Ciuman Pertama Aruna

IV-21. Mobil Kura-Kura



IV-21. Mobil Kura-Kura

0"Suasana hatiku sedang buruk. Sangat buruk, sampai rasanya aku ingin sendirian. Jangan minta lebih hari ini. Kumohon, biarkan diriku istirahat," Ada nafas lelah yang Kembali di desahkan Aruna.     

***     

Ada perempuan yang menahan lari sebab ledakan di hatinya tak tertahankan, sangat girang dan sulit terkendali. Suaminya sudah menunggu di ruang tengah dan mengatakan bahwa hari ini dia akan menjadi supir pribadinya, menuruti semua permintaannya.     

Kabar tersebut lekas menyebar ke seluruh sudut rumah induk. Sehingga kepergiannya disambut muka cemberut oma Sukma yang sudah merayu habis-habisan cucunya dan dengan usaha ekstra di sadarkan Gayatri.     

"Cepat pulang, aku akan merindukan kalian," seperti anak kecil yang hendak ditinggal, oma Sukma merengek.     

"Yang benar saja oma, kita hanya jalan-jalan," Mahendra menggelengkan kepalanya, memperhatikan perempuan yang bahkan belum surut sedikitpun pancaran kecantikannya. Sukma yang merengek manja tak kalah menggemaskan dengan gadis remaja.     

"Mami, ayo masuk," Gayatri tersenyum kecut melihat kelakuan ibunya.     

.     

.     

"Aku sudah reservasi ke dokter kandungan, kita punya waktu satu jam sebelum jadwal," lelaki tersebut memutar benda berbentuk lingkaran yang di genggam. Menatap sekeliling, mengamati jalanan menurun —jalan tunggal meninggalkan rumah induk.     

Portal kedua yang menjadi pembatas jalan beraspal keluarganya dan jalan raya umum lekas dibuka pos keamanan, ketika istrinya dengan tangkas mengatakan kata 'kiri' dan serta merta Mahendra menyambut permintaan Aruna.     

"Aku mau menengok outlet Surat Ajaib," pinta Aruna berikutnya yang dengan lirih disambut kata umpatan 'mati aku'. Mahendra menepuk jidatnya sendiri, menyadari tempat tersebut tak pernah dipedulikan.     

"Apa hen-?" dia samar-samar mendengar suara.     

"Oh' tidak," dia tersenyum tipis, meraih-raih handphone dalam saku, berusaha membuat pesan tersembunyi untuk Herry yang berada di belakang mobil pasangan suami istri tersebut.     

Sekejap mobil Herry bergerak cepat melesat melaksanakan perintah dari tuannya. Sedangkan kendaraan beroda empat yang dikendalikan Mahendra buru-buru melambat. Dia mengurangi kecepatan sebanyak-banyaknya.     

"Sayang, apa kau tak rindu makan mie pedas?" dia memutar otak, berusaha mengulur waktu untuk sampai di outlet Surat Ajaib.     

"Itu tidak baik untuk baby kita," Aruna mengerutkan dahi, menatap suaminya yang melalaikan aturannya sendiri.     

"Bagaimana dengan rumah belajar?" mata Mahendra membulat lebar, "Kita bisa datang kesana membawa banyak mainan, anak-anak pasti sangat merindukanmu," kepalanya mengangguk-angguk ringan. Mencoba meyakinkan.     

"Aku rasa dua jam pergi ke tempat tersebut tak akan cukup. Nanti, setelah pulang periksa kandungan. Lebih masuk akal, bukan?" dan mulut Mahendra tak lagi mampu berkata kecuali memastikan mobilnya bergerak seperti kura-kura hingga ajudan-ajudannya berhasil menata tempat yang berbulan-bulan dibiarkan tak berpenghuni dan terabaikan.     

***     

Gadis berbadan kurus tersebut turun dari tangga perlahan-lahan dengan langkah kaki yang enggan. Matanya menatap lurus, melihat keberadaan perempuan yang kabarnya memanggil dirinya secara khusus. Dia menelan rasa sakit hati dalam-dalam. Ini lebih sakit dari segala luka fisik yang menimpanya dan seolah telah berteman dengannya.     

Syakila mengenakan sweater yang ukurannya sedikit kebesaran tatkala membungkus seluruh tubuhnya. Baju tersebut berbahan wol yang dirajut dengan warna olive. Lengan panjang yang hanya menyisakan jari-jari mungilnya yang terlihat dari ujung lengannya, menambah kesan besar dari tubuh tersebut.     

Lehernya pun ditelan oleh benang-benang wol terajut, menutupi seluruh leher jenjangnya. Wajahnya dibalut make up sempurna hingga memar di pelipisnya menghilang.     

Tak ada yang terlihat dari tubuh itu kecuali sweater olive dan celana putih panjang. Tubuhnya yang kurus juga samar oleh tebalnya baju milik Geraldine tersebut. Dia duduk di sisi Gibran, selepas lelaki bermata hitam legam tersebut mendorong kursi ke belakang untuk dirinya.     

Bubur hambar diletakkan di hadapannya, membuat Gibran menatapnya dengan ekspresi wajah bersalah bercampur pasrah. Dengan lengan kiri yang belum mampu terangkat, putra pertama Rio membantu dengan hati-hati mengangkat tangan Syakila dan membiarkannya berada di atas pahanya supaya aman. Mereka berdua duduk berdekatan layaknya calon pengantin sempurna, walaupun pada dasarnya hati mereka saling berperang.     

"Makan lah!," kalimat neneknya membuat Gibran mengarahkan anak matanya melirik gadis malang di sampingnya. Dalam hati kecilnya yang terdalam, dia ingin meraih bubur hambar tersebut dan membuangnya di wastafel tak jauh dari tempatnya duduk. Apa daya, hal tersebut mustahil dijalankan, "Habiskan dengan lahap. Aku tidak suka melihat perempuan lemah di rumah ini!".     

"Nenek, dia kurang sehat. Tolong, jangan membuatnya tertekan," spontan Gibran memberanikan diri berbeda pendapat dengan Clara.     

"Kau terlalu memanjakannya. Membuatnya menjadi perempuan yang tidur seharian di kamarmu. Kau pikir, aku tidak tahu?" nada suara Clara sungguh tak menjenakkan hati. Dia punya aura yang hampir membuat sebagian orang yang berinteraksi dengannya merasa tak nyaman, bahkan cucu-cucunya sekalipun.     

Gibran tak menyerah, "Dia sedang sak-"     

"Cukup!" Clara menghentikan kalimat yang keluar dari mulut cucunya.     

"Sudahlah, ma" suara Rio baru terdengar, ikut andil dalam percakapan.     

"Aku mau mendengar suaranya, bukan suara kalian," kalimat Clara menghujam ke seluruh dada peserta makan malam aneh yang lebih mirip hari penyiksaan dari pada perayaan.     

"Saya akan pastikan bubur ini habis," suara Syakila rendah, menatap dengan berani nyonya besar Diningrat. Membuat Gibran tak percaya, gadis malang tersebut bisa juga bersikap demikian.     

Gibran yang sangat tahu bahwa Syakila sulit sekali makan dan sering menyisakan banyak hidangan yang disiapkan untuknya, mencoba menyentuh tangan ringkih tersebut. Seolah memberi tahu bahwa dia memberi dukungan dengan gerakan tubuh yang samar.     

"Kau tahu, kenapa Baskoro menyerahkan dirimu pada kita?" semua penghuni meja makan terbungkam. Bahkan Gibran kelihatan tidak tahu apa-apa, kecuali ayahnya yang mulai mengeluarkan cerutu dan menyalakan benda tersebut di tengah acara makan.     

"Dia, ah' lelaki itu memang tidak tahu diri -Baskoro-. Menjadikanmu obat pereda malu, ketika seluruh kekayaan-nya disita oleh keluarga kami," sendok yang ada di genggaman tangan Syakila spontan terhenti, dadanya berdegup hebat dan memberanikan diri bertanya.     

"Maksud anda?".     

"Sudah cukup, Syakila," Gibran berupaya menutup percakapan yang dia tahu hasilnya akan buruk untuk gadis tersebut. Neneknya punya kemampuan menceritakan keadaan terburuk dari yang paling buruk dengan pilihan kata terlugas.     

"Biarkan aku bicara, supaya dia tidak manja," Clara seolah menata duduknya dan hal tersebut tentu saja membuat Gibran kian was-was.     

Geraldine yang merasa suasana makan semakin tak jenak, mengerucutkan bibirnya. Meletakkan kasar sapu tangan yang tergeletak manis di atas pahanya. Si bungsu meninggalkan meja makan. Dia membenci keluarga ini, kecuali benda-benda mewah yang dibelikan ayahnya dan tentu saja kakaknya yang baik hati, Gibran. Selebihnya, dia selalu iri dengan anak tiri bernama Gesang yang dengan terang-terangan di usir dari rumah megah Diningrat. Andai dia bisa pergi dengan sesuka hati seperti pemuda tersebut, akan dia lakukan dengan senang hati.     

Seolah tak terpengaruh oleh kepergian si bungsu Rio, Clara kembali berujar, "Seluruh aset keluargamu saat ini adalah milik keluarga Diningrat. Perusahaan keluargamu sudah kolaps sejak pertama kau bertunangan dengan Gibran. Dan tanpa aku katakan —aku yakin kau pasti tahu, dirimu lah yang jadi jaminannya," mata Clara menatap tajam gadis malang tersebut, "Sekarang kami ingin menagihnya secara elegan sebab dia juga ingin menyerahkan dengan cara yang sama, menjadi besan keluarga ini," dia mengamati gadis yang tubuhnya kini bergetar hebat, "Jadi, selama kalian belum menikah, Diningrat hanya akan mengulur waktu pelunasan. Jangan membuatku rugi," ekspresi perempuan paruh baya tersebut benar-benar datar tanpa penyesalan.     

Syakila menelan salivanya, dan sekejap berikutnya Gibran menyadari gadis tersebut mengambil nafas penuh, "Berapa besar hutang Baskoro pada kalian? Apa aku boleh tahu?".     

"Syakila!" netra hitam legam Gibran menatap tajam.     

Tak menghiraukan, Syakila kembali berucap, "Aku ingin tahu. Benar-benar ingin tahu" dia gigih mengujarkan kalimat ini. Penuh keyakinan menghadapi Clara dan seorang lelaki yang mematikan cerutunya dengan menekan kuat benda berasap tersebut pada meja makan keluarga.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.