Ciuman Pertama Aruna

IV-16. Celoteh Teman Lama



IV-16. Celoteh Teman Lama

0[Hallo, sayang,]     

Bip!     

***     

Dia yang baru saja menerima panggilan dari suaminya hanya mampu mendekap handphone dengan wajah tertegun. Ada getaran di dada. Ini untuk pertama kalinya dia melakukan kenakalan yang sedikit kelewatan. Tapi, bukankah di usianya yang masih muda menikmati sedikit kenakalan adalah kewajaran —harusnya tak masalah, bukan?.     

Aruna mengelus dada, meminta organ yang menyajikan detak hebat –diam dan tenang.     

"Ada apa, nona?" gadis dengan seragam ajudan yang tak paham melihat tingkah nonanya —menggugah lamunan. Membuat perempuan tersebut lekas tersadar. Mengerjapkan matanya.     

"Ada apa sayang?" suara mommy Gayatri yang baru datang. Mendekat, memberi perhatian pada menantunya yang tiba-tiba menginginkan berhenti di tepi jalan.     

"Cepat-cepat," dia menepuk pundak gadis berseragam ajudan tersebut. Meminta kembali menaiki motor maticnya, dimana perempuan hamil segera mengenakan helm, "Cari tempat sepi terdekat," gerakannya spontan ditiru mommy Gayatri dan yang lain.     

"Anda bilang ingin melihat-"     

"Itu nanti saja," kalimat Kihrani dipotong Aruna, "Kita ke Coffee shop, atau apa saja, cari tempat tenang. Ini darurat!" dan gadis di balik helm putih alias sang pengemudi motor matic lekas menaikan kecepatan. Masih dengan jangkauan kehati-hatian yang sering mendapatkan kritikan nonanya, sebab dirasa kurang cepat.     

"Nona, anda hamil. Aku tak berani ambil resiko," dalam perjalan mereka, beberapa kali perdebatan terjadi. Akan tetapi perempuan hamil tersebut bersikap acuh tak acuh sebab situasinya saat ini dirasa lebih darurat.      

Disaat sampai di sebuah Coffee shop yang sepi, Aruna lekas menyalakan handphonenya, [Sayang,] ia coba menghubungi Mahendra.     

[Maaf, nona. Tuan Hendra belum bisa di ganggu]     

[Oh' Herry, bilang aku baik-baik saja. Aku mencintainya] dia yang menitipkan pesan menghela nafas lega.      

.     

.     

Beberapa menit sebelumnya, ketika seorang ajudan junior sedang meminta izin pada mommy Gayatri. Berharap diberi kelonggaran untuk keluar dari rumah induk, alias hendak mendaftarkan diri ke perguruan tinggi untuk melanjutkan study.     

Spontan, Aruna yang sedang membaringkan tubuh sebab merasa lemas —berubah bersemangat. Diam-diam mendengarkan percakapan mereka.     

Disaat ajudan junior tersebut mendapatkan izin dan pergi dengan gerakan sigap, Aruna sudah berdiri lebih dahulu di dekat motor maticnya, "Aku ikut!".     

"Apa??" Kihrani, tentu saja lekas tercengang ketika nonanya sudah mengusai motornya, "Aku rasa ini tidak benar nona," ia coba memperingatkan Aruna.      

"Aku ingin naik motor!" Aruna tak bergeming dan mendesak.     

"Tapi saya-"     

"Tak usah tapi-tapian, aku mau ikut denganmu!" bukan lagi mendesak, kalimat Aruna menjelma sebagai perintah. Dia meminjam gaya bicara suaminya. Berulang Kihrani menolak, akan tetapi kepiawaian perempuan hamil tersebut meningkat pesat mengakibatkan ajudannya pasrah tak bisa menolak lagi kecuali menuruti.     

Tatkala sebuah motor matic melintasi pintu gerbang, prosedur pemeriksaannya tak semudah dulu. Dia yang bersembunyi di balik jaket ketahuan. Lalu satpam rumah induk yang berjaga melaporkan temuannya kepada mommy Gayatri.     

Hal pertama yang diperhatikan Gayatri adalah gerakan tubuh Aruna. Perempuan tersebut menyesal sekaligus menunjukkan kesedihan. Dia pasti ingin menikmati jalan-jalan atau minimal nuansa menghirup kehidupan diluar sana —sejenak, menghilangkan suntuk.      

Gayatri tersenyum mengamati Aruna, menawarkan hal yang mustahil di mata perempuan tersebut. Mommy Mahendra mengijinkan menantunya. ikut ajudan junior tersebut mendaftar ke kampus dengan syarat, dia -Gayatri- akan turut serta bersama Susi.     

Satpam yang berjaga sempat tercengang melihat dua motor beriringan meminta dibebaskan dari gerbang besi menjulang yang menjadi simbol keamanan dan kemisteriusan keluarga Djoyodiningrat.     

Gerbang yang tak semua orang diizinkan melewatinya, dan hanya akan terbuka bagi orang-orang tertentu. Selebihnya akan akan tertutup rapat. Serapat-rapatnya untuk yang tidak berkepentingan.      

.     

.     

-Sekarang-     

"Bagaimana?" wajah panik mommy ikut menanyakan hasil komunikasi Aruna dan putranya.     

"Aman," Aruna tersenyum cerah, "Hendra masih sibuk-" dan mommy sontak melompat memeluk menantunya kegirangan. Perempuan bermata coklat sempat terkejut bahkan kehilangan kata untuk melanjutkan kalimatnya. Sepertinya bukan dirinya saja yang tengah berbahagia, mertuanya turut menikmati kenakalan ini.      

"Em, Kihrani," gadis yang terduduk satu meja dengan nona dan nyonya-nya, terkesiap menatap Gayatri yang ternyata tahu namanya. Dia buru-buru menelan minuman yang sempat di seruput dengan sedotan, "Bagaimana kalau aku beri kamu waktu libur, -besok?" si empunya nama tertegun sekian detik, lalu mengamati Susi. Ada gerakan menunduk lirih yang ditunjukan ajudan senior kepadanya.     

"Terima kasih-" belum selesai dia berucap dengan intonasi bersemangat, nyonya keluarga Djoyodiningrat lagi-lagi meminta syarat.     

"Tapi ada syaratnya," senyum mommy mengembang penuh, "Hari ini, urungkan rencanamu. Bagaimana kalau kita ke salon dan shopping?" mata Gayatri mengembara mengamati satu persatu penghuni meja Coffee shop berbentuk lingkaran.     

Mereka saling melirik, "Apa tidak masalah, nyonya?" Susi paling gelisah dibanding yang lain.     

"Tidak, asal tidak ada yang memberi tahu Mahendra dan opa Wiryo," Gayatri coba meyakinkan mereka.     

"Bukan kah, mudah bagi mereka mengetahui perbuatan kita hari ini?," mendengar kekhawatiran Susi, Gayatri melirik Aruna.     

"Aku rasa sudah terlanjur. Kita sudah diluar, kenapa tidak dimanfaatkan?" dan layaknya sekelompok anak muda yang baru saja mendapatkan izin dari papinya untuk jalan bersama teman, kelompok perempuan ini benar-benar pergi ke mall. Berbelanja, bahkan mencicipi salon langganan para selebriti yang juga favorit mommy Gayatri.     

.     

.     

"Mommy Gayatri? Aruna?" ketika dua perempuan mendapatkan pijatan pada jemarinya yang merupakan bagian dari treatment pedikur manikur kuku, perempuan dengan baju seksi dan tentu saja mengusung brand tertentu datang menyapa. Bau harumnya merebak bersamaan dengan kibasan rambut ala iklan shampo.     

"Tania?" suara Gayatri menyapa ramah.      

"Kak Tania," Aruna pun ikut tersenyum     

Dan pemilik tubuh proporsional tersebut ikut duduk di kursi tak jauh dengan dua perempuan yang menatapnya secara bersamaan.     

"Lama tidak melihat kakak, bagaimana kabarnya?" bukannya menjawab, Tania melebarkan matanya dan memekik.     

"Kamu hamil?" suaranya antusias.     

"Iy.."      

"Berapa bulan?" ia bahkan mengejutkan pelanggan lain, dan buru-buru Tania membenarkan duduknya. Diterpa malu sebab volume suaranya yang sempat tak terkontrol.     

"Lima bulan," mommy Gayatri memberi jawaban.      

"Akhirnya, Hendra tahu juga cara-" dia langsung membisu, sadar ada ibu dari lelaki yang tengah dibicarakan —di hadapannya. Kalimat Tania spontan mengakibatkan wajah Aruna merah padam.     

"Sekarang, kamu sibuk apa?" mommy mengalihkan pembicaraan dan Aruna merasa lega seketika.     

"Apa mommy tidak pernah menonton televisi?" Tania menjawab dengan melempar pertanyaan balik.     

"Masih sibuk sebagai pemeran drama series?" suara Gayatri terdengar.      

"Oh' tidak, tapi saya masih bekerja di stasiun televisi sebagai produser acara bincang-bincang, di Nara&tv. Ah' perempuan-perempuan ini," Tania mengeluh, pemiliknya bahkan tidak tahu apa-apa terkait kerja kerasnya menghasilkan uang untuk mereka berdua, "Aku karyawan potensial di perusahaan anda berdua," dia tertawa cantik. Gerakan tangannya bahkan begitu indah, mengibas udara dan kembali menyisihkan rambut ke sela telinganya. Benar-benar terlihat elegan. Andai dia tidak diterpa rumor, pasti lah masuk jajaran artis dengan penggemar pria terbanyak, "Aruna, apa kamu tidak berminat menjadi tamu di acara kami?".     

Alis Aruna menyatu seketika.      

"Bincang-bincang yang kami produksi mengangkat tema perempuan, semua hal terkait perempuan," Tania melanjutkan kalimat dengan wajah penuh harap.      

"Aku pikirkan dulu," jawab Aruna menyajikan suara lembut.     

Perempuan yang menjadi lawan bicaranya bergerak mendekat. Penuh minat, "Seperti apa, perjuangan seorang istri konglomerat?! Ah' semua orang pasti penasaran. Ini bakal jadi tema luar biasa, –aku berani bertaruh," mata Tania mengerjap. Berbinar-binar merayu Aruna.     

"Tidak semudah itu tampil di publik," Gayatri menyela rayuan Tania, "Perlu komunikasi dulu dengan Hendra," Dia berusaha menyelamat Aruna yang tampak enggan dengan topik tersebut.     

Ekspresi raut muka Tania spontan pasrah, "Nunggu lebaran monyet baru orang itu mau mengiyakan permintaanku,". Detik berikutnya telapak tangan Tania menangkap bibirnya sendiri lupa ada ibu dari pria yang digunjingkan.     

Aruna tak kuasa menahan goncangan rasa geli di perutnya mendengarkan celoteh Tania.      

***     

[Hen, lihatlah. Aku bertemu mommy dan Aruna. Turut bahagia akhirnya kamu mampu membuktikan kalau dirimu bukan gay] sebuah stiker tertawa terpingkal mengiring pesan ini.     

Bukannya senang mendapatkan sanjungan sahabat lama. Wajah lelaki bermata biru spontan merah padam terbakar amarah bercampur resah. Selain pesan sapaan, dia mendapati istrinya tidak duduk santai di rumah.      

.     

.     

[Dimana kamu?!] suaranya menuntut.      

[Aku, em-]     

[Katakan saja dimana lokasinya?!!] dia semakin mendesak.      

[Hen..      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.