Ciuman Pertama Aruna

IV-12. Peluh Licin (Menikah+)



IV-12. Peluh Licin (Menikah+)

0"Lepas! Jangan membuatku malu walaupun ini di rumahmu," Aruna menggeliat di dalam pelukan Mahendra. Akan tetapi lengan kekar dengan kekuatan yang besar kian mendekap erat tubuh mungil istrinya. Mustahil perempuan tersebut bisa turun dari cara lelaki bermata biru membawanya ke kamar mereka di lantai dua.      

Seperti tuan Putri negeri dongeng yang digendong pangeran dalam dekapan hangat kedua lengan, adegan itu sangat memalukan bagi perempuan seperti Aruna.      

Berkebalikan dengan Mahendra, yang tak akan peduli terhadap apapun kecuali keinginannya terpenuhi.      

"Kau benar-benar membuatku malu!" Bibir yang menjadi candu sang lelaki, terus menggerutu.      

"Maka dari itu, pelankan suaramu!" senyum itu terpasang jahil seiring gerak kaki menapaki tangga satu persatu naik ke lantai dua.      

"Sialnya, tinggal di rumah keluarga," umpatan lirih itu menghasilkan ketertarikan perempuan dalam dekapan, Aruna menatap Mahendra penuh tanda tanya, "Kamu ingin tahu, kenapa?"      

"Tidak," Kata 'tidak' yang diucapkan Aruna penuh keraguan.      

"Andaikan aku tinggal di rumahku sendiri bersama istriku, aku bisa bercinta dimana saja. Di rumah ini hanya kamar yang bisa kumanfaatkan," Ada perempuan yang memutar mata, menciptakan setengah lingkaran sempurna. Merasa rugi sebab ingin tahu isi kepala suaminya dan menampilkan ekspresi penuh tanya. Harusnya dia bisa menduganya, sehingga Aruna tidak perlu menyuapi sampai kenyang si sombong lelaki bermata biru yang kesombongannya dianggap wajar oleh siapapun.     

Kala langkah kaki tersebut sampai pada tempat yang dituju, Mahendra menendang pintu kamar hingga terbuka. Lalu menutupnya dengan kakinya yang lain.      

Seperti upacara pemujaan yang lama-kelamaan menjadi tradisi. Mahendra meletakkan istrinya tepat di tengah-tengah ranjang sulur bunga lily, kemudian dia akan menghilang sejenak.      

Tak butuh waktu lama, lelaki tersebut kembali dengan selembar piyama tali —lengkap dengan nuansa segar khas seseorang yang telah selesai mandi. Kontras dengan Aruna yang memilih untuk membaringkan tubuhnya. Dia berguling beberapa kali di atas pembaringan, dan memastikan dirinya siap di hantam badai ekstase malam ini.      

Gerakan tangan menyibak rambut dengan jel dan bercermin sejenak pada meja rias Aruna, tertangkap mata kala Mahendra keluar dari kamar mandi. Mengamati setiap jengkal ruangan. Mengitari tempat tidur seperti binatang yang sedang dalam metode menyerang, siap berburu mangsa, "Apa kau sudah cukup sehat menerima kedatanganku?"      

Aruna bangkit dari pembaringan, rasanya konyol menatap suaminya yang mendatanginya setiap saat dengan perasaan merinding.      

"Aku sudah menghitungnya. Semester kedua, diizinkan naik pesawat sebab sanggup menerima getaran," pertanyaan yang tadi disuarakan Mahendra, dia jawab sendiri.      

Dengan gerakan sangat cepat, lelaki bermata biru merenggut selimut yang menutupi sebagian besar tubuh istrinya. Meraup, melemparnya jauh-jauh —sembarang arah.      

Dia datang merayap di atas ranjang. Hal pertama yang dilakukan Mahendra, memegang pergelangan kaki perempuan yang baru saja bangkit dari pembaringan —setengah terduduk. "Kenapa kakimu kecil sekali?"      

"Apa itu pujian erotis versimu?," dan gelegar tawa Mahendra terdengar. Tampaknya Aruna juga tak ingin berlama-lama menunggu sentuhan keahlian suaminya. Si penuntut yang menuntun. Akan tetapi dia malah membelokan fokus pada kaki kecil yang merusak semburan ombak dalam tubuh perempuan hamil.      

Tangan besar lelaki tersebut bergerak ke atas mengikuti tubuhnya, naik dan berakhir pada kain tipis yang membungkus bagian dimana terdapat kenikmatan yang dia cari.      

Bibir lembut, ranum, dan memabukkan adalah sajian pembuka sebelum menu utama ia nikmati.      

Kala lidah tersebut bermain dengan lihai, ada rasa memburu dan gerakan-gerakan hebat yang dominan yang dirasakan Aruna. Pijatan-pijatan halus pada permukaan di bawah sana membuat perempuan mungil tersebut mengeluh, sekaligus terengah-engah hebat.      

Saat Aruna mencapai batas ketidak sanggupannya, Mahendra memberi jeda. Kadang kala membiarkan dirinya larut dalam kelembutan yang dihadirkan bibir memabukkan tersebut. Membiarkan istrinya memandu dengan gerakan-gerakan halus khas miliknya.      

Aruna selalu berhasil memberitahukan ritme terbaik untuk menikmati setiap hembusan nafas. Layaknya kobaran api yang beradu dengan hawa sejuk, mereka saling melengkapi. Walaupun tentu saja Mahendra lebih banyak mendominasi.      

"Kuberi tahu, kenapa aku bisa gila andai terjadi sesuatu padamu" Mahendra berucap setelah tautan bibir itu terlepas sejenak.     

"Kau akan kehilangan tempatmu menyalurkan libidomu?"      

"Ini bukan tentang seks!" Tiba-tiba suaranya berubah penuh kemarahan.      

"Aku hanya bercanda," Aruna mengerut, minta maaf.      

"Kalau aku berorientasi pada libidoku, pasti sudah kujajaki banyak rasa," matanya berkilat-kilat, "Aku bisa melakukannya setelah diriku dinyatakan sembuh! (Disembuhkan Aruna dari PTSD)" Tangannya bergerak membuka kain pembungkus tubuh, "Alih-alih memikirkannya, aku malah duduk di meja persidangan. Mempertahankan perempuan rentan di bawah tubuhku!" Awalnya Mahendra sabar membuka satu persatu kancing baju Aruna, akan tetapi berakhir dengan sebuah robekan pula.      

Aruna membaringkan tubuhnya. Mengamati lelaki yang otot-otot pundaknya mengembung, dominan di segala situasi dan kondisi. Mengurung tubuh mungil yang kini menatap selembar piyama tersingkap di sisi pundak.      

Perempuan tersebut tahu apa yang harus dikerjakan. Tangan kanannya naik menuju wajah —memegang pipi dengan gerakan halus, dan lelaki tersebut tampak menikmatinya. Sejalan dengan tangan kiri menarik tali sehelai —hingga piyama Mahendra terbuka. Aruna menelusuri otot mengembang yang sempurna, warna kulit kuning langsat bersih dan mata biru berkilat-kilat menggelap.      

Tangan mungil tersebut menyibak pembungkus tubuh lelaki di atasnya supaya lekas melepaskan piyama dan buru-buru mendekapnya, memeluk erat.     

Lehernya jenjang yang merasakan halusnya bibir Mahendra, kian menambah bara dalam tubuh Aruna. Ada rasa panas seperti terbakar yang membuatnya meminta lebih. Menelan saliva berulang, tiap kali lelaki bermata biru memberinya tanda kepemilikan.      

Aruna sudah kehilangan daya ketika tangan besar milik suaminya melesat, masuk, dan memainkan keahliannya. Terlalu ahli sampai tubuhnya menggeliat hebat, dan gigitan di bibir tak mampu menahan suara rintihan.      

"Hendra-," mata Aruna baru terbuka setelah suaminya melepas permainan dan memilih fokus mencecap warna merah muda di puncak dada yang tegak menantang, "-kumohon," rintih perempuan tersebut.      

"Jangan khawatir, itu bagian yang akan aku penuhi —nanti," dia tersenyum dan memberikan jemarinya lagi.      

"Astaga," perempuan tersebut memekik, menangkup mulutnya dengan telapak tangan kanan. Jari Mahendra yang bermain di sana lebih dari satu. Sedangkan tangan kirinya yang terbebas merengkuh leher perempuan, menariknya setengah terduduk.      

Peluh licin mengkilat di sekujur tubuh mungil, di sesapi setiap incinya oleh bibir lelaki bermata biru.      

"Hen-" nafasnya naik turun tak terkendali. Dihentak. Menegang. Panas.      

Invasi Mahendra seperti mesin pemenuhan yang menyuapi setiap jengkal harapan terpendam istrinya. Perempuan tersebut hampir mencapai limit, andai saja permainan Mahendra masih dilanjutkan. Akan tetapi dia melepas pijatannya, "Hen-" ada yang kosong, yang membuat Aruna kehilangan kenikmatannya,"–aku mohon. Aku mohon," Aruna mengeratkan tubuhnya mencari sesuatu yang hilang.      

"Aku tidak akan memacu mu dengan cara seperti ini, atau bayi kita akan terganggu," Hendra berguling membawa tubuh mungil istrinya. Memberi kesempatan perempuannya berada di atas tubuh.      

Perempuan yang sedang memburu keinginan langsung membenam dalam tautan.      

Helaian surai Aruna menyapu kulit lelaki bermata biru, sebab perempuan tersebut mencondongkan tubuhnya ke depan. Mencium dada mengembang sempurna. Tak rela hanya dirinya yang disiksa.     

Spontan suara mendesis lelaki itu terdengar, "Maaf," sepertinya ada yang tidak sabaran.      

Telapak tangan Mahendra menyusup pada rambut istrinya, menarik perlahan. Lidahnya bermain-main dengan lidah Aruna. Menggoda. Menyiksa.      

Dimana sang perempuan tak mau kalah. Tangan Aruna semakin berani merambah tubuh berbulu tipis. Datar. Berotot. Membentuk buku-buku yang detik ini sedang mengembang. Perempuan tersebut yakin, andai dirinya tak berada di atas dan tidak mengandung baby, otot-otot bermassa besar tersebut sudah menerjangnya sampai dia tak bisa bangkit di pagi hari.      

Tanpa tanda-tanda, tangan Mahendra mengunci pinggul istrinya. Rapat dan kuat, dia mengangkat tubuh mungil tersebut sekian detik —lalu memandu-nya. Menuntut sesuai maunya.      

Kini situasi berbalik. Lelaki tersebut meratap, gelisah. "Aruna–" dia mengerang. Otot-ototnya kian mengembang ketika mendorong tubuhnya pada tubuh istrinya. Kekuatan dan pergerakan dengan posisi ini harusnya didominasi perempuan. Kenyataannya Mahendra lah yang memberi kekuatan dan mengatur gerakan.      

Aruna merasakan denyutan keras Mahendra di dalam tubuhnya. Bersama telapak tangan besar yang mencengkram hebat paha istrinya.      

Sekali lagi, lelaki bermata biru mengendalikan istrinya. Mendominasi dan menuntun setiap detik petualangan erotis yang tercipta. Badai itu menghantam tanpa ampun dalam kondisi teraman yang sepertinya telah Mahendra pikirkan dengan matang —ketika mengitari ranjang dan berlagak layaknya pemangsa yang akan menerkam buruannya.      

"–Aku akan datang," Aruna merasakan kekuatan itu dan dirinya tersulut. Terseret pada lembah yang sama.     

Lembah basah hadir selepas seluruh indera perempuan tersebut meledak dan diikuti suaminya.      

Perempuan bermata coklat luruh, lunglai dalam dekapan. Dipeluk erat, seerat-eratnya. Aruna sudah tak berdaya ketika Mahendra menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya, di atas dada bidang berbulu halus miliknya.      

"Berapa menit yang kau butuhkan untuk istirahat?" suaranya parau, tangannya bergerak mengelus pipi istrinya.      

"Entahlah, aku belum yakin apakah badanku masih utuh," balas perempuan memaksa matanya supaya terbuka.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.