Ciuman Pertama Aruna

IV-13. Mantra Aneh



IV-13. Mantra Aneh

0Sudah dapat diduga, langkahnya diikuti Vian. Ketika Kihrani berhenti, lelaki bermata sendu ikut pula menghentikan langkah. Gadis tersebut berupaya menekan gejolak hatinya yang ingin meledakkan amarah, "Em, jadi apa yang kau inginkan," kalimat ini punya penekanan di setiap kata, dan ada senyum menyebalkan dari lawan bicaranya.     

"Bagaimana dengan kuliahmu? Kabarnya, kau akan melanjutkan kuliah?" Dia coba mengawali pembicaraan dengan ringan.      

Entah apa yang terjadi, mendadak Kihrani kehilangan daya amarahnya. Letupan-letupan kemarahan berubah menjadi bibir yang ditarik lurus —tanda bahwa pemiliknya berusaha menggali kata terbaik, "Aku, em' belum berani meminta izin pada senior Susi," selepas berputar beberapa kali, netra hitam legam itu akhirnya menatap lawan bicaranya, "Tapi aku sudah bertekad tak akan membiarkan tahun ini terlewatkan. Semoga aku punya kesempatan," tambah gadis tersebut. Awal suaranya bersemangat, namun di akhir kalimatnya melemah.     

Vian melangkah satu langkah lebih dekat kepada tubuh gadis berpakaian hitam yang berdiri kaku di hadapannya. Mengeluarkan sesuatu dari dalam jaket Jumpernya, "Seseorang menitipkan ini padaku," katanya meletakkan card di atas tangan Kihrani, "Aku akan memberikan pin-nya. Yah, kalau kau mau berbagi nomor handphone," Ia melontarkan kalimat ringan dengan nada jenaka dalam suasana yang perlahan mencair.      

"Apa ini?" Mata Kihrani jatuh pada benda persegi empat yang ada di telapak tangannya.     

"Biaya kuliahmu–" jawab Vian standar, "Card tanggungan. Uang -lah," Ada rasa sebal ketika ia mengucapkan kalimat tersebut.     

"Aku tidak bisa menerimanya–"     

"Bukan dariku," Vian memutus kalimat yang belum selesai diucapkan "Melainkan dari orang lain," Lelaki tersebut terlampau paham Kihrani akan melakukan hal ini. Terlebih card itu dari dirinya.      

"Tidak," Gadis itu menggelengkan kepala, "Gajiku sudah cukup," kembali menyodorkan kartu warna abu-abu di tangannya.      

"Sudah aku bilang, bukan dariku! Dengarkan aku dulu!" mata sendu yang biasa meneduhkan, kini menyipit dan bekilat-kikat.     

"Apa pun itu, aku tidak bisa menerimanya. Maaf," kartu warna abu-abu sudah menempel di dada Vian, bahkan lelaki tersebut mundur setengah langkah sebab dorongan sang perempuan yang gigih mempertahankan kemauannya.     

Kihrani bergegas meninggalkan lelaki yang mengerut jengkel, "Cik Sima boleh lupa padamu, tapi tidak dengan orang yang pernah menerima kebaikanmu. Gunakan uang tersebut untuk keluar dari Gua. Jangan sampai kau menyesal dan mati sia-sia di dalam Gua,"     

Vian tidak habis pikir dia harus memutar rekaman suara Thomas. Sebuah pesan yang berulang kali dia ingat, namun selalu hilang dari kepala.     

Anehnya, gadis tersebut langsung berbalik dengan wajah penuh haru setelah mendengar monolog dari rekaman tersebut.      

_siapa sebenarnya cik Sima??_ jengkel Vian menjadi-jadi di dalam hatinya.     

Bagaimana bisa Bomb terdiam membeku dan sepertinya dia bergetar dalam berdirinya. Si pemarah seolah tersihir menjadi gadis rapuh seketika. Ada mata berkaca yang disembunyikan dengan menatap ke arah sisi kanan. Menghindari tatapan Vian yang bergerak mendekati dirinya.     

Disaat lelaki tersebut sampai di hadapannya, sekali lagi tangan kanan gadis itu ditarik dan telapak tangan Kihrani menerima card yang disiapkan Vian dari Thomas.     

_seampuh itu -kah, kekuatan cik Sima?_ gumam Vian masih belum mengerti ketika gadis tersebut membalik sejenak untuk menyembunyikan sudut mata berair dan lekas berbalik seolah tidak ada yang sedang berduka detik ini.     

"Terima kasih," ucap Kihrani.     

"Gila!" desah Vian.     

"Apa??" Kihrani samar mendengar.     

"Oh' tidak-tidak," lekas menutup ucapan. Vian membenarkan bajunya, "Gila, malam ini suasana rumah Induk indah sekali," dia mengalihkan ucapan.     

"Iya," Kihrani berbalik, menatap lampu gemerlap yang semula menjadi background di punggungnya.     

Dua anak manusia itu menatap panorama yang sama, nuansa putih gemerlap di atas hamparan rumput dan megah. Mata keduanya mengembara dan mengusung lamunan masing-masing.     

_Gila!_ lagi-lagi lelaki tersebut membatin, menatap gadis setinggi telinga di sisinya. Masih belum mengerti bagaimana bisa mantra yang merupakan kumpulan kosakata aneh mampu meluruhkan Bomb, si pemarah.     

Darimana Thomas mendapatkan nama cik Sima?. Masih tentang itu saja pertanyaan di kepalanya. Berputar-putar minta jawaban.     

"Siapa cik Sima?" akhirnya dia memberanikan diri, mencari jawaban dari rasa penasarannya.     

"Dia seorang ibu," jawab singkat Kihrani.     

"Ibu siapa?" seperti inilah sifat manusia kala rasa penasaran membumbung tinggi, mengorek lebih dalam dengan pertanyaan-pertanyaan lain.      

"Ibu gadis malang, karena terlalu cantik malah berakhir mengenaskan. Kasihan," ada kepala kian berdenyut mendengar jawaban tersebut. Bertanya pada Bomb bukannya mendapatkan jawaban, Vian semakin tersiksa oleh ketidak pahaman.     

"Apakah aku boleh tahu siapa gadis itu?" tidak ada jawaban dari pertanyaan tersebut. Akan tetapi terdengar tawa kecil yang hadir di bibir gadis yang di benak Vian mustahil bisa tertawa.     

"Aku!" Kihrani melempar kata 'aku' dengan senyum bercanda. Hal tersebut kian menyiksa, sebab kepala Vian yang biasanya sangat cerdas tak bisa menangkap informasi apapun.     

Lelaki tersebut tidak sadar yang mereka bicarakan adalah kisah fiksi yang terkategori sebagai legenda terbentuknya sebuah tempat. Dan dengan santainya Kihrani membiarkan Vian terperosok dalam kubangan ketidak pahaman.      

Gadis tersebut kembali menatap pesta hangat yang menjadikannya tak lagi ketakutan menjadi ajudan baru di rumah yang super megah, keluarga Djoyodiningrat.     

Dia kembali tergugah ketika Vian menyodorkan layar bertuliskan angka yang berbaris enam digit.     

"Kau bilang ingin nomor handphone ku?" ujar Kihrani selepas menatap layar smartphone Vian.     

"Jika kau mau memberikannya —aku lebih suka, kalau tak masalah," akhirnya untuk pertama kalinya Vian tidak menyebalkan, batin Kihrani.     

Kihrani menarik handphone Vian dan mengetik angka di bawah 6 digit. "Kirimkan padaku. Aku akan lupa jika mengingatnya,"     

Vian memiringkan sekilas bibirnya, "Kau ternyata bisa diajak bekerja sama," suaranya mengandung sindiran.     

"Jangan sampai aku memblokir nomor mu, berhentilah menggangguku. Aku hanya ingin hidup damai," mata Kihrani menatap serius.     

"Bisakah kau membedakan mana yang mengajak ribut dan bercanda?" tanya Vian, sedikit tak terima dengan kalimat gadis tersebut.     

"Tidak bisa!" jujurnya, "Awalnya bercanda, lama-kelamaan akan ada bullyan," lanjut Kihrani, memberi jawaban dari sudut pandang dirinya.     

"Artinya kau penuh dendam,"     

"Iya," Jawaban Kihrani yang lugas membuat Vian sadar, gadis di hadapannya punya alasan kenapa begitu galak dan pemarah -menurutnya-. Jawabannya tak ada bedanya dengan para korban bullying.     

"Aku tak akan bercanda lagi, tapi aku boleh memanggilmu, Bomb -kan?" kenyataannya masih saja mengajak bertengkar.     

"Aku blokir nomor mu!" Kihrani bergerak pergi dan benar-benar memblokir nomor Vian, sebab lelaki tersebut tak bisa membuat panggilan.     

"Hai! Hahaa, aku bercanda," tampaknya Vian merasa konyol sendiri dengan bermain-main terhadap Kihrani.     

"Bomb!"     

"Kihran! Dengarkan aku!"     

Dia tak menjawab dan menghilang dalam kerumunan.     

***     

Tubuh lunglai benar-benar tertidur dan tak ada tanda-tanda akan terbangun. Dengan sangat hati-hati, seorang suami memindahkan tubuh mungil istrinya yang tidur nyaman di atas dadanya. Gerakan halus dan lembut diusahakan dengan sangat supaya dua manusia di dalam satu tubuh tak terganggu.     

Dia yang memindahkan tubuh istrinya, mengamati sejenak wajah perempuan dengan rambut acak-acakan dan tubuh lesu berantakan sebab ulahnya. Lesung pipi Mahendra sempat tertangkap sebelum akhirnya meraih piyama dan mengikat tali. Menelungkupi tubuhnya.     

Lelaki tersebut bangkit menuju meja kerja. Deretan pesan dan panggilan hadir pada layar handphonenya.     

Dari wajahnya terbaca ada kerutan tidak jenak. Menuju balik meja mencari laptopnya. Duduk di kursi yang biasa digunakan untuk bekerja dari rumah.     

Ekspresinya kian buruk selepas membaca surel di layar monitor.     

[Raka, siapkan penerbangan untukku. Bawa sedikitnya 7 orangmu untuk ikut serta bersamaku, termasuk kau!] sambungan itu diam-diam di dengar telinga ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.