Ciuman Pertama Aruna

IV-14. Tergesah



IV-14. Tergesah

Ekspresinya kian buruk selepas membaca surel di layar monitor.     

[Raka, siapkan penerbangan untukku. Bawa sedikitnya 7 orangmu untuk ikut serta bersamaku, termasuk kau!] sambungan itu diam-diam didengar telinga Aruna yang samar-samar menemukan kesadarannya.     

Kaki Mahendra bergerak dengan langkah lebar, menghentak selepas meletakkan handphone di meja kerjanya. Dia sempat berdecih sebelum mengarahkan kakinya ke kamar mandi.     

Lelaki tersebut berhenti sejenak mengamati telepon rumah mereka. Terlalu fokus hingga tidak menyadari, Aruna sudah membuka mata dan menatap suaminya lekat-lekat —yang kini berbalik menuju meja dimana benda penghubung untuk bercakap-cakap tersebut berada.     

Mahendra meminta asisten rumah tangga hadir ke kamar mereka untuk menyiapkan koper.     

Mendengar permintaan tersebut, ada perempuan yang buru-buru duduk dan membuat Mahendra sempat tersentak, "Apa aku tidak akan diberi kesempatan mendapatkan debaran kedua malam ini?" kalimat rayuan yang jarang diujarkan oleh mulut mungil tersebut akhirnya terucap, sebab Aruna belum siap menerima kenyataan bahwa suaminya harus meninggalkan dirinya lagi, secepat ini —entah kemana.     

Mendengar suara permohonan, Mahendra mendekat. Menaiki ranjang, dan disambut Aruna dengan menggeser tubuhnya yang masih terbenam dalam selimut.     

Obat paling mujarab ketika menatap keresahan adalah ciuman hangat, dan itulah yang dilakukan Mahendra. Menekan bibirnya untuk memberikan sentuhan kuat pada bibir mungil istrinya, hingga seluruh salivanya terasa telah direnggut habis oleh lelaki bermata biru.     

"Lanjutkan tidurmu," dia bangkit dan menuruni ranjang.     

"Apa kau akan pergi lama?" lelaki yang mendapat pertanyaan, membalik tubuhnya sejenak sebelum menghilang di lorong kamar mandi.     

"Tidak lebih dari sehari," _mungkin_ melangkah satu langkah dan menjawab lagi, "Dua hari, maaf. Tidak lebih dari dua hari tepatnya," ada keraguan dalam suaranya, yang kemudian menghilang ditelan pintu kamar mandi.     

Aruna membeku sekian detik. Lalu menggeleng kepalanya, sempat terpaku lagi, hingga akhirnya menghembuskan nafas dengan kasar. Menyeret selimut tebal ke dalam kamar mandi.     

.     

.     

"Sayang, jangan menungguku!" kata Mahendra mengetahui istrinya memasuki ruang shower yang sama.     

"Aku juga butuh mandi," sangkal Aruna.     

"Sebaiknya istirahat," sang pria memberi saran.     

Akan tetapi perempuan tersebut mengabaikan, "Boleh aku tahu, kau akan pergi ke mana?,"     

"Proyek baru, di luar persetujuanku," Dia yang bicara memberi jeda sebab pada akhirnya membantu istrinya membalurkan sabun mandi ke tubuh mungil tersebut, "Aku tidak suka sebuah insiden berlarut-larut, terlebih ada hubungannya dengan politik. Ada banyak hal dipertaruhkan," lanjutnya, memberi pemahaman.      

Akan tetapi Aruna masih tak paham, tapi dia memilih mengangguk, "Jangan lupa istirahat,"     

"Dan kau!" Mahendra menekan suaranya, "Pastikan makan sesuai menu yang disiapkan. Sampai habis! Aku sudah dengar mommy Gayatri mengatur jadwal senam hamil, dan aku tak mau kau melewatkan kelas pertamamu," mata itu masih berkilat walaupun telah tersapu rintik air yang dijatuhkan shower.     

"Kau lupa, aku perempuan rakus?" Aruna kian suka makan semenjak hamil.     

"Tapi sulit dikendalikan, makan makanan yang disiapkan!" sepertinya Mahendra masih kecewa terhadap makanan yang dikonsumsi istrinya selama traveling.     

"Biak tuan," Aruna menirukan logat Herry. Dia memberi kehangatan dalam ruang shower yang mendingin. Menjadikan lelaki bermata biru melempar handuk pada istrinya.     

.     

.     

Tergesah dan sigap adalah keahlian paling fatal Mahendra. Dia bergerak seperti robot dengan baterai penuh.      

Aruna baru saja keluar dari walk in closet, dan menemukan suaminya sudah siap dengan segala kesempurnaan. Ini masih sekitar pukul tiga pagi, akan tetapi lelaki tersebut sudah tampil sempurna dengan dasi rapi beserta koper yang sudah disiapkan Ratna.      

Duduk di tepian ranjang memasang sepatunya, "laptopku?" tanpa melihat Ratna, dia menuntut asisten rumah induk yang lekas berlari menuju meja kerja. Memasukan benda elektronik ukuran 14 inci pada tas kerja dan sebuah handphone di serahkan kepada lelaki yang kini telah berdiri, setelah menyelesaikan caranya memakai sepatu.      

Masih dengan bergegas, Aruna yang terpaku mengamati di datangi Mahendra. Lelaki tersebut meraba pipi dengan telapak tangan kanan, menyibak rambut basah. Mengamati warna merah yang dia ciptakan, "Malam ini, kau sangat cantik," pujinya. Menundukkan kepala, mencium perut buncit istrinya.     

"Daddy berangkat dulu, sayang. Aku mencintai kalian," ada mata mendongak ke atas ketika ungkapan cinta dihadirkan Mahendra. Dua pasang netra berbeda warna saling bertautan. Lelaki tersebut terhanyut sekilas, sebelum memberi pelukan dan mendapatkan dekapan.     

Ketika kaki itu melangkah dan keluar dari pintu —tanpa disadari, perempuannya pun mengikuti di belakang. Walaupun hanya mengenakan piyama handuk di tubuhnya.     

"Cepat masuk!" gertak Mahendra sesampainya di depan mobil dan Herry membuka pintu untuknya, memberi tahu tanpa sengaja keberadaan Aruna sebab melihat cara ajudan tersebut menundukkan kepalanya.     

Dia yang digertak menampilkan senyum polos, dan melambaikan tangan dengan setia sampai pintu gerbang menutup. Menjadikan mobil hitam legam tak dapat ditangkap mata.     

.     

.     

Pagi datang menyapa ketika seorang perempuan hamil kembali menemukan kesadaran, akan tetapi sepertinya enggan meninggalkan ranjang. Aruna hanya menggerakan tubuhnya kesana kemari dengan malas.      

Suara Ratna menggugah lamunan perempuan yang masih bergelung dengan selimut hangat, "Nona-"     

"Katakan aku tidak bisa bergabung. Aku sarapan di kamar saja," kalimat Ratna lekas ditutup, dan asisten rumah induk tersebut mundur.     

"Sepertinya, menantuku sudah terserang virus malas versi ibu hamil," suara mommy Gayatri membuat Aruna buru-buru bangkit. Memasang senyum semampunya. Perempuan tersebut tidak mengerti, kenapa jauh dari Mahendra menjadikannya kehilangan banyak tenaga. Ada rasa tertekan di dada dan ingin menangis tanpa tahu alasannya.     

Aruna tidak bisa berkata-kata, dia mencoba untuk duduk merapikan rambutnya.     

"Aku tahu, ketika putraku tak ada pekerjaan, dia akan mengurungmu di dalam kamar dan membacakan buku untukmu," perempuan yang masih ayu di usianya yang tak lagi muda menyingkap selimut Aruna, "Ada banyak cara menikmati hidup selain terbaring di kamar," lanjut mommy Gayatri, memberi semangat.      

Wajah Aruna merah padam dan buru-buru turun dari ranjang. Malu-malu menatap mertuanya yang sudah siap dengan baju olah raga. Sepertinya ini jadwal senam ibu hamil yang diceritakan Mahendra.     

"Ayo sarapan! Aku tunggu di lantai satu," Aruna mengangguk ringan. Dia tidak pernah semalas ini sebelumnya, akan tetapi lihatlah pagi ini. Berjalan malas menuju meja yang sudah tersaji makan pagi yang baginya kurang menggugah selera.     

Belum selesai perempuan tersebut menghabiskan sarapan, seorang ajudan datang menyapanya. Susi hadir dengan senyum khasnya.      

Tanpa bicara, Aruna tahu ajudan tersebut diminta oleh siapa. Mommy Gayatri sangat dekat dengan Susi, pasti mertuanya sudah tidak tahan menunggu dirinya makan.     

.     

.     

"Ayo, Aruna!," mommy Gayatri memandunya dengan sabar ketika perempuan tersebut harus meregangkan dan mengayunkan tubuhnya. Lalu duduk dengan kaki terlentang di atas matras biru cerah. Gerakannya sangat sederhana akan tetapi peluhnya sudah serupa dengan berlari mengelilingi danau berkali-kali.     

Saat senam ibu hamil dinyatakan usai, Aruna merebahkan tubuhnya di atas matras. Menikmati rasa lelahnya, "Aku mau handphoneku," ucapan Aruna disambut gerakan tangkas ajudan junior —yang sayangnya bersamaan dengan Ratna, dan tentu saja Tika. Mereka merasa kurang nyaman ketika Kihrani lebih dahulu meraih smartphone tersebut dan menyerahkan pada nonanya.     

Dia yang mendapatkan handphone berniat membuat panggilan untuk suaminya, kenyataannya tidak ada sambutan. Akhirnya perempuan tersebut memilih berswafoto memperlihatkan peluhnya. Menunjukkan bahwa dia sudah menjalankan permintaan lelaki bermata biru.      

***     

Disisi lain, di pulau berbeda dengan Aruna. Dimana sebuah daratan yang dikelilingi air dengan luas lebih kecil dari benua dan lebih besar dari karang serta bentuk yang mirip huruf kapital K, Mahendra terperangkap dalam meeting serius yang rata-rata nada suaranya meninggi bukan hanya karena logat.     

Masalah yang tengah terjadi memang dapat dikategorikan genting. Demo besar yang diduga di koordinasi oleh sekelompok lawan politik pimpinan daerah yang saat ini menjabat -dan tengah bekerjasama dengan DM konstruksi untuk membangun kota serupa dream city- telah memakan korban.     

Dua orang pekerja dalam kondisi kritis, lima lainnya luka-luka, dan ancaman melanda pekerja lapangan tiap saat. Gigi geraham Mahendra mengerat kuat, tangannya tergenggam walaupun matanya diupayakan seramah mungkin. Kenyataannya gagal. Ekspresi kegeramannya masih sangat kentara.     

Mahendra membuka sekilas handphonenya, menatap foto istrinya di layar smartphone tersebut dan memberi emoticon tersenyum.     

"Saya tidak peduli dengan urusan anda dan lawan politik anda, atau sejenisnya. Saya sedang menuntut keamanan para pekerja saya. Kalau anda tak mampu ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.