Ciuman Pertama Aruna

IV-18. Dada Bergemuruh



IV-18. Dada Bergemuruh

0Kelopak mata dengan bulu-bulu panjang nan lentik membuka, menampilkan netra coklat dari perempuan hamil. Gemuruh di dadanya turun sejenak.     

Akhir-akhir ini, dia merasa dadanya sering berdebar-debar. Kadang kala, debaran itu membuatnya tertekan. Terutama saat Mahendra yang sebelumnya lebih banyak berada di dekatnya harus kembali beraktivitas.     

Perempuan tersebut seperti seseorang yang baru merasakan cinta dan takut lelakinya jauh-jauh dari dirinya.     

Apakah egois saat diri ini ingin selalu berada di dekat lelaki yang dicintai, setiap saat?. Lagi-lagi logikanya mendesak, bertanya kepada dirinya sendiri.     

_mengapa aku jadi begini?_ masih dengan hati berkecamuk tanpa tahu apa alasannya dan mengapa demikian, Aruna menuruni ranjang, menatap keadaan dirinya dari cermin rias.     

_chubby_ dia mengejek dirinya sendiri. Menegakkan punggung, memperhatikan perutnya yang menonjol.     

Sepertinya baby di dalam perut mewarisi gen ayahnya, Mahendra. Perutnya lebih besar dari kebanyakan perempuan hamil di usia lima bulan, menuju enam bulan. Bahkan lebih mirip perut ibu hamil tujuh bulan.     

Mengusap perutnya dengan gerakan memutar, membangkitkan rasa lapar. Aruna keluar menuruni tangga dan menjadikan seluruh penghuni rumah induk yang berpapasan dengannya terlihat lebih sumringah.     

_Aku terlalu terbawa perasaan_ benak Aruna menyadari dia memiliki segalanya. Walaupun suaminya tipe manusia super protektif dan tiap saat berperilaku seperti itu, sejak awal dan tak perlu diperdebatkan, _Bahkan setiap saat dia gila!_ monolog-monolog dalam hati yang mengiringi gerak tangan membuka kulkas, dan spontan buru-buru didekati asisten rumah tangga.     

_huuhh, mengambil jus saja akan dibantu??_ tersulut lagi emosinya. Sekian detik menatap kesal pada pelayan yang tengah sigap menata gelas untuknya. Lalu lekas bergeleng singkat —berusaha sadar diri, ini rumah keluarga suaminya yang bahkan dirinya bisa meminta asisten rumah ini menggaruk kakinya yang gatal. Termasuk meminta kuku-kuku dipotong ketika memanjang. Tapi, dia malah emosi karena itu membuatnya merasa seolah diperlakukan seperti orang lumpuh. Aruna belum terbiasa dengan fasilitas yang disediakan oleh keluarga konglomerat.      

Hamil di rumah ini menjadikan dirinya setara tuan putri di negeri dongeng. Membuat segalanya di nomor satukan, sekaligus dilumpuhkan dari semua aktivitas. Padahal jika dia mau, Aruna bisa melakukan apa saja. Akan tetapi perempuan tersebut malah merasa sedikit tersiksa dengan keadaannya sekarang.      

Aruna menegak jus jeruk dari wadah tanpa menuangkannya pada gelas yang disusun oleh asisten rumah induk.     

Merasa sudah cukup minum, perempuan tersebut meletakkan wadah jus dengan gerakan cepat hingga menimbulkan bunyi 'brak' pada batu pualam hitam. Membuat salah seorang asisten rumah induk yang membantunya sempat mengamati gerak-gerik tersebut dengan ekspresi tak jenak. Biasanya nona Aruna lebih sopan, pasti begitulah yang ada di dalam benak pelayan tersebut.     

"Suasana hatiku sedang buruk, jangan khawatir!" Lugas Aruna bicara, tatkala mendapati ekspresi asisten tersebut.     

"Apakah anda lapar? Anda mau yang masam-masam atau yang manis-manis?" Pelayanan tersebut mencoba memberi penawaran.      

"Tidak! Aku hanya sedang bosan. Apa kamu tahu, apa yang harus dilakukan saat bosan?" Dia mencoba meminta solusi.     

"Em, menonton film?" Sang asisten ragu-ragu berucap.     

Ada gelengan kepala dari nonanya, "Itu bukan hobiku,"      

"Em, berenang, olahraga?" Gerakan menggaruk sudut alis tertangkap mata, tanda asisten tersebut tengah berpikir keras.     

"Itu hobi mommy, but not Me," kembali Aruna menggeleng, sambil menunjuk dirinya sendiri.     

"Bagaimana dengan-"      

"Tunggu, sebentar! Aku punya ide," dan perempuan tersebut berlari ke kamarnya. Membuka laci-laci persembunyiannya dari ruang display baju. Dia keluar dan masuk kembali, beberapa kali. Hingga terdapati salah satu sisi lantai di kamarnya penuh pernak-pernik. Berhamburan, antara manik-manik, gumpalan-gumpalan benang, dan sekelompok peralatan pembuat aksesoris.     

'semua orang terbelenggu. Bukan bagaimana memikirkan kebebasan, yang terpenting bagaimana kita bisa menemukan cara menghadapinya'.      

Damar selalu punya kalimat yang tepat untuk diingat sesaat. Perempuan hamil ini seperti kembali mengenang banyak hal dan larut masuk kedalam memori masa-masa SMA dan kuliah yang menyenangkan, sebelum makhluk bernama Mahendra datang.     

Aruna membuat sebuah gelang tangan kecil yang akan dihadiahkan pada babynya. Awalnya hanya itu, akan tetapi berakhir dengan sepatu rajut dengan tempelan bunga warna-warni yang mencolok, lalu melebar ke bandana-bandana lucu yang membuatnya lupa —dia bahkan belum tahu jenis kelamin bayinya.     

Mahendra tidak punya waktu mengantarnya ke dokter, hingga akhirnya dokter-dokter tersebut yang datang ke rumah induk. Dan tak satupun diizinkan mencari tahu apa jenis kelamin bayinya. Semua orang setuju menjadikan hal tersebut sebuah kejutan untuk keluarga yang mengharapkan keturunan selama bertahun-tahun.     

Benda-benda buatannya berakhir pada insta story sosial media yang sempat dihapus demi ketenangan hati. Seiring dengan berjalannya waktu, Aruna mulai bisa menata hatinya dan hal tersebut menjadikannya terdorong untuk memasangnya kembali.     

Betapa terkejutnya perempuan tersebut. Akun sosial media yang dia locked, memiliki permintaan pertemanan yang membludak. Bukan lagi ratusan, tapi jutaan.     

_gila sekali!_ batinnya terpana. Mengabaikan permintaan diluar nalarnya. Aruna tak membuka sosial medianya sejak kasus perceraian menimpa dirinya.     

Story foto-foto terkait pernak-pernik baby menjadikan dirinya mendapat ucapan selamat, termasuk Dhea yang menghujaninya dengan ribuan pertanyaan.     

Apakah kau sudah sehat?      

Bagaimana kabarmu?      

Aku merindukanmu!      

Kau tak akan percaya, lily cuti kuliah. Dia fokus mengembangkan Miracle Waves bersama kakakmu. Proyek itu membuatnya bersemangat.      

Oh' Aruna, kau tahu siapa yang menjadi winner di ajang desain produk Djoyo Makmur group? Kau tak akan percaya, Vira menjadi nomor satu. Dan tentu saja, jurusan kita bakal menjadikannya lulusan terbaik.      

Aku hampir gila merindukanmu, ayo kita bertemu! Outlet surat ajaib sudah berdebu, aku lelah membersihkannya sendirian.     

Netra coklat tersebut berkaca-kaca sebab belum siap menelepon sahabat terbaiknya, Dhea. Selama tragedi yang menimpa dirinya belum benar-benar tuntas di usaikan, Aruna memutuskan membatasi komunikasi dan itu juga saran dari Mahendra. Suaminya perlu memastikan dirinya tidak mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seputar kejadian naas yang menimpanya. Lelaki bermata biru takut, komunikasi-komunikasi diluar kendali bisa membuat istrinya lebih terguncang lagi.     

Semua hal yang disampaikan oleh Dhea membuat Aruna bisa membayangkan, bagaimana sahabatnya akan banyak bicara ketika mereka bertemu. Dan itu pasti menyenangkan —mengingat perempuan berhijab tersebut yang bahkan sama sekali tidak menanyakan tragedi terburuk yang hampir merenggut nyawanya.     

Aruna tahu, sahabatnya punya hati halus dan mudah terenyuh, pasti lah Dhea memilih tidak menyinggungnya pada kesempatan komunikasi langka ini. Yah, kecuali perihal Vira. Ini sangat menyebalkan.     

Tangan mungilnya tergerak membuka laman kampusnya, ada dua artikel terkait pencapaiannya. Dia membaca lamat-lamat semua informasi yang tersaji, dan Aruna merasa bahkan ide desainnya dua kali lebih hebat dari Vira. Bedanya, dia tidak punya kesempatan.     

Puas dengan rasa ingin tahunya, Aruna bangkit dari selasar lantai yang di duduki. Dia buru-buru menuju almari di sisi rak buku, dan berkas-berkas suaminya yang mendominasi. Mengambil laptop miliknya, dan segera menyalahkan benda usang tersebut.     

Entah mengapa rasa gundahnya kian menjadi-jadi. Aruna menangis hebat tanpa sebab hanya karena membuka konsep desain dengan metode Umbrella Statement. Mungkin perempuan tersebut teringat momen ketika mewawancarai Mahendra dan beberapa orang di bawah naungan Djoyo food&drink, perusahaan makanan yang menawarkan challenge tersebut.     

Segalanya tinggal finishing, akan tetapi kesempatan tersebut lenyap seketika dalam satu malam bersama tragedi hebat yang menerpanya.      

Aruna yang lelah merasa bodoh dengan menangisi kesia-siaan, kembali merebahkan diri di atas ranjang super size. Lalu hilang dibawa kantuk. Dia benci dirinya tak berdaya menghadapi gerbang yang menjadi pembatas dunia dongeng rumah induk dan manusia biasa di luar sana.      

***     

"Beraninya kau mengunci pin–" Mahendra menelan sisa kalimatnya ketika ia bisa membuka pintu kamar dan mendapati segalanya berantakan.      

Dengan segala pertimbangan dan memilih menyelesaikan segala urusan bisnis dengan buru-buru, lelaki bermata biru memutuskan mengakhiri masa dinasnya lebih cepat dari rencana awal -dua hari- tanpa jeda sejenak untuk rehat, demi segera menemui istrinya.     

Lelaki tersebut bahkan uring-uringan setelah mendengar kabar pintu kamar dikunci istrinya. Dengan sangat bijak, Mahendra memilih untuk memadatkan jadwal dan segera pulang. Dari pada seluruh timnya terbawa suasana hatinya yang tak terkontrol.     

Langkah kakinya perlahan melewati benda-benda kecil dan sekelompok peralatan kerajinan tangan yang menyebar di sisi lantai, menaiki ranjang perlahan lalu menjatuhkan kecupan di dahi perempuan mungil yang mendapatkan tatapan hangat.     

"Kau membuatku tak bisa bernafas sepanjang hari, dan ternyata –tidur begitu saja?"      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.