Ciuman Pertama Aruna

IV-15. Kegeraman



IV-15. Kegeraman

0"Saya tidak peduli dengan urusan anda dan lawan politik anda, atau sejenisnya. Saya sedang menuntut keamanan para pekerja saya. Kalau anda tak mampu memenuhi standar keamanan, sudah dapat dipastikan. Kami akan angkat kaki," dan semua orang yang hadir di meja meeting spontan mengarahkan pandangannya pada Mahendra.     

Sementara dia yang kini menjadi pusat perhatian terlihat memasang ekspresi tanpa beban, kecuali sebuah kegeraman yang menggerogoti aura ramahnya. Mahendra bisa menjadi sosok yang ramah di saat tertentu, terutama ketika ada keterkaitan dengan negosiasi bisnis. Walaupun kenyataannya, nama belakangnya saja -Djoyodiningrat- mampu mendorong seseorang yang paham akan sepak terjang keluarga tersebut jadi merinding.     

"Bagaimana bisa anda berpikir demikian?!" Suara melengking dari salah satu pejabat daerah yang terlihat lebih aktif bicara dari pada pimpinannya menyita perhatian. Pagi ini, andai kata bukan Mahendra sendiri yang datang, dapat dipastikan yang hadir di meja meeting ini sekedar pion saja.     

"Apakah kalian pikir, isu terkait ketertarikan kami membangun kota merupakan bagian dari charity perusahaan kami pada sektor pembangunan sosial masyarakat —sekedar isapan jempol?" Mahendra yang awalnya menyandarkan punggungnya pada kursi mulai duduk tegak, dan hal tersebut tampaknya menggangu peserta meeting yang lain.     

"Jadi, kapan saja kami mau, DM Construction bisa hengkang dari kota ini," tatapannya menyebarkan intimidasi. "Jika kami tidak memikirkan hal itu, ada banyak proyek yang lebih menjanjikan," lanjut lelaki bermata biru dengan kilat berbahaya-nya.     

"Beri saya dan jajaran saya waktu satu minggu," pimpinan utama yang sejak tadi terdiam, mulai bersuara. Lelaki yang juga gubernur di provinsi tersebut membalas tatapan Mahendra penuh harap, mencoba meredam kecamuk yang tertangkap gerak-gerik tuan muda Djoyodiningrat.     

"Apa jaminan untuk saya, terutama para pekerja saya?" Mahendra menggeser sebuah minuman yang tersaji di atas meja, lalu memegang benda bening yang terbuat dari kaca.     

"Kami akan memasang brigade aparat di sana," pimpinan yang irit bicara tersebut memperhatikan setiap detail gerakan yang disajikan Mahendra.     

"Hah! ada-ada saja," kalimatnya sangat lugas penuh ejekan,ini berbahaya. Kenyataannya tawa lirih Mahendra mendorong orang-orang dalam lingkaran meeting spontan bersitegang.     

Raka bergerak sigap memperlihatkan keberadaannya dan sebuah senjata yang disembunyikan.     

"Mudah sekali tersulut," Mahendra meraup gelas dan menegak isinya, "Saya tidak suka berbicara dengan sopan santun standar ketika sudah jatuh korban," sekali lagi air didalam gelas bening dipegang untuk kedua kali, "Kalau boleh dikata, ide menyiapkan brigade aparat adalah pilihan paling konyol yang pernah saya dengar," serentak suara kursi terdorong. Kaki melangkah cepat, dan ekspresi mengidentifikasi ditunjukkan dari kedua belah pihak.     

Tampaknya, pimpinan daerah yang dihadapi bukan sekedar seorang politikus sederhana. Buktinya, sekelompok orang yang hadir dari kubunya memperlihatkan identitas asli mereka. Para pengawal atau mungkin mafia —entahlah, yang pasti mereka sigap mengambil alih keadaan yang awalnya hanya sebuah diskusi menjadi saling memperlihatkan kekuatan. Menunjukkan bahwa kubu mereka rata-rata bersenjata.     

Mahendra tersenyum miring. "Padahal saya berniat memberi masukan yang lebih baik. Huuh," ia menghela nafas panjang. Mengatur duduknya, "Sayang sekali, pemandangan detik ini membuatku malas," gerakan merapikan jas terlihat, tanda lelaki tersebut akan bangkit dan meninggalkan ruangan meeting ini.     

"Apa keputusanmu!" Pimpinan daerah itu memperingatkan Mahendra tatkala melihat lelaki tersebut sudah berdiri, sebelum benar-benar pergi meninggalkan duduknya.      

Dia yang mendapat peringatan kembali tersenyum, "Mari kita berhitung soal keuntungan. Sayangnya, nilai untung lebih besar ada pada kubu anda, dan saya tidak mau membuat anda beruntung," sangat ambigu dan sulit diterjemahkan, membuat Mahendra mendapatkan tatapan mengerikan.     

Lelaki tersebut kembali bersandar pada kursinya, duduk santai, "Pertama, saya beri tahu kenapa menyiapkan aparat sangat konyol. Sebab, sentimen akan mudah digiring oleh lawan politik anda ke arah aparat versus warga sipil. Yang terjadi berikutnya, sepanjang pembangunan selalu ada pertentangan dan terjadi perdebatan panjang. Citra anda dan perusahaan saya memburuk. Brand DM group yang dibangun dengan kerja keras, dihancurkan oleh satu proyek. Saya tidak mau hal tersebut terjadi. Kalau anda mau elektabilitas anda turun —silahkan," Netra biru itu berkilat-kilat, "Saya tahu, anda mengharapkan pembangunan setara Dream City supaya nasib politik anda bisa secemerlang Riswan. Jaminan dipilih kembali pada periode kedua sudah pasti bakal terwujud," Hendra melebarkan senyum menghina di bibirnya. Monolog panjangnya di akui semua penghuni meeting.     

Pembangunan di kota ini bukan tentang meningkatkan indeks kebahagiaan, ekonomi, atau semacamnya. Ini tentang sepak terjang politik sekelompok orang dalam organisasi politik yang diwakili sosok sang gubernur. Dan hal inilah yang membuat Mahendra bersitegang dengan Surya.      

Assessment yang dijalankan DM Construction dan di Acc Surya sangat polos dan standar pembangunan. Hanya mengukur input proses dan output dari pembangunan yang akan dijalankan, tidak menyentuh outcome (dampak) jangka panjang. Dia hanya memeriksa elektabilitas dan kinerja pemerintah setempat serta pimpinannya, tidak menengok organisasi politik yang menaunginya dan bagaimana hubungan antar lawan politik.     

Mahendra sudah memperingatkan berulang kali, tak semudah itu membangun kota setara Dream City. Ini keputusan yang terlalu berani, dan keluarganya tak perlu mencari uang dengan cara seperti itu. Dengan menjual produk-produk dari perusahaan dalam naungan DM group, sudah cukup untuk menjadikan keluarga tunggal yang adidaya ini menancapkan akarnya lebih kuat.     

"Apa pun masukan anda akan kami terima," pimpinan ini berusaha menurunkan tensinya.     

"Saya sudah tidak berminat. Anda tahu bukan, kerugian di pihak saya ketika mundur? —tidak sedikit," Mahendra bertautan mata dengan pimpinan tersebut, "Sayangnya!" tubuhnya condong kedepan, "Anda tadi menunjukkan gelagat mengancam saya, itu artinya saya yang sedang berbaik hati membantu anda, menata kota, meningkatkan elektabilitas —malah di takut-takuti. Apakan anda lupa saya siapa?! Hah!" tangan besarnya mengetuk meja lebih keras, "Silahkan bekerja sama dengan pihak lain yang bisa anda ancam," lelaki tersebut berdiri merapikan jas yang membalut tubuhnya.     

Sebelum pergi, lelaki tersebut kembali berujar memberi saran, "Oh iya," kata Mahendra membalik tubuh sejenak, "Jika saya jadi anda, saya akan menemui dalang dibalik pengerahan massa dan mulai bernegosiasi untuk kebaikan bersama —entah dengan kalimat ancaman atau dengan uang pelicin, itu lebih masuk akal," lalu lelaki bermata biru menghilang dari ruang meeting tersebut.     

"Braaak!!" Mahendra sempat mendengar suara amukan di sela-sela langkahnya yang diikuti para ajudannya.     

"Ini tidak mudah, kita akan rugi banyak," Raka pada akhirnya memberanikan diri mengurai pendapatnya.     

"Setelah ini, bawa aku ke rumah sakit," Mahendra mengarahkan Herry dan yang lain. Mereka buru-buru menuju mobil dan membuka pintu, "Lebih baik rugi sekarang daripada berlarut-larut. Beritahu direktur DM Construction, untuk memindahkan pekerja ke proyek kita yang lain," tambahnya.     

"Surya tidak dikabari terlebih dahulu?" Raka membalik tubuhnya mengamati lelaki yang duduk di kursi penumpang belakang.     

"Aku malas berdebat dengannya, biarkan saja dia tahu belakangan," datar Mahendra dan pria tersebut kini mengamati Handphone, dia menekan tombol panggilan.     

[Sayang?] diujung sana ada yang menjawab 'hallo', namun suaranya tertelan kebisingan suara kendaraan, [Dimana kamu?]     

[Nanti aku telepon lagi, tunggu sebentar] Aruna setengah berteriak, berebut dengan suara bising jalanan.     

[Hallo. sayang..]     

Bip!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.