Ciuman Pertama Aruna

IV-20. Suasana Hatiku Buruk



IV-20. Suasana Hatiku Buruk

0"Dulu, rumah ini lebih mengerikan sepuluh kali lipat sebelum dia datang. Bahkan tuan Mahendra tak mau pulang ke rumah induk, selepas kembali dari tugas kuliahnya. Jadi, kau masih lebih beruntung saat ini. Dan menurutku, nona akan terbiasa suatu saat," hanya itu yang diucapkan Susi.     

"Apa kau tak sadar?! Kau belum menjawab pertanyaanku?" Protes Kihrani.     

"Bagaimana aku bisa bertahan? Sebab orang-orang di rumah ini sejujurnya baik, walaupun mereka sering kali bersinggungan satu-sama lain. Mereka tidak pernah marah dan menjadikanmu seolah bawahan yang tak berdaya. Benar, kita harus menghormati mereka —bukan hanya kita sebenarnya, bahkan semua orang diluar sana juga melakukannya dengan suka rela," monolog Susi timbul tenggelam, perempuan tersebut hampir hilang dibawa kantuk. Kakinya masih sempat mendorong kaki Kihrani yang mendekapnya.     

"Baik?" ada gerakan memutar mata, "Bukankah, para lelaki di keluarga ini terlihat sangat kejam? Padahal nona Aruna, ibu Gayatri apalagi nyonya Sukma —dia sangat ramah baik dan pengertian," Kihrani merebahkan punggungnya membiarkan Susi terbebas. Mengangkat tangan seolah tengah berpikir mendalam sambil mengingat-ingat. Betapa menakutkannya diberi pertanyaan oleh tuan muda Djoyodiningrat, apalagi lelaki paruh baya bernama Wiryo yang bahkan ia tak punya percaya diri untuk mengangkat mata guna menatap pria yang dipanggil tetua tersebut. Padahal, dia hanya mirip manusia tak berdaya di atas kursi roda.     

"He' hehe," Susi tertawa kecil, membalik tubuhnya menatap gadis polos dari sudut pandangnya, "Mereka ditumbuhkan seperti itu secara turun temurun. Singa harus di ajari berburu, dan itu yang dilakukan pendahulu keluarga ini. Menjaga tradisi. Yah, walaupun tradisi yang dipaksakan kadang mampu merenggut banyak kebahagiaan namun hasilnya bisa dilihat," matanya mengamati ekspresi Kihrani yang menatap langit-langit kamar lalu secara refleks ajudan senior tersebut mengikuti tingkahnya, bahkan ia tak merasa risih tatkala surai hitam legam milik gadis tersebut menyebar keseluruh bantal yang ditiduri.     

"Bagaimana seseorang bisa ditumbuhkan dengan aura yang semengerikan itu? Dia berbicara dengan intonasi kaku dan matanya seperti pedang yang bisa menghunus tiap saat," kalimat gadis ini menggantung di udara. Mengingat betapa takutnya dia membayangkan keadaannya beberapa menit lalu, melihat perempuan bersimbah air mata yang telah mengering _pasti nona sangat kesulitan_ gumaman ini disimpan di dalam hati. Lalu kembali meringkuk memeluk lengan Susi.     

"Tenanglah, lama kelamaan juga terbiasa. Sekarang tugasmu adalah berlatih lebih keras! Tuan Hendra tidak akan membiarkan karyawannya yang tidak memiliki kapasitas dan kinerja bagus hidup tenang," Susi menggerakkan bahunya, mencari tahu apakah gadis tersebut masih mendengarkan ucapannya, "Hai! Kihran?"     

"Hemm,"     

"Kau mendengarkanku??"     

"Iya," jawab Kihrani enggan.     

"Jangan katakan 'iya', bilang 'baik senior'!" Suara Susi memperingatkan, "Minggir. Jangan gelayutan di lenganku!" dia berusaha mendorong tangan gadis tersebut.     

"Iya. Iya! Aku akan menjatuhkanmu dalam latihan besok," gadis ini menggerutu tapi tangannya tak mau lepas. Memeluk kian erat lengan Susi.     

"Dasar manja!" kesal Susi, yang pada akhirnya membiarkan dirinya terjerat dan tidur dalam posisi dipeluk juniornya yang paling manja _tidak tahu diri! Ah' berani sekali anak ini!_ batinnya dengan wajah kesal bercampur senyum tipis.     

***     

Lelaki bermata biru menutup makan malamnya. Mendekati ranjang sulur bunga lili dengan gerakan halus dan tak menimbulkan suara, masuk ke dalam selimut. Tangan kanannya hadir perlahan menyapa baby di perut dengan usapan lembut. Detik berikutnya mendekap tubuh mungil tersebut.     

"Kau sudah pulang?" perempuan yang didekap bersuara. Sepertinya dekapan Hendra terlalu kuat sehingga Aruna terbangun.     

Lelaki yang hampir saja larut dalam kantuk, kembali membuka matanya lebar-lebar, "Ya. Aku tidak tahan berjauhan denganmu lebih lama," kepalanya bergerak mendekati wajah dan memberi perempuan tersebut kecupan hangat di pipi, "Jangan mengunci pintu lagi, kau membuatku frustasi," ujarnya lembut di telinga.     

Aruna bergerak lebih banyak membebaskan diri dan mencoba mengambil nafas, lalu membuang udara tersebut dengan nada lelah, "Aku hanya ingin hidup seperti orang normal," matanya menatap enggan suaminya.     

"Kau akan mendapatkan segalanya. Kemarilah! Jangan menjauh," tangan Mahendra menjulur ke arah perempuan yang sengaja memberi jarak dengan dirinya. Dia mencoba meraih dagu Aruna ketika netra coklat tersebut memberi tatapan tajam pada dirinya.     

"Jangan membual! Lebih baik diam, daripada tak bisa memenuhi janjimu." Dan tubuh perempuan tersebut memunggungi lelakinya begitu saja.     

"Ayolah, sayang! Jangan menyiksaku. Aku bahkan tak sempat istirahat barang sejenak, demi berada di dekatku malam ini," Mahendra memburu perempuan mungil tersebut. Bergerak secepat dia bisa, mendekap sekali lagi tubuh istrinya. Mendaratkan kecupan-kecupan lembut di punggung, tepat di bawah leher Aruna.     

Kecupan yang awalnya ringan, berubah jadi memerah di seputar leher belakang, "Apa kita perlu pergi ke dokter besok? Aku punya waktu sehari untuk menemui dokter Martin, mengatur jadwal operasimu" Kalimat Mahendra mencoba mencairkan suasana.     

"Bahkan kau tidak tahu, aku sudah mengcancel permintaan mu pada dokter Martin," ujar Aruna mendorong tubuh suaminya agar sejenak memberi kesempatan untuk dirinya leluasa.     

"Maksudmu?" Mahendra mengerutkan alisnya. Ekspresi ini tidak bisa dilihat langsung oleh Aruna, sebab ia masih setia memunggungi suaminya. Akan tetapi, perempuan tersebut bisa menangkap nada protesnya.     

"Biar aku bicara dulu," dia merebahkan tubuhnya. Dan tanpa aba-aba, lelaki bermata biru kembali mendekat. Mendekap dan mengendus lehernya, "Apakah mengobrol sebentar itu sulit? Beri aku waktu sebelum kau minta itu!" didukung rasa jengkel serta hormon ibu hamil, Aruna berbicara dengan nada tinggi.     

"Hai, aku hanya sedang merindukanmu  sayang. Kenapa nadamu meninggi?" Mahendra syok. Spontan melepaskan istrinya.     

Netra coklat itu melebar, "Karena kau tak memberiku kesempatan bicara. Apa aku salah minta waktu bicara?".     

"Tidak, tidak salah," lelaki tersebut menekan degup jantung di hatinya. Mencoba memahami suasana buruk yang tergambar di wajah istrinya.     

"Aku mengcancel operasi punggung ku setelah lahiran. Kau pasti tidak tahu kan, alasannya apa?" Mahendra menggeleng, "Karena aku akhir-akhir ini sering mengalami serangan panik. Kau juga belum tahu seberapa seriusnya kondisiku kan?" lanjut Aruna dengan wajah muram.     

"Aku tahu. Aku sangat tahu," lelaki tersebut ingat jelas bagaimana istrinya akan berteriak ketakutan ketika malam hari ditinggalkan di kamarnya sendirian.     

"Jadi, aku ingin kau mengantarku memeriksa keadaan baby seperti ibu hamil pada umumnya, pergi ke dokter kandungan," pinta Aruna, nada bicaranya serius.     

"Bukankah tiap minggu dan tiap saat ada dokter kandungan yang bisa datang kapan saja ke rumah ini?" kalimat Mahendra menyelaraskan pemahaman dengan istrinya.     

"Iya kau tahu, tapi kau bahkan tak punya waktu melihat gerakan baby kita di layar USG," gerutu Aruna, "Aku, aku ingin seperti perempuan-perempuan lainnya, punya kenangan datang ke klinik dokter kandungan dan mengantri dengan suaminya di bangku antrian lalu diantar berdua masuk ruang pemeriksaan. Aku mau yang seperti itu," monolog panjang yang diakhiri desah nafas lelah.     

Mahendra yang menatap lekat istrinya, sempat menggigit bibirnya sendiri demi tak keluar senyum yang dia tahan, "Aku antar besok," dia menganggukan kepala, "Aku antar kau kemana saja. Jadi sekarang kemarilah, beri aku kesempatan memelukmu malam ini," dia merayu perempuan yang sudah berada di tepi paling kiri ranjang motif sulur bunga lili.     

.     

.     

"Sayang, aku menginginkanmu," tangan lelaki itu sudah mendekap salah satu bulatan padat berisi dan siap meremasnya.     

"Maaf," Aruna membebaskan bagian tubuh yang hampir diremas suaminya.     

Mahendra terbungkam dan tangannya menggenggam, "Kenapa?" suaranya parau.     

"Suasana hatiku sedang buruk. Sangat buruk, sampai rasanya aku ingin sendirian. Jangan minta lebih hari ini. Kumohon, biarkan diriku istirahat," Ada nafas lelah yang Kembali didesahkan Aruna.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.