningrat, jangan kau pikir kehati-hatian ku sekedar isapan jempol," suara Mahendra menjelaskan. Kalimatnya memberi penekanan pada beberapa kata seperti 'sekap' dan 'isapan jempol', membuat Aruna membeku bak patung hidup.     

"Dan jangan terganggu dengan kerja keras orang-orang di hadapanmu, mereka bahkan merelakan segalanya jika hal buruk terjadi padamu. Kau membawa baby kita yang sangat berharga untuk keberlangsungan keluarga ini," Mahendra kembali berujar dengan serius, "Aku tak pernah membuat aturan tanpa memikirkannya dengan matang. Segala keinginanku yang kadang belebihan itu, karena aku mempertimbangakan setiap resiko yang bisa saja terjadi," lanjutnya sembari mengamati wajah Aruna yang masih diam terpaku.     

Mahendra menyingkirkan makanan di hadapannya, "Kuharap kau bisa mengerti, sayang," ada gerakan merengkuh punggung dan memberi elusan hangat. Tiga laki-laki di depan sepasang suami istri tersebut sama membekunya.     

"Biarkan Herry, Alvin, Wisnu, bahkan yang lain menjalankan tugas dengan mudah," dan sebuah bibir yang tertarik lurus disajikan Herry membuat Aruna sedikit lega, dibanding suasana suram yang tertangkap pada raut muka dua ajudan lainnya.     

"Tapi Rolland sudah baikan, bukan?" Aruna kembali bertanya.      

"Butuh waktu," ujar Mahendra sembari menyerahkan platinum card pada Herry, dan pemuda tersebut lekas berdiri menuju kasir, "Dan butuh waktu untuk sampai tempat pemeriksaan kandungan baby kita" lanjutnya, menangkupkan sweater hangat istrinya. Meminta perempuan tersebut bangkit meninggalkan kedai makan mie pedas.     

Pada jalan lambatnya mengamati sekelompok lelaki di sekitarnya. Kesan menyebalkan yang sering mereka perlihatkan sedikit berkurang, selepas mendengarkan penjelasan suaminya.     

Hal lain yang membuat Aruna berpikir mendalam adalah, siapa kelompok orang pembenci keluarganya? Keluarga Djoyodiningrat? Perempuan tersebut mengembara dalam lamunannya dan kalimat-kalimat lama Rey —si pemuda sialan tersebut, hadir kembali mengusiknya.     

.     

Dia baru mampu menyingkirkan segalanya selepas duduk di ruang tunggu, dan menyadari perutnya bergerak, "Hen, peganglah," ujarnya, meraih tangan suaminya.     

"Baby, bergerak," mata biru yang biasanya terkesan sangat dingin, menghangat dan lesung pipinya tertangkap, "Iya. Baby, bergerak," binar dari netra tersebut semakin cerah.     

"Dia tahu, ayahnya mau melihatnya," Aruna menoleh dan bertautan pandang dengan Mahendra yang masih mengelus halus perutnya serta senyum lebar di wajahnya, lelaki tersebut memberi kecupan hangat pada pelipis.     

"Aku orang paling beruntung detik ini," ujar Mahendra masih dengan wajah cerahnya, ekspresi yang disukai Aruna —kecuali beberapa menit berikutnya ketika lelaki tersebut berdiri membiarkan perempuan hamil duduk sendirian sebab Hendra menghindar sejenak guna menerima panggilan di handphonenya yang serta merta merubah raut wajahnya.     

Lelaki yang tadinya terlihat cerah penuh cinta pada istrinya, kini tampak muram durja dengan kilatan amarah dari netra birunya.      

Aruna tak mengetahui apa isi percakapan Mahendra dengan seseorang di ujung panggilan, akan tetapi perempuan tersebut tahu suaminya sedang berdebat atau mungkin tengah mendapat informasi yang tak sesuai harapannya.     

"Alvin," Aruna mengayunkan tangannya pada ajudan yang memperhatikan dirinya dari kejauhan, "Beritahu suamiku, giliranku sudah tiba," lanjutnya.     

Ajudan tersebut berjalan mendekati tuannya, menyampaikan pesan dari nonanya. Detik berikutnya lelaki yang diamati Aruna terhuyung-huyung datang dengan langkah cepat, dan raut wajahnya dipaksakan berubah.     

Tangan Mahendra lekas berada di bahu Aruna —merangkum hangat, melewati suster yang berjaga di pintu masuk ruangan sang dokter.     

.     

.     

"Oh' saya hampir tak percaya anda datang sendiri dan antri untuk menemui saya, apa saya perlu grogi saat ini?," dokter kandungan dengan kacamata tebal tersebut melempar sarkas yang lekas mendapatkan sambutan bahu terangkat Mahendra.     

Gerakan ringan tangan sang dokter menunjukkan Aruna harus naik pada pembaringan yang tersaji di hadapan mereka.     

"Boleh saya langsung melihat baby anda?" ujar sang dokter.     

"Tentu," balas Mahendra, membantu istrinya membuka baju yang menutupi perut dan memperhatikan gerakan sang dokter mengoles gel bening sebelum sebuah alat bernama Transducer[1] menyusuri permukaan perut Aruna.     

Sayang sekali kesempatan langka ini terganggu oleh ... …     

[1] Transducer adalah komponen USG yang ditempelkan pada bagian tubuh yang akan diperiksa, seperti dinding perut atau dinding poros usus besar pada pemeriksaan prostat. Di dalam alat tersebut terdapat kristal yang berfungsi untuk mengubah gelombang pantulan yang tertangkap menjadi gelombang elektronik yang dapat dibaca oleh komputer sehingga dapat diterjemahkan dalam bentuk gambar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.