Ciuman Pertama Aruna

IV-17. Perayaan Menjenuhkan



IV-17. Perayaan Menjenuhkan

0[Dimana kamu?!] suaranya menuntut.     

[Aku, em-]     

[Katakan saja dimana lokasinya?!!] dia semakin mendesak.     

[Hen, aku hanya pergi ke salon] suaranya tidak terdengar lagi sebab sambungan telepon dimatikan sepihak oleh Mahendra.      

_Dia benar-benar marah_ pikir Aruna. Raut mukanya berubah drastis. Masam, dan lunglai. Mommy Gayatri yang menyadari hal tersebut mencoba memberikan pelukan hangat. Meyakinkan bahwa putranya Mahendra terlalu mencintainya sehingga tak membiarkan istrinya berkeliaran sesuka hati.     

Sayang, kalimat-kalimat penenang yang hadir dari suara halus mommy Gayatri tidak mampu meredam gundah hati perempuan hamil tersebut.     

Mereka masih di dalam salon menikmati treatment terakhir yaitu finishing rambut, ketika sekelompok ajudan laki-laki yang tak asing datang menjemput kedua perempuan Djoyodiningrat tersebut.      

Ajudan yang paling plegmatis dengan bakat patuh yang tidak dapat diragukan —mendekat, memberi senyum hangat.     

Tak ada pembicaraan sepatah katapun. Kedua perempuan ini tahu, mereka sudah kehilangan waktu bermain-mainnya. Aruna dan mommy Gayatri telah tertangkap dengan mudahnya.     

"Nona, anda diizinkan berbelanja, asal kami ikut serta," Alvin berdiri di dekat mobil hitam dan sebuah kendaraan beroda empat lain tidak jauh dari keberadaan mereka, dimana Wisnu tertangkap keberadaannya disana.     

Dua mobil berjajar beriringan, termasuk motor matic yang dibawa dua ajudan perempuan ikut di belakang dan memilih jalan lain supaya lebih cepat sampai di rumah induk.     

"Nona, anda mendapatkan panggilan dari tuan Hendra," lagi-lagi Alvin membalik tubuhnya dari kursi penumpang di depan, menyodorkan handphonenya kepada Aruna yang sengaja membiarkan smartphonenya sendiri mati.     

"Aku sedang malas bicara. Aku ingin tidur," perempuan hamil tersebut lekas berputar mengarah pada jendela, menatap jalanan padat dan memiringkan kepalanya. Dia memunggungi kesemuanya. Perlahan matanya benar-benar tertutup, jelas tidak mau diganggu. Menutup diri dan segala kemungkinan untuk berkomunikasi dengan siapapun.     

Buru-buru mommy Gayatri mengibaskan telapak tangan kanan, supaya Alvin tak lagi mengganggu Aruna.     

Sesampainya di rumah induk. Perempuan dengan mata coklat yang biasanya berbinar menyapa semua isi rumah, tak lagi terlihat sama. Dia membeku tanpa suara, berjalan tenang melewati lorong-lorong rumah megah tersebut. Tidak ada kata sapaan, apa lagi senyum hangat, dan langkah kaki riang yang sering ia tunjukkan.     

Perempuan tersebut berjalan lebih cepat menaiki tangga kemudian memasuki kamarnya. Pintu ukir Jepara yang menjulang tinggi itu ditutup rapat, dan benar-benar menguncinya.     

Aruna menghambur diatas sulur bunga lily. Meluruhkan dirinya di hamparan kasur luas berwarna putih tersebut. Berdiam diri cukup lama, sampai akhirnya tertidur pulas.     

Dalam mimpinya pun, dia masih tenggelam pada perenungan. Mengapa dirinya tidak dimanja layaknya perempuan-perempuan yang dinikahi para konglomerat? Mengapa jiwanya kini suka sekali menuntut? Bukankah, dulu dirinya begitu tegar dan tak peduli dengan hal-hal seperti itu. Entahlah.     

.     

.     

Di luar kamarnya, tatkala salah satu asisten rumah tangga mengetahui pintu itu terkunci rapat. Dua perempuan yang memiliki misi utama, yakni berusaha membuat perempuan mungil tersebut bahagia, merasa sedikit gagal dan mulai mencari kambing hitam.     

Tentu saja kambing hitam paling tepat ialah Mahendra. Lelaki yang paling pandai membuat si mungil kesayangan tersebut terluka.     

[Hen,] telepon itu berdering. Memaksa lelaki yang sedang berbincang ramah kepada beberapa pasien yang juga para pekerjanya -yang tengah berbahagia mendapatkan tamu istimewa sang direktur utama-, mundur sejenak.     

Kabar istrinya membuat Mahendra terdiam. Melirik jam monolog yang melingkari pergelangan tangan, masih sambil mendengarkan omelan oma Sukma terkait [Berapa kali aku harus bilang! Membuat suasana hati ibu hamil bahagia bukan perkara mudah]     

[Aku tidak mau cucu ku murung. Aku tidak mau dia mewarisi suasana hatimu yang berubah-ubah. Aku mau dia ceria seperti Aruna yang biasanya!]     

[Jangan sampai pula cicitku jadi anak yang pemurung, yang tidak merasa bahagia selama ada di kandungan ibunya!]     

Hendra menggerakkan jemarinya, memanggil Herry supaya mendekat. Mendengarkan celoteh perempuan paruh baya yang kadang kala membuat telinganya panas.     

[Oma]      

[Ya?]      

[Sepertinya anda butuh air, jangan buat tenggorokan anda bekerja keras] dia menutup telepon tanpa peringatan.      

***     

Makan malam keluarga Diningrat tak seperti keluarga-keluarga yang lainnya, sebab hal tersebut sangat langka terjadi. Hanya untuk sesuatu yang besar dan penting, hingga mereka bersedia berkumpul di meja yang sama untuk menikmati kehangatan keluarga.     

Dan bagian yang penting tersebut tidak lain adalah adanya keinginan perempuan yang menuju usia kepala tujuh —kesekian kali, tengah berulang tahun. Tidak ada lilin yang melambangkan usianya. Tidak ada cake yang berlumur butter sebagai pertanda adanya perayaan.     

Perempuan tersebut sangat membenci hari kelahirannya —mungkin. Sebab, tiap kali upacara kelahiran dirinya, dia akan menggerutu pada putranya. Menanyakan seperti apa kinerjanya, pencapaian yang keluarganya raih, dan berbagai macam pertanyaan lain yang kadang membuatnya bosan sebab tak sesuai dengan apa yang ia harapkan.      

Rio menatap ibunya -Clara- yang 40 tahun terakhir lebih sering dipanggil Juliana, dengan tatapan tertekan. Tak ada bedanya dengan Gibran dan Geraldine. Seorang gadis dengan rambut ikal buatan, dan bulu mata lentik berwarna kecoklatan yang dia dapatkan dari salon favoritnya —tengah enggan menghadiri pesta tahunan yang menjenuhkan ini.     

Tahun ini, pertanyaan yang biasa dilontarkan oleh nenek Julia tak keluar dari mulutnya. Sejak hadir di tempat duduknya, perempuan paruh baya tersebut memilih sibuk menyantap makanan yang sejujurnya terlihat hambar.     

Bagaimana tidak, Juliana atau yang memiliki nama asli Clara akan menyiapkan bubur putih dengan rasa hambar dan irisan daun bawang warna hijau yang ditaburkan bersama bawang merah goreng serta serundeng kelapa tanpa campuran daging.     

Satu mangkok bubur sederhana tersebut harus habis sebelum mereka mulai berbicara, atau bahkan selesai tanpa pembicaraan apapun.     

Terlihat di atas meja makan keluarga Diningrat, Gibran dan Geraldine enggan menghabiskannya. Sedangkan sang ayah akan berusaha menelan makanan itu secepat yang ia bisa, berbanding terbalik dengan Clara yang begitu menikmatinya.     

"Kapan kamu akan menikah, Gibran?" Perempuan yang sedari tadi lebih banyak menunduk, menikmati semangkuk bubur tersebut —mengangkat wajahnya.     

"Saya mengikuti perintah ayah. Jika ayah menginginkan segera, akan saya segerakan," buru-buru Gibran meletakkan sendok, menjawab pertanyaan neneknya.     

"Aku dengar, calon istrimu berada di rumah ini?" Clara menoleh sejenak pada perempuan yang berdiri di belakangnya —pertanda meminta mangkuk bubur dihadapannya segera disingkirkan.     

"Iya. Anda benar," Suara Gibran terdengar ragu.     

"Bawa dia kemari, aku ingin bertemu," kalimat ini membuat dada seorang Gibran berdetak hebat.     

Lelaki tersebut mendorong kursi, fberdiri meninggalkan meja makan. Matanya berputar-putar tanda berpikir keras perihal bagaimana cara menjadikan tunangannya layak dipertemukan dengan neneknya.     

Pada langkah kakinya menuju kamarnya sendiri, Gibran mengingat kemampuan berhias adiknya. Merogoh handphone dan segera memanggil adik perempuannya.     

[Aku mohon, bantu aku. Sekarang!]     

Geraldine sempat linglung sejenak, meminta izin dan buru-buru menemui kakaknya.     

Ketika gadis dengan rambut ikal tersebut membuka pintu kamar kakaknya, tangan dengan aksesoris cantik yang melekat di ujung kuku-kuku hasil perawatan —membekap bibirnya sebab tercengang luar biasa.     

Selama ini kakaknya, sang Gibran yang bijak dan penuh ketenangan diam-diam menyembunyikan gadis dengan ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.