Ciuman Pertama Aruna

IV-19. Interogasi Ajudan perempuan



IV-19. Interogasi Ajudan perempuan

0Langkah kakinya perlahan melewati benda-benda kecil dan sekelompok peralatan kerajinan tangan yang menyebar di sisi lantai, menaiki ranjang perlahan lalu menjatuhkan kecupan di dahi perempuan mungil yang mendapatkan tatapan hangat.     

"Kau membuatku tak bisa bernafas sepanjang hari, dan ternyata –tidur begitu saja?" Netra biru itu masih enggan melepaskan tatapan. Kembali mendekat, menyesap bibir istrinya yang masih saja terlelap —mirip seperti dirinya yang dulu. Lelaki yang hobi mencuri demi mendapatkan bibir merah menggoda yang menjadi candu, dan perempuan mungil tersebut akan tetap hilang terbawa mimpi. Tidur seperti tak akan bangun sampai esok pagi.     

"Bersihkan dirimu. Kau baru melalui perjalanan, tak baik mendekati istrimu," Mommy Gayatri menyenderkan bahunya pada pintu terbuka. Mengamati putranya yang masih lengkap menggunakan stelan dan tas kerja ditangan kanannya.     

"Ya, anda benar," Hendra sampai detik ini masih kesulitan memanggil ibunya dengan panggilan lain selain 'anda', walaupun intonasinya sudah banyak berubah.     

Dia turun dari ranjang, melonggarkan dasi dan melepas jam tangan. Ketika mommy-nya memanggil dua orang sekaligus untuk merapikan barang-barang berukuran kecil yang tersebar di lantai.     

"Tinggalkan itu!" Suara Hendra mendesah selepas keluar dari kamar mandi dan mendapati hasil karya istrinya yang akan dibawa pergi oleh salah seorang asisten rumah induk.     

Melihat asisten tersebut nampak terkejut, Mahendra mengacungkan telunjuknya ke arah nakas dan dua orang yang sedang bekerja buru-buru memenuhi permintaannya.     

Pria dengan mata sebening kristal tersebut menatap sekilas salah satu dari dua orang pelayan, dia mengenali baju ajudan yang tak dikenali, "Aku mau kau yang baju hitam, tinggal sejenak!".     

Mahendra menjadikan Tika buru-buru keluar dari pintu kamar dan menyisakan Kihrani yang membatu, bertolak belakang dengan dadanya yang bergemuruh hebat.     

Tuan muda tersebut membiarkannya berdiri tanpa melakukan apapun ketika dia kembali menyeret tas kerjanya ke atas meja, lalu mengeluarkan sekelompok berkas dan mengamatinya dengan lambat seolah Kihrani tidak ada di sana sehingga gadis tersebut kian tertekan.     

"Apa kau bisa membantuku mengoleskan lotion terapi ke kaki dan lengan istriku?" Melirik sekilas laptop asing yang masih terbuka di atas meja kerjanya. -layarnya sudah mati-.     

"Tentu, tuan," segera Kihrani menjawabnya. Mengembara mencari lotion terapi yang dimaksudkan, akan tetapi dia tak bisa menemukan apapun.     

Sejalan dengan gadis yang tengah kebingungan mencari benda yang di maksud tuannya. Lelaki bermata biru yang tak fokus pada perintahnya, bergerak duduk di meja kerjanya. Menggeser laptop yang dia sadari bahwa benda tersebut milik istrinya.      

"Maaf, dimana saya–"      

"Laci meja rias, nomor dua dari bawah," singkat Mahendra memberi jawaban, dengan mata masih fokus pada layar laptop yang baru dinyalakan kembali selepas menancapkan pengisi daya.     

Dibalik kesibukan tuan muda Djoyodiningrat mengamati isi folder dan berkas terakhir yang dibuka istrinya. Ajudan muda tersebut naik ke atas ranjang dan mulai mengoleskan lotion pada permukaan lengan yang di sibak perlahan kain memanjang, pembungkus lengan sang nona.     

"Apa kau ajudan yang datang ke rumah ini atas permintaan istriku," suara Mahendra benar-benar datar, seolah tak sedang bertanya jawab. Matanya masih fokus pada layar. Tapi kalimatnya menghunus orang lain yang kini sibuk meraih telapak tangan kedua nona yang disebut 'istri' lawan bicaranya.     

"Benar," singkat Kihrani menjawab.      

Lelaki yang menjadi lawan bicara ajudan tersebut menutup layar bertuliskan Umbrella Statement. Kemudian meraih berkas-berkas yang ia keluarkan dari tas kerjanya.      

Mengamati satu persatu lembaran kertas berwarna putih, dan kembali berujar, "Berarti kau yang memiliki keistimewaan datang dan pergi dari rumah induk tiap hari?".     

"Iya," sama seperti Mahendra, ajudan muda ini menjawab pertanyaan tuannya tanpa menatap keberadaan sang pewaris Djoyodiningrat yang membuatnya merinding takut semenjak pertama bertemu.     

"Berarti tadi siang, kau juga yang menuruti permintaan istriku," Dia yang bicara meletakkan berkas-berkas di tangannya,"Keluar rumah ini dengan motor tanpa izin dariku?" Matanya menyorot tajam.     

Spontan botol di telapak tangan Kihrani terjatuh, "Ma-maafkan saya," gadis tersebut menyadari dirinya di tatap, "nona mengatakan dia sangat–"     

"Tersiksa? Jenuh? Bosan?" suara Mahendra memutus penjelasan lawan bicaranya. Nadanya tidak keras, hanya saja penuh tekanan —tanda pria tersebut memendam kecamuk yang Kihrani pahami sebagai kemungkinan terkait: bisa jadi dirinya akan di skorsing seperti ajudan-ajudan perempuan yang lain.     

"Bukan," buru-buru Kihrani meluruskan, "Dia sangat ingin naik motor. Nona terlihat senang secara berlebih, em' ketika menjadi penumpang saya," beberapa kata terakhir diucapkan ajudan muda tersebut dengan ritme yang lambat.     

"Aku tahu dia menyukainya," Hendra kembali meraih berkas yang sempat diletakkan di atas meja, dan ajudan muda tersebut pun sama. Kihrani buru-buru meraih lotion dan melanjutkan pekerjaannya.     

"Berarti kau teman yang dia ceritakan? Kenapa hari ini tidak pulang?" Hendra tahu gadis tersebut harusnya pulang jam lima sore.     

"Besok ibu Gayatri memberi saya izin cuti, dengan syarat membantu Susi malam ini. Beberapa ajudan senior masih di skors," tidak ada yang lucu dari kalimat ini tapi Mahendra mengumbar tawa cemooh. Mungkin dia sedang menghina cara kakeknya memberi hukuman, atau menertawakan dirinya yang seolah terlihat tak tegas.     

Lelaki bermata biru bangkit dari duduknya selepas menata berkas-berkas di atas meja kerjanya, tepat ketika Kihrani turun dan meletakkan lotion di laci yang sama.     

"Jangan pernah sekali pun menuruti permintaan istriku, kecuali mendapatkan izin dariku. Aku tahu, kau temannya. Bukan berarti kau bisa mengabaikan aturan-aturan yang kubuat untuk Aruna," yang Mahendra tahu antara hubungan Kihran dan istrinya adalah pertemanan erat, sebab perempuan mungil tersebut pernah terdapati keluar dari lift setelah menguncinya di kamar VIP Djoyo Rizt Hotel. Hari dimana Aruna menuruni lift seolah akan kabur bersama gadis tersebut.      

"Iya tuan,"      

"Satu lagi. Kenapa dulu kau bersikeras ingin menemui Aruna, sampai-sampai mengelabui Alvin?" Sepertinya rasa penasaran Mahendra masih belum terpuaskan kala itu.      

"Em, kejadian di hotel anda?" Kihrani coba mengkonfirmasi.     

"Iya. Aku hanya penasaran," Hendra merapikan selimut istrinya ketika Ratna memasuki pintu kamar tersebut, mengantarkan hidangan malam untuk tuan muda Djoyodiningrat.      

"Saya," anak mata Kihrani melirik Ratna tengah menata kudapan di atas meja, yang lekas disambut tuan muda tersebut, "Anda bisa bertanya langsung pada istri anda," ini jawaban paling sempurna menurut gadis tersebut, agar tak perlu di interogasi lebih panjang lagi. Sehingga harapannya bisa keluar kamar ini bersama dengan asisten rumah induk tersebut, berhasil.     

.     

.     

Malam hari kala Kihrani diizinkan tidur di kamar Susi, gadis tersebut memeluk punggung ajudan seniornya erat-erat. Padahal dia sudah berulang kali mendapatkan penolakan bahkan dipukul bantal.     

Memeluk Susi seperti mendapatkan kehangatan ibu yang menghilang lama. Ajudan senior tersebut super disiplin namun dibalik itu semua Kihrani tahu, dia perempuan hangat yang penuh tanggungjawab.     

"Bagaimana kau bisa bertahan berada di rumah ini bertahun-tahun?" Tanya gadis berambut hitam yang menyebar keseluruhan bantal.      

"Tolong di ralat, yang benar puluhan tahun!" suara Susi ketus.      

"Wah, puluhan tahun ya? Bagaimana bisa?" Seolah tak tersinggung, Kihrani kembali mengulang pertanyaannya.      

"Bagaimana kau bisa bertanya seperti itu?" Bukannya menjawab, Susi balik melempar pertanyaan.     

"Nona Aruna, aku tahu dia menangis," Kihrani sempat mengamati wajah perempuan terlelap dengan mata sembab.      

"Dulu, rumah ini lebih mengerikan 10 kali lipat sebelum dia datang. Bahkan tuan Mahendra tak mau pulang ke rumah induk selepas kembali dari tugas kuliahnya. Jadi kau masih lebih beruntung saat ini. Dan menurutku, nona akan terbiasa suatu saat," hanya itu yang diucapkan Susi.      

"Apa kau tak sadar?! Kau belum menjawab pertanyaanku?" Protes Kihrani.      

"Bagaimana aku bisa bertahan? Sebab.. … …      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.